mysummer

Renjun segera menuju ruang tengah ketika terdengar suara pintu dorm terbuka. Senyumnya terlihat sungguh lebar, jantungnya berdegup kencang, tangannya mengepal karena tak sabar menantikan seseorang masuk.

“Halo, pacarku.”

Renjun tak menjawab sapaan lelaki yang baru saja masuk, ia langsung memeluk dan berjingkrak membuat kekasihnya harus memeganginya supaya mereka tidak jatuh.

“Aku juga kangen.”

“Tumben cepet, udah selesai latihannya?” Renjun masih belum melepas pelukannya, Haechan pun masih mengusap punggung sambil beberapa kali ia mengecup bahu pacarnya.

“Iya. Aku suntuk banget. Semua pada mau selesai cepet karena pada lelah, biar pada istirahat dulu aja, katanya.”

“Hmm.”

“Ke kamar kamu aja, ya. Aku nginep di sini kok.”

“Beneran?” Renjun akhirnya melepas pelukannya.

“Iya.”

Haechan baru sadar ia sangat merindukan kekasihnya itu, jadi ia pun langsung mendaratkan ciuman singkat di pipi Renjun yang untungnya tidak dihalau oleh kekasihnya itu. Padahal biasanya Renjun menjauh kalau Haechan mulai menciumnya.

“Jangan berisik, guys,” komentar Jaemin yang baru saja beranjak dari sofa dan mulai berjalan ke arah kamarnya hanya ditertawakan oleh dua sejoli yang kini melepas rindu.

“Ayang.”

“Hmm?” Renjun tak menoleh, ia sedang membereskan tempat tidurnya agar Haechan bisa ikut tidur di situ dengan nyaman.

“Jangan putusin aku, ya.”

“Hah?” Baru kali ini Renjun menatap Haechan yang terlihat sendu.

“Kenapa aku harus putusin kamu?”

“Yaa, karena aku sibuk, nggak ada waktu bahkan buat bales chat kamu. Aku suka lupa atau ketiduran. Kadang aku cuma ngerasa, ya udah, males aja nggak mau ngapa-ngapain.”

Renjun tersenyum lalu kembali memeluk Haechan. Ia usap tengkuknya.

“Kamu kenapa belum mau putus sama aku?”

“Waktu aku lihat kamu, aku sadar aku masih mau kayak gini, deket kamu, sayangin kamu. Aku nggak mau kalau aku tiba-tiba aku nggak bisa peluk kamu kayak gini. Kalau tiba-tiba kamu nggak balas saat aku bilang cinta. Aku nggak mau.”

“Ya udah, aku juga sama. Perasaan aku masih sama kok. Aku ngerti kamu sibuk. Dibanding siapapun, aku yang paling ngerti gimana sibuknya karena aku tau banget apa aja yang harus kamu lewati, yang harus kamu lakukan. Jadi, aku ngerti. Aku nggak menuntut kamu untuk selalu ada, yang penting, kamu tetap ada. Kamu tetap bilang kamu cintanya sama aku aja.”

“Aku beruntung banget punya kamu, Huang Renjun.”

“Sama, aku juga. Pacar aku hebat banget. Aku bangga.”

As you should.”

Renjun tertawa. “Mau denger lagu nggak? Kamu harus denger lagu ini.”


“Hmm. Ini kamu nyindir aku, apa gimana?”

Mereka kini berbaring di ranjang milik Renjun, sama-sama mendengarkan lagu yang akhir-akhir ini didengar oleh Renjun.

“Ini tuh aku, ke kamu.” Telunjuknya menekan dada Haechan.

“Yang lebih sering ignore the messages kan aku, yang. Kamu malah yang lebih sering reach out duluan ke aku. Tapi, tau nggak sih? I'm glad you did that. And I'll try to be better, ya.”

“Bangga nggak, jadi pacar aku?”

“Iya, lah. Sayang banget aku tuh, sama kamu. Terima kasih, udah jadi pacar Haechan yang pengertian.”

Renjun tertawa saat Haechan menghujani ciuman di wajahnya.

Renjun berjalan menuju kamarnya, meski ia masih fokus pada ponselnya yang yang menampilkan beberapa video. Ada satu video Douyin yang tadi menarik perhatiannya. Ia pun tertawa pelan karena terhibur.

“Ngapain di sini?” tanya Renjun pada Jisung yang sedang melihat ponselnya sambil tiduran di bagian bawah ranjang tingkat.

Jisung sempat menoleh sebelum kembali tertuju pada ponselnya.

“Ya sekali-kali kangen, kayak nggak biasa sekamar sama aku aja, hyung.”

“Hm. Sana keluar dulu. Nanti kalau mau nginep di sini boleh.”

Jisung pun beranjak dari posisinya kemudian ia berjalan keluar kamar. Mungkin Renjun mau berganti pakaian, hal ini memang wajar terjadi saat mereka masih berbagi kamar.

Setelah berganti baju, Renjun mengambil satu kotak kecil berwarna merah di atas meja dekat colokan charger ponselnya. Ia tersenyum kemudian membuka kotak itu. Sebuah cincin emas putih dengan satu berlian kecil di tengahnya tersimpan di situ. Ia mengambilnya dan memasang di jari manisnya.

Bunyi notifikasi membuatnya berhenti dari memandangi cincin di jarinya. Senyuman yang lebih lebar terukir di wajahnya.

Ia merebahkan dirinya di ranjang sebelum mengangkat telepon.

“Hai,” sapanya singkat. Sejenak tak terdengar balasan dari seberang sana.

“Hei hei, maaf aku tadi pindah tempat dulu.”

“Lagi apa, Chan? Udah recording-nya?”

“Belum, sayang. Belum bagian aku. Makanya bisa nelpon dulu. Kamu lagi apa? Udah di dorm?”

“Hmmm. Udah. Ini di kamar. Tebak, aku lagi apa?”

“Di kamar? Lagi apa dong? Boboan ya?”

“Iya, boboan ini. Baru aja rebahan sih. Aku lagi liatin tangan.”

“Tangan kamu kenapa? Ada sakit?”

“Nggak, aku liatin jari aku. Liatin cincin.”

“Friendship ring?”

Engagement ring yang kamu kasih waktu ulang tahun aku. Sedih, nggak bisa pakai di publik.” Suaranya terdengar sendu. Cincin itu terlihat indah di jarinya.

Suara tawa rendah yang didengar dari telponnya seketika mengembalikan senyum Renjun.

“Aku juga pengen pakai, pengen tunjukin kalau aku sama kamu itu pacaran.”

“Bahaya.”

“Yang lain boleh pamer couple ring, kenapa kita nggak?”

“Ini engagement ring kalau kamu lupa, Lee Donghyuck.”

“Kenapa tiba-tiba ngomongin cincin ya?”

“Nggak apa-apa. Muncul topik tentang kado ulang tahun aku. Aku jadi inget yang ramyeon itu. Orang-orang taunya kan itu, aku malah lupa. Ingetnya karena kamu tiba-tiba kasih aku cincin yang aku mau.”

“Engagement benerannya mau kapan?”

“Nggak usah ngaco ya.”

“Hehehe, ya udah ya, aku sebentar lagi masuk nih.”

“Oke. Semangat, sayang. 楷灿 我爱你.”

“Eung, 나도 사랑해 인준아.”


楷灿 我爱你 = kaican woaini / haechan i love you

나도 사랑해 인준아 = nado saranghae injun-a / i love you too, injun-a

cw ; kissing, harsh words, vulgar convo

1.6k words

Renjun pernah mengatakan, bahwa dinamika hubungan dirinya dan Haechan berbeda ketika tertangkap kamera dan ketika tidak di depan kamera.

Ya, itu memang tidak salah. Haechan itu memang clingy, tapi tidak segitunya kalau mereka sedang tidak ada jadwal.

Contohnya seperti saat ini. Renjun sedang tiduran tengkurap, ia menopang badannya dengan kedua tangannya sambil melihat ponselnya di ranjang Haechan. Kakinya sesekali diayun-ayunkan. Sedangkan Haechan sedang duduk di kursi gaming-nya, tentunya sedang bermain entah game apa.

Mereka melakukan kegiatan kesukaannya masing-masing. Tidak ada pelukan hangat, belaian mesra, atau ciuman panas. Hanya berada di tempat yang sama mereka merasa cukup.

“ANJING. ANJING. GAK KEBURU.”

Renjun tak bereaksi apapun dengan teriakan Haechan, sudah biasa baginya mendengar semua sumpah serapah Haechan ketika ia bermain game.

“LEE JENO ANJING AH GAK BANTUIN.”

Renjun masih terus scrolling weibo-nya. Sesekali tertawa karena melihat sesuatu yang lucu di timeline-nya.

Sumpah serapah sejenak tak terdengar, Renjun menyimpulkan permainan mulai tenang dan tidak terlalu intens.

“Tau gak, Chan? Kemaren pas aku mau ke ruangan latihan tuh ada yang malu-maluin.” Renjun mengubah posisi tidurnya kini jadi terlentang.

“Chan? Dengerin nggak sih?” tanya Renjun sedikit kesal. Tapi ya Renjun paham, kalau Haechan sedang main game, jangan harap semua kata-katanya didengar.

“Hah? Nggak denger,” jawabnya singkat setelah beberapa detik, matanya masih fokus pada layar di depannya. Jarinya bergerak cepat di keyboard.

Renjun mendengus, kembali mengambil ponselnya dan melanjutkan sesi scrolling timeline-nya.

Memang begitu. Tidak seromantis itu, mereka tuh. Tapi hal tadi itu bukan hal yang bisa buat mereka berantem. Kekesalan seperti itu hanya biasa saja antar mereka.

“Ini meme-nya lucu banget deh, Chan. Kamu harus liat. Hahaha.”

Haechan masih tak merespon, tapi senyum nampak di wajahnya ketika ia mendengar gelak tawa kekasihnya.

“Yah, kalah lagi kan. Gara-gara Jeno emang nih ah. Main lagi nggak, ya?” Pertanyaan itu seakan untuk dirinya sendiri, tapi Haechan melihat ke arah Renjun. Renjun tidak menjawab, bahkan tidak menoleh ke arah Haechan, tapi ia mengedikkan bahunya.

Haechan menghembuskan nafas kemudian mengangkat tangannya, melakukan sedikit stretching setelah dua game tadi.

Ia berjalan menuju ranjangnya dan belum sempat ia meminta Renjun untuk geser sedikit supaya ia juga bisa berbaring di situ, Renjun sudah berganti posisi jadi tengkurap lagi, kali ini ia bergeser sedikit memberi tempat untuk Haechan.

Haechan ikut tengkurap juga, satu tangannya merangkul bahu Renjun dan satunya lagi menopang beban tubuhnya.

“Mana sih meme-nya?” tanya Haechan sambil mengintip ponsel Renjun.

“Oh, ini aku save hehehe.”

Renjun membuka galeri ponselnya dan menunjukkannya pada Haechan. Haechan ikut tertawa melihatnya.

Renjun menoleh ke sampingnya, gemas melihat pacarnya, ia pun mengecup singkat bibir Haechan lalu tersenyum.

“Foto, yuk,” ajak Renjun sambil membuka aplikasi kameranya.

Haechan memang tidak menjawab apa-apa, namun ia menyalakan lampu tidurnya kemudian ia menempelkan pipinya ke pipi Renjun, menatap lurus ke lensa kamera ponsel Renjun.

Renjun tersenyum karena melihat hasil foto pertama, ia kemudian memposisikan ponselnya lagi.

“Lagi, Chan.”

Kali ini Renjun mengambil foto tepat ketika bibir Haechan menempel di pipi Renjun, ekspresi Renjun pun seketika berubah, di dalam foto matanya terlihat menyipit karena tersenyum lebar.

Selain dua foto itu, ada kira-kira empat foto lainnya yang tersimpan di galeri. Salah satunya foto di mana Renjun yang mencium pipi Haechan.

“Hmm, kayaknya nggak ada yang bisa aku post,” Renjun mengatakan sambil memilih foto-foto di galeri ponselnya.

“Terlalu risky, kamu di dorm aku soalnya ini, malem-malem, di atas ranjang berdua. Nggak usah di-post.”

Kali ini Renjun bangun dan duduk bersila, ia menggeletakkan ponselnya sembarang di kasur.

“Chan, aku pengen main game.

Haechan mengerutkan dahinya, bingung dengan pernyataan Renjun, karena biasanya Renjun tidak terlalu menyukai game yang tadi dimainkannya.

Game?” tanyanya untuk memastikan maksud Renjun.

“Sini duduk. Game 'of course' itu loh. Ayo main sama aku.”

Haechan berdecak saat ia mulai bangun dan duduk di hadapan Renjun.

“Kamu nggak bisa menang dari aku, yang,” ujarnya penuh percaya diri.

“Nggak, aku yakin bisa menang.”

Ini hanya permainan receh, tetapi Renjun mengangkat tangannya untuk menyemangati dirinya sendiri, ia terlihat berapi-api, ia tahu Haechan sulit dikalahkan kalau bermain game ini.

“Ya udah oke, siapa duluan?”

“Aku duluan ya. Renjun ganteng dan manly banget, kan?”

Haechan tertawa meremehkan karena Renjun memulai dengan sesuatu yang mudah.

“Pasti, dong. Renjun pernah mikir buat putus sama Haechan, ya?” Haechan mengulum senyumnya melihat Renjun yang manyun karena pertanyaan Haechan.

“Ihh. Ya udah dijawab. Pasti, dong.”

“Hah? Serius?” Kali ini Haechan yang terlihat panik.

“Pernah, karena ya nggak yakin bisa lanjut apa nggak. Tapi yaa udah sih, kan nggak. Hmm.” Renjun terlihat berpikir untuk pertanyaan berikutnya. “Haechan janji nggak akan cium telinga Renjun depan kamera lagi, kan?”

“Arghh.” Haechan gemas sampai memukul ranjangnya. Tapi ia lebih ingin menang, akhirnya ia jawab. “Pasti, dong.”

Setidaknya tawa renyah Renjun karena jawabannya itu menghibur Haechan.

“Oke, Renjun sukaaa banget berhubungan seks sama Haechan, ya kan?” Lelaki Juni itu menyeringai, ia mungkin memang bisa memprediksi jawaban Renjun, tapi ia ingin permainan ini lebih seru.

Renjun menatapnya tajam. “Apa-apaan ih? Butuh validasi banget?”

“Jawab aja, sih.”

“Pasti, dong. Haechan bolehin Renjun deket sama laki-laki lain, ya?”

Haechan meliriknya sinis. Ia diam beberapa saat sebelum tersenyum seolah merasa menang dan menjawabnya. “Pasti, dong.”

Tak dapat dipungkiri, mata Renjun membulat terlihat kaget.

“Ya kan deket doang, jaraknya deket. Kerja di industri kayak gini tuh nggak mungkin kamu jauh-jauhan sama orang, ya kan?”

“Pasti, dong.” Renjun tertawa karena ia barusan pura-pura menganggap itu pertanyaan Haechan.

“Hey, bukan itu pertanyaannya. Renjun mau nikah sama Haechan, kan?”

Tawa itu langsung terhenti. Perkara menikah itu sesuatu yang serius, mereka tak pernah berbincang ke arah situ.

Kali ini Renjun pun tak menemukan seringai atau senyum yang dikulum di wajah Haechan, malah lelaki yang lebih muda tiga bulan terlihat serius.

“Hmm. Pasti mau, lah,” lirih Renjun.

Haechan sesungguhnya tidak menyangka dengan jawaban Renjun. Tapi, Renjun menjawab karena game atau–?

“Ya kan kamu tanya cuma mau atau nggak. Kalau ditanya ya mau. Tapi bisa nggak? Ya nggak bisa kalau sekarang.” Renjun menjulurkan lidahnya, merasa menang.

“Haechan seneng kan kalau Renjun pulang ke China dan nggak balik lagi?” Renjun menahan tawa sampai teriakan frustasi Haechan terdengar.

“Yang bener aja, Huang Renjun??” Haechan kesal dan Renjun hanya tertawa.

“Yeah, bisa kalahin Haechan hahaha lagian kenapa pertanyaan kamu gampang-gampang? Tumben, biasanya susah dan nyebelin banget.”

“Ya, nggak apa-apa sih, pengen aja liat kamu ketawa seneng karena menang. Eh, beneran mau nikah sama aku?” Haechan menaik turunkan alisnya.

Renjun menghembuskan nafas dan merebahkan dirinya lagi di ranjang.

“Kalau nggak perlu mikirin apa-apa, ya mau. Tapi kamu tau sendiri keadaannya gimana. Nikah di sini tuh maksudnya aku mau sama kamu, hidup sama kamu sampai tua. Meskipun kamu masih bakal mencetin bel rumah kita cuma buat iseng di umur 70.” Bukannya kesal, Renjun malah terkekeh membayangkan hal itu.

Haechan tersenyum, ekspresi jatuh cinta ketara di raut wajahnya. Ia mengikuti Renjun berbaring di sampingnya.

“Kamu bakalan masih cinta sama aku?” Dua-duanya kini menatap langit-langit kamar Haechan.

“Hmm, mencintai seseorang dalam waktu yang lama tuh, dulu aku suka mikir, emang bisa ya? Tapi akhirnya aku sadar, yang membuat pasangan bertahan itu bukan cinta aja. Nggak salah sih pasangan nikah disebut teman hidup, karena ya, sama-sama menjalankan hidup dan ngelewatin perjuangan kehidupan bersama. Kalau bisa ngelewatin itu bersama, ikatannya bakal makin kuat. Dan itu yang membuat bertahan, iya nggak?”

Haechan mengangguk. “Perjuangan yang ada di kehidupan kita bakal ada banyak, aku juga yakin kamu sadar. Kamu masih mau bertahan sama aku kan?”

“Kalau sekarang sih iya. Emang kamu nggak?”

Renjun menoleh ke samping, Haechan pun membalas tatapannya.

“Aku pengen jadi lebih kuat untuk kita.”

Kehangatan menjalar di hati Renjun, sudah berapa tahun sih ia jatuh cinta pada sahabatnya ini? Kok masih saja Renjun merasakan efek kupu-kupu di perutnya?

Senyuman yang membuat mata Renjun menyipit itu, adalah sesuatu yang paling Haechan sukai. Ada cinta di sana, Haechan tahu.

Tak tahan, ia pun mengecup bibir Renjun yang langsung membalas ciumannya. Haechan meletakkan tangan di pipi Renjun, karena ia tahu Renjun menyukainya.

Ciuman mereka terhenti karena suara notifikasi pesan dari ponsel Haechan yang terdengar cukup kencang di kamar Haechan yang sepi.

“Sebentar.”

Haechan kemudian mengambil ponselnya dan membalas singkat pesan yang masuk.

“Johnny hyung udah pulang dari dorm WayV.” Haechan menginformasikan, sebenarnya tak ada maksud apa-apa, hanya saja jangan sampai mereka sedang melakukan sesuatu di luar batas ketika Johnny masuk ke kamarnya dengan Haechan.

“Kalau gitu aku pulang aja, ya?”

“Jangan,” tahan Haechan sambil menarik kaos Renjun yang mulai beranjak dari tidurnya. “Di sini aja. Besok kamu ke gedung SM juga kan? Bareng aku kan bisa.”

Besok itu Haechan ada jadwal recording dengan unit 127, sedangkan Renjun ada meeting untuk keperluan konten baru.

“Kalau mobilnya nggak cukup?”

“Kan bisa aku gendong.”

“Iya, tapi aku nggak bawa baju.”

Haechan memutar bola matanya. “Alesan banget, kayak nggak bisa pinjam punya aku aja.”

Renjun tertawa. Memang sudah hal yang biasa mereka saling meminjam baju. “Emang Johnny hyung nggak apa-apa aku nginep?”

“Ya kan nginep doang, sayang.”

“Ya udah.” Renjun tersenyum dan menyamankan dirinya di samping Haechan yang lantas memeluk dirinya.

Waktu mereka lalui dengan mengobrol tentang banyak hal, kali ini Renjun sedang bercerita tentang teknik surfing yang ia pelajari, akhir-akhir ini memang itu yang menjadi minat Renjun.

“Nanti ajarin aku, ya?”

Pertanyaan Haechan itu bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka. Johnny masuk dan terlihat tidak kaget melihat Renjun berada di atas ranjang Haechan. Sepertinya memang Haechan sudah mengabarinya.

“Hai, Renjun.”

“Hai, hyung.” Renjun tersenyum malu.

“Santai aja, santai. Haechan udah bilang katanya mau nginep.” Johnny membuka jaketnya dan mengaitkan di balik pintu.

“Tapi nggak apa-apa tuh sempit gitu? It's summer, dude~

“Nggak apa-apa lah, yang penting sama pacar.” Haechan malah memeluk Renjun semakin erat sampai si lelaki rubah itu berteriak protes.

Johnny hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya sebelum keluar menuju kamar mandi.

Seperti itulah dinamika hubungan Renjun dan Haechan saat tidak disorot kamera, saat berada di balik pintu tertutup, hanya ada mereka berdua, menemani satu sama lain. Dalam tentramnya mereka pun, ada cinta di sana.

—end.

by tee.

Kegiatan belajar bersama kini menjadi hal yang rutin dilakukan Renjun dan Donghyuck. Renjun yang selama ini hanya menjalani kehidupannya sebagai idol kemudian tiba-tiba dihadapkan dengan pelajaran-pelajaran anak kelas 3 SMA, tentu saja menjadi bingung. Ia bersyukur Donghyuck mau membantunya melewati semua ini.

“Gimana? Udah ngerti?” tanya Donghyuck setelah menjelaskan pelajaran Fisika padanya.

“Hmm.” Renjun mengangguk meski sebenarnya ia tidak terlalu paham.

Donghyuck menghela nafas berat. “Ya udah sini gue kerjain aja ya. Palingan gue juga ujung-ujungnya emang harus ngerjain.”

Donghyuck akhirnya mulai mengerjakan tugas Fisika Renjun, memang tidak banyak, tapi Donghyuck anggap sebagai latihan saja karena ia pun memang harus belajar untuk mengejar cita-cita masuk universitas yang ia inginkan.

Renjun hanya memperhatikan Donghyuck sambil menopang dagunya. Berpikir bahwa inilah yang terjadi jika seandainya Haechan tidak memutuskan menjadi idol. Pasti ia akan jadi murid yang pandai di sekolah.

“Hyuck,” panggil Renjun pelan.

“Hm,” Donghyuck masih fokus mengerjakan soal fisikanya.

“Bosen, Hyuck,” rengek Renjun.

“Ya namanya juga belajar.”

“Hyuck.”

“Apa?”

“Lihat sini,” panggil Renjun lagi.

Ketika Donghyuck mengangkat mukanya dari soal-soal Fisika, ia mendapati Renjun yang sangat dekat.

“Boleh cium nggak?”

Sungguh, kadang Donghyuck bingung sendiri, ia tahu Renjun memang tidak polos, tapi sang idola itu mengatakan semuanya dengan raut muka Hwang Injun yang polos yang ia kenal betul, jadinya Donghyuck sering merasa bingung.

Donghyuck menghela nafasnya, kerap mengingatkan dirinya kalau yang di depannya itu Huang Renjun si idol.

“Oke.”

Baru saja bibir mereka beradu, belum sempat ciuman itu menjadi semakin dalam, teriakan terdengar dari arah pintu rumah Injun.

“Dek! Kamu ngapain??”

Langsung saja kedua insan itu saling menjauh mengetahui mereka tak lagi hanya berdua di rumah Injun.

“Hey, Donghyuck! Lo apain adek gue?”

Donghyuck terlihat menunduk, sedikit takut karena kehadiran Wookhee, kakak dari Injun.

“Ng–nggak, Kak. Cuma belajar Fisika.”

“Mana ada belajar Fisika cium-cium kayak gitu. Sejak kapan lo pacarin adek gue?”

“H-hah? Nggak, Kak. Nggak pacaran,” jawab Donghyuck pelan, masih menunduk di depan Wookhee.

“Injun, kok kamu mau aja ciuman sama dia tanpa status gitu?”

“Nggak gitu, Bang.”

“Tunggu, tunggu. Donghyuck, denger ya, gue nggak mau kalian main cium-cium tapi nggak ada status kayak gini. Sekarang gini aja. Lo suka sama Injun nggak?”

Donghyuck kebingungan. Ia menatap Renjun yang memberi isyarat dengan menggelengkan kepalanya.

Tapi, Donghyuck memang menyukai Hwang Injun, kan? Wookhee menggebrak meja, membuat Donghyuck dan Renjun kaget. “Suka nggak sama Injun?”

Akhirnya Donghyuck mengangguk. “Suka, Kak.”

“Oke, kalau gitu. Karena Injun juga suka sama lo, kalian jadian aja, oke?”

“Bang? Sejak kapan gue suka sama Donghyuck?” protes Renjun.

“Nggak usah pura-pura ya, Jun. Abang tau Injun naksir Donghyuck udah lama.”

Kali ini Donghyuck ikut kaget dengan pernyataan Wookhee.

“Tapi–” tadinya Renjun ingin protes lebih jauh, tapi tidak mungkin ia mengelak, karena saat ini orang melihat dirinya sebagai Hwang Injun.

“Inget ya, pacarannya yang wajar aja. Congrats yaa hahahahahaha.”

Wookhee yang tadinya terlihat intimidating, malah tertawa bangga sambil berjalan menuju kamarnya, meninggalkan kedua anak remaja yang kini kebingungan dengan status mereka yang tiba-tiba sudah jadi sepasang kekasih.

Renjun menepuk kepalanya pelan. Sedangkan Donghyuck terlihat masih shock dengan kejadian barusan. Semua terasa sangat cepat.

“Oke, oke. Kita cukup pura-pura aja di depan Bang Wookhee, ya? Biar nggak ribet aja.” Renjun menyimpulkan.

“So we're not really–?”

“Nggak lah, Hyuck. Gue punya pacar. Pacar gue Lee Haechan. Meski yaa, saat ini gue bukan jadi Renjun dan gue nggak lagi bareng Haechan, dan lo literally punya muka sama kayak Haechan, you're not him.”

Donghyuck mengangguk. Renjun benar, bagaimanapun saat ini mereka harus menjalani takdir yang terjadi pada mereka.

cw // kissing, slight making out


Sakit. Kepalanya sakit, pening sekali rasanya. Itu yang pertama dirasakan Injun. Bahkan ia tak sanggup membuka matanya. Tapi sayup-sayup ia mendengar suara yang familiar.

Perlahan ia coba buka matanya. “Hyuck.”

Hanya itu yang mampu keluar dari bibirnya sebelum rasa pening melanda kembali. Gelap.


Kali kedua Injun sadar, lagi-lagi karena ada suara-suara yang memanggilnya. Kali ini bukan hanya satu suara familiar, tapi ada beberapa.

Nama yang terdengar sedikit asing, tapi seperti namanya.

Lee Minhyung dari kelasnya Donghyuck?

Tunggu, Injun mendengar bahasa yang sedikit asing tapi anehnya Injun mengerti yang dimaksud orang itu, sepertinya Injun pernah dengar juga suaranya, tapi di mana ya?

Loh, Na Jaemin teman sekelas itu kan? Satu lagi, siapa ya?

Donghyuck!! Ada Donghyuck, eh, ada Lee Jeno juga?

Injun ingin sekali membuka matanya atau memanggil Donghyuck, namun entah kenapa dadanya terasa sesak dan kepalanya masih sedikit pusing.

Tak lama suara-suara itu menghilang, beserta kesadaran Injun.


Yang ketiga terjadi, Injun mendengar orang-orang berbicara dalam bahasa yang menurutnya asing, tidak familiar, tapi Injun mengerti. Awalnya kepalanya tidak begitu sakit, namun tiba-tiba satu persatu imaji muncul.

Seperti sedang bermimpi, Injun melihat potongan-potongan imaji itu layaknya menonton film.

Injun berada di suatu ruangan, gedung? gelap dan luas, titik-titik lampu berwarna hijau neon tersebar di seluruh tempat itu, terayun-ayun dan terlihat sangat indah. Bagaikan film yang di-mute, Injun tidak dapat mendengar apapun, tapi seolah Injun tahu ada banyak orang berteriak di sana. Adrenalinnya seperti terpicu, euforia yang tiba-tiba terjadi ini tak ingin cepat diakhiri.

Sayangnya potongan imaji sudah berubah. Kali ini Injun berada dalam sebuah ruangan yang lebih kecil. Cermin. Ia melihat pantulan dirinya, sedikit jauh dari dinding yang sepenuhnya merupakan cermin. Kalau Injun boleh tebak, tempat latihan dance?

Injun mengenakan baju kasual, kaos dan celana training. Peluh membasahi punggungnya. Rambutnya terlihat lepek. Raganya merasakan lelah yang luar biasa. Injun tidak sendiri di situ. Ada satu, dua, tiga, empat, lima, oh, enam orang lainnya. Tujuh bersama Injun. Ada yang sedang istirahat, ada yang sedang mempelajari gerakan dance.

Donghyuck? Matanya menyipit ke arah cermin, melihat bayangan orang yang ia sangat kenali. Belum sempat memperhatikan lebih lanjut, potongan imajinya sudah berubah.

Sebuah mic? Di tempat recording? Injun tahu ini bukan mic yang biasa digunakan kalau pergi noraebang bersama Donghyuck. Injun seperti habis bernyanyi. Lagi-lagi Injun tidak bisa mendengar apapun, meski menggunakan headphone di telinganya. Tapi Injun bisa merasa, tenggorokannya seperti agak sakit, seperti saat Injun dan Donghyuck menghabiskan waktu 3 jam di noraebang untuk menyanyi. Meski sakit, hati Injun sangat bahagia. Ada rasa bangga dalam hatinya.

Di potongan imaji selanjutnya hanya gelap, tapi Injun tahu itu karena ia sedang menutup mata. Yang ia rasakan adalah bibir lain yang kian memagut bibirnya, melumat lembut. Injun sedang ciuman?? Dan mengapa ini terasa sangat nyata? Siapa lawan ciuman Injun? Karena ini sungguh adiktif, Injun tidak ingin berhenti. Jantungnya berdegup kencang, rasa bahagia menjalar di seluruh tubuhnya.

Injun membuka mulutnya dan lidah itu menelusup masuk, menyapu sisi bibirnya, ahh, Injun sangat suka. Injun memberi sedikit jarak dan langsung menciumi leher orang itu, mengisap perlahan namun memastikan agar tak meninggalkan tanda. Wangi yang menguar dari lelaki itu terasa familiar bagi Injun.

“Ahh, Renjunie–”

Donghyuck? Bukankah itu suara Donghyuck?

Potongan imaji itu terhenti. Hilang. Gelap lagi.

cw // kissing

Renjun memainkan ponselnya dengan sedikit cemas. Baru saja ia secara impulsif meminta Donghyuck untuk datang dan ia tidak tahu apakah ia menyesali hal itu atau tidak.

Rumahnya sepi saat ini. Orang tuanya sedang ada acara makan malam di luar, kakaknya pun sedang tidak ada di rumah. Renjun sendirian di rumah saat ini. Kenapa bisa-bisanya ia meminta Donghyuck untuk datang?

Suara motor yang terdengar dari luar rumahnya membuat Renjun sedikit panik.

Nggak apa-apa. Cuma minta izin buat peluk aja. Peluk aja cukup.

“Mau cerita apa?” tanya Donghyuck begitu ia duduk di kursi belajar Injun sambil sedikit merapikan rambutnya yang berantakan. Ia tampaknya memang sudah biasa mendatangi kamar Injun.

“Hmm… pacar gue,” Renjun berhenti sejenak. Ia menghembuskan nafas berat. Kesal sendiri sebenarnya. Penampilan Donghyuck yang kasual mengingatkannya pada kekasihnya, Lee Haechan-nya. Renjun tentunya sering melihat persona idol dari seorang Haechan, namun Haechan yang kasual lah yang memberikan perhatian sebagai seorang kekasih, yang memeluknya hangat, menciumnya lembut.

“Lee Haechan.”

“Gimana?” kebingungan terlihat di raut muka Donghyuck.

“Haechan itu pacar gue.”

“Maksud lo, gue yang di sana itu pacar lo? Haechan itu nama panggung Donghyuck kan?”

Renjun hanya menunduk, tidak menjawab pertanyaan Donghyuck. Sedangkan Donghyuck sendiri masih kaget dengan pernyataan barusan. Ada banyak pertanyaan di benaknya.

Jadi, Haechan dan Renjun berpasangan di semesta lain? Tunggu, Renjun bukannya bilang hubungan mereka sulit diterima masyarakat di sana?

Begitu Donghyuck mulai fokus kembali ke Renjun, lelaki mungil itu malah semakin menunduk dan kini terisak. Sesekali menyeka air matanya sendiri, Renjun terlihat lebih kecil lagi karena ia seperti sedang memikul beban yang begitu berat. Donghyuck bangkit dan duduk di samping Renjun. Awalnya ia ragu, namun akhirnya memberanikan diri mengusap perlahan punggung Renjun yang menangis.

“Gue harus apa? Gue bisa bantu apa?”

Hanya butuh waktu satu detik untuk Renjun menenggelamkan kepalanya di bahu Donghyuck. Renjun lelah, lelah dengan rasa rindunya yang tak terbendung.

“Chan.”

Panggilan Renjun membuat dada Donghyuck sedikit sesak, memang hal yang wajar Renjun memanggil nama kekasihnya, yang ia tahu bukan dirinya. Namun, diucapkan tetap saja itu diucapkan dari bibir Hwang Injun, yang terlihat secara kasat mata itu adalah rupa seorang Hwang Injun, bukan Huang Renjun, seorang idol yang bahkan Donghyuck pun tak dapat membayangkan wujudnya seperti apa.

Tapi Renjun hanya sendiri saja di sini, meski banyak wajah familiar, mereka bukanlah orang yang sama.

“Aku di sini, Jun. Kamu nggak sendiri.”

Isakan tangis Renjun semakin menjadi, ia tak mencoba menahan tangisnya lagi. Bajunya kini basah namun Donghyuck masih terus mengusap punggungnya.

Renjun kali ini menyeka air matanya dan berusaha berhenti menangis. Ia menatap sisi samping wajah Donghyuck.

Karena merasa diperhatikan, Donghyuck menoleh. Ketika netra mereka bertemu, Donghyuck merasakan sensasi familiar dalam dirinya, seperti ada kupu-kupu dalam perutnya. Hal ini familiar karena memang itu hal yang biasa terjadi ketika ia menatap Injunnya.

Renjun memang tidak berkata apa-apa, tapi Donghyuck mengerti apa yang Renjun berusaha katakan dalam tatapannya. Ia rindu kekasihnya.

Renjun mengikis jarak antara mereka dan Donghyuck hanya bisa berkali-kali mengingatkan dirinya sendiri bahwa meskipun yang di depannya terlihat seperti Injun, ia bukanlah Injunnya. Ia Huang Renjun. Bukan Hwang Injun.

Sungguh Donghyuck tidak mengerti mengapa matanya otomatis menutup ketika bibir mereka bersentuhan. Awalnya hanya bersentuhan, tak lama Renjun mulai melumat bibirnya pelan. Tangannya meraih pipi Donghyuck, mengusap lembut sambil terus menciumi bibirnya. Tak tahan, Donghyuck membalas ciuman Renjun. Perlahan gerakan bibirnya mulai mengimbangi Renjun yang kerap memagut bibirnya dengan tempo yang lambat, mereka tidak sedang diburu waktu.

Ciuman pertama Lee Donghyuck, remaja berusia tujuh belas tahun itu adalah Huang Renjun dalam tubuh seorang Hwang Injun.

Donghyuck menatap lelaki mungil di depannya. Berkali-kali ia melihat Injun membasahi bibir bawahnya. Donghyuck paham, Injun sedang gugup karena sesuatu, entah apa yang ingin dibicarakan. Jika sesuatu tidak menjadi aneh, Donghyuck mungkin akan merasa Injun seperti ingin menyatakan cinta, tapi situasi berubah sejak beberapa hari lalu.

“Gue bukan Hwang Injun.”

Kata yang terlontar dari mulut Injun sesungguhnya memang jawaban dari hal yang ingin ia tanyakan, yang sudah ia curigai dari beberapa hari ini, tapi tetap saja ia sedikit terkejut, namun juga tidak begitu mengerti maksud Injun.

“Oke.”

“Gue tau lo pengen tanya banyak hal. Go on.”

Injun mengaduk tteokbokki di panci dan mengambil sebagian ke mangkuk kecil di depannya. Semerbak aroma gochujang memanjakan indera penciumannya, Injun tersenyum senang seperti anak kecil. Padahal hanya makan makanan sesederhana tteokbokki, tapi Injun terlihat begitu bahagia.

“Lo siapa? Injun mana? Dan kalau lo bukan Injun…” Donghyuck meraih tangan kanan Injun, memperlihatkan tanda lahirnya, “kenapa lo punya ini?”

“Nama gue Huang Renjun dan gue bukan dari dunia ini.”

Mulut Donghyuck terbuka sedikit, nampaknya masih mencerna informasi yang ia dapatkan. Lalu ia menutup mulutnya dengan tangannya, kaget akan sesuatu.

“Dari dunia gaib? Lo semacam, arwah penasaran yang masuk ke raga Injun?”

Tawa Injun membuat Donghyuck berpikir ulang tentang tebakannya. Tawanya khas Injun sekali.

“Bukan. Gue dari semesta yang lain. Tau dunia paralel? Di dunia yang lain, di sana nama gue Huang Renjun asal gue dari China.”

Parallel universe? Lo nge-prank atau gimana?”

Oh how I wish it's all just pranks too, Hyuck. Tapi masalahnya, situasi dan semua orang di sekitar gue berubah, bukan orang-orang yang sama kayak gue kenal meski nama dan wajah mereka sama.”

Okay, wait. Jadi, lo Hwang Injun versi China?”

“Yep, bisa dibilang begitu, dan gue kerja di Korea, jadi gue tau nama Korea gue Hwang Injun. Muka gue sama Injun ya sama. Gue juga punya tanda lahir di tangan. Bedanya ya kita dari tempat yang berbeda, di sini Injun anak SMA biasa tapi Renjun di sana idol terkenal berumur 21 tahun.”

“Wah, beneran sih emang agak nggak masuk akal cuma ya parallel universe, yaa mungkin aja sih,” ujar Donghyuck lebih ke dirinya sendiri. Ia masih tidak percaya hal seperti ini terjadi di kehidupannya.

“Sayangnya gue nggak tau gimana keadaan fisik gue dan keberadaan Injun. Maaf ya.” Donghyuck menyimpan sumpitnya, tak lagi tertarik dengan tteokbokki di depannya.

“Apa hal yang terakhir lo inget sebelum ke… sini?”

“Gue kejatuhan sesuatu, kayaknya sih salah satu lampu stage, rasanya sakit banget. Nggak tau kenapa, pas bangun gue tiba-tiba di sini, di ruang UKS sekolah lo.”

Donghyuck meringis, membayangkan kejadian yang dialami Renjun jauh lebih menyakitkan dibanding sekedar kena bola lemparan Jeno.

“Apa kita pukul kepala lo lagi pakai bola?”

Pertanyaan Donghyuck membuat Renjun spontan memegang kepalanya.

“Hey, enak aja!”

Donghyuck hanya terkekeh.

“Tapi kan cuma pakai bola aja, gue pastiin Jeno nggak lempar terlalu keras. Gue juga nggak mau Injun kenapa-kenapa.”

“Hm, ya boleh dicoba sih.”

“Eh, gue mau tau deh, kenapa lo ngomong gini ke gue? Maksudnya, lo tau gue sama Injun bahkan bukan temen sekelas.”

“Itu, yaa… gue sadar sih lo orang paling deket sama Injun dan lo juga kelihatannya curiga sama perubahan yang terjadi sama Injun. Lo orang pertama yang gue lihat dan kenalin di sini. Jadi yaa, gue percaya aja sama lo.”

Donghyuck mengangguk sambil mengunyah tteokbokki-nya. Renjun paham penjelasan ini masih cukup mengejutkan untuknya.

“Jadi, kita akan coba buat balikin lo ke sana, dan Injun ke sini, gitu kan?”

“Hidup di sini memang enak, gue nggak perlu capek latihan, badan nggak terasa lelah. Nggak ngerasa stress mikirin apa setiap gerak-gerik gue ada yang perhatiin atau enggak,” Renjun menghela nafas berat.

“Tapi bagaimanapun, hidup ini bukan milik gue. Gue nggak bisa egois. Kalau Injun bangun dengan tubuh gue, dia pasti kaget sih, nggak tega gue,” lanjut Renjun, ia hanya menatap saus kental merah tteokbokki di panci di depannya. Sudah tak selera untuk makan.

“Makasih ya, karena lo udah mikirin Injun juga.”

Lelaki di depannya, Huang Renjun, tertawa kecil dan Donghyuck gugup karena merasa tangan Renjun semakin mendekat ke arahnya. Tangan itu mengelap sisa saus tteokbokki di sudut bibirnya. Jantung Donghyuck terasa berhenti sesaat. Dia bukan Hwang Injun-nya, Donghyuck sadar. Tapi mengapa perasaan ini terasa familiar?

Saat Renjun selesai siaran dan baru saja keluar dari ruang siaran, ia melihat Donghyuck sedang menunggunya sambil bermain ponsel di sofa.

“Hyuck!”

Senyum mengembang di wajah si penyiar ketika kekasihnya menoleh ke arahnya.

“Langsung pulang?” tanya Donghyuck.

“Iya, yuk. Ge, gue pulang duluan ya,” pamit Renjun ke rekan kerjanya, Hendery.

“Belum makan malam, kan? Mau beli makan apa?” tanya Donghyuck begitu mereka sampai di mobil.

“Langsung pulang aja, biar cepet,” jawab Renjun sambil memasang seat belt-nya.

“Mau masak? Nanti lama lagi, yang. Udah malem loh ini. Besok aja masaknya.”

Renjun berpikir sejenak, memikirkan makanan yang bisa dimasak dengan cepat. “Mau makan ramyeon?”

Ekspresi kaget Donghyuck sungguh berlebihan sehingga Renjun pun tertawa melihatnya. “Kamu ngajak aku makan ramyeon? Kode, ya?”

Renjun memukul lengan pacarnya. “Apa sih? Biar cepet aja. Tapi kamu yang masak ya, sayang. Pake telor dua. Hehehe.”

“Hmm minta masakin aja, panggil sayang,” ujar Donghyuck sambil melajukan mobilnya meninggalkan parkiran gedung.

Renjun dan Donghyuck sudah menjalin kasih selama tiga tahun, namun mulai enam bulan lalu Renjun dan Donghyuck memutuskan tinggal bersama. Sejak saat itu mereka terlihat layaknya pasangan yang sudah menikah. Belanja bersama, memasak untuk satu sama lain, membersihkan rumah bersama.

“Yang, siapin daun bawangnya, tadi kamu beli, kan?” tanya Donghyuck dari arah dapur.

“Hmm.”

Renjun mengambilnya dari lemari es dan menyiapkan mangkuk dan sumpit untuk mereka gunakan. Tak lama, Donghyuck membawa sepanci ramyeon.

“Wah, wangi.”

Mereka makan sambil bercerita tentang hari-hari mereka, kadang mereka bercerita tentang masa kecil mereka. Rasanya tak pernah habis bahan obrolan di antara mereka.

Setelah makan, Renjun membereskan piring dan mencucinya. Donghyuck kebetulan sedang menerima telepon dari rekan kerjanya. Saat sedang mencuci piring, Donghyuck memeluk Renjun dari belakang.

“Sama aku aja,” ucap Donghyuck di dekat telinga Renjun, membuat jantung Renjun rasanya berhenti sesaat karena hembusan nafas Donghyuck di telinganya.

“Nggak apa-apa. Tadi kan kamu lagi telepon,” jawab Renjun sambil lanjut mencuci piring.

Bukannya melepaskan pelukan, Donghyuck malah menciumi leher Renjun.

“Hyuck, stop.”

Renjun melepas sarung tangannya dan berbalik sehingga ia menghadap ke Donghyuck.

“Tadi siapa sih? Kok nanyain kerjaan malem-malem?”

Donghyuck mengambil sarung tangan dan melanjutkan mencuci sisa piring yang ada. “Sungchan, anak baru di kantor.”

“Oh yang itu,” gumam Renjun pelan, ia kini duduk di atas meja dapur sambil mengayunkan kakinya pelan.

“Kenapa?” Donghyuck memang masih fokus dengan cucian piringnya, tapi ia tahu ada sesuatu yang dipikirkan Renjun.

“Dia suka sama kamu, ya? Nanya sama kamu terus. Padahal ada Jeno juga kan, Jeno juga baik banget suka bantu anaknya, tapi pasti nanya ke kamu.”

Donghyuck melepas sarung tangan karena sudah selesai mencuci piring. Ia mengambil tangan Renjun dan mengusapnya.

“Kan aku satu project bareng dia, yang. Nggak usah cemburu, aku cuma sayang kamu, cuma cinta kamu, kok.”

“Halah, kalau dia mau rebut kamu dari aku, gimana? Aku kan cuma pacar kamu doang.”

Kali ini Donghyuck tertawa, menyandarkan kepalanya di ceruk leher Renjun.

“Kamu tuh kenapa lucu banget, sih?”

“Kamu nggak mau sama aku selamanya, ya?” Renjun melingkarkan tangannya di leher Donghyuck.

“Mau lah, makanya aku mau lamar kamu. Tapi kamunya malah keburu cemburu gini, kan nggak jadi surprise.

“Hah? Serius?”

“Iya, weekend ini rencananya, aku udah pesan tempat di restoran.”

Renjun tak bisa menahan senyumnya. “Kita bakal nikah?”

“Iya.”

Legally?

Legally. Kalau kamu mau itu juga. Ribet loh?”

“Jadi kamu nggak mau ribet nikah sama foreigner?” Renjun memajukan bibirnya, tapi Donghyuck dengan cepat menciumnya.

“Ribet gitu doang gampang lah.”

Donghyuck mengangkat tubuh Renjun dari meja dan membawanya ke kamar. Renjun melingkarkan kakinya di pinggang Donghyuk sambil terkekeh senang sambil sesekali menciumi pipi dan kening sang pacar.

“我爱你.” (i love you)

“나도.” (me too)

Siaran sudah selesai, Haechan melihat Renjun yang sedang membereskan berkas, lalu pandangan mereka bertemu, Renjun tersenyum padanya.

“Renjun,” panggil Haechan pelan. Ragu.

“Kenapa?”

“Mau… ngopi bareng?” Haechan kaget sendiri dengan penawarannya. Masalahnya, Haechan bukanlah orang biasa yang bisa dengan mudahnya berduaan dengan seseorang di kedai kopi.

“Boleh,” jawab Renjun.

“Eh tapi, uh, gue nggak bisa, hmm gimana ya…”

Tawa Renjun seolah memberi kehangatan di dadanya. Haechan tahu, ia jatuh cinta lagi, pada cinta pertamanya.

“Iya ngerti. Gue udah minta bawain kopi sih.”

Mereka berdua berjalan keluar ruangan siaran. Sementara Renjun berjalan ke arah kamar mandi, Haechan melakukan sesi foto dengan staf radio lain.

Setelah Haechan selesai dan pamit dengan semua staf, ia keluar dan mendapati Renjun dengan dua cup kopi dari satu kedai kopi terkenal.

“Masih suka latte?” tanya Renjun.

Americano sih sekarang, but it's okay.” Haechan mengambil cup dari tangan Renjun.

“Ayo ikut gue,” ajak Renjun.

Mereka berjalan tak jauh dari situ, berbelok dan sampailah di satu sudut sepi dekat jendela kaca. Terlihat keramaian kota di malam hari dari kaca. Renjun berdiri bersandar pada kaca di belakangnya.

“Di sini sepi kok, kantor sebelah udah pada pulang kalau jam segini. Tadinya mau ke rooftop, tapi jauh.”

Haechan tersenyum.

“Mau ngobrol apa?”

Nggak tau, Haechan nggak tau mau ngobrol apa saja. Terlalu banyak yang ingin disampaikan tapi sulit diucapkan.

“Kamu sadar?”

Pertanyaan aneh, memang. Tapi Haechan tahu Renjun paham maksudnya.

Obvious banget, nggak sih? Semoga nggak kegeeran sih. Tapi, kenapa nggak pernah bilang yang masalah Yellow?”

Haechan ingin menjawab Renjun, tapi ada satu pertanyaan yang sangat ia ingin tanyakan sedari tadi.

“Jun, kalau gue bilang gue masih cinta, salah nggak?”

“Hyuck, do you love me or just the memories?

Mata Haechan sedikit membulat, sedikit kaget dengan pertanyaan Renjun.

“Hyuck, kita nggak pernah ketemu sejak 8 tahun lalu. Lo udah beda, gue juga pasti udah beda. Lo nggak tau gue yang sekarang, gimana bisa lo bilang lo cinta sama gue?”

Haechan tertunduk. Ia sendiri bingung.

I know it was beautiful, those times were so memorable, but maybe you just love Renjun from 8 years ago.

“Jun…”

I'm not trying to invalidate your feelings, rasanya nggak enak banget, memang. Tapi coba lo pikirin dulu deh. Kalaupun lo beneran juga, gue udah punya pacar, Hyuck. Gue sama Jaemin.”

Haechan mengangguk. “Jaemin sahabat lo itu ya?”

“Dia selalu ada, Hyuck. Saat gue jatuh cinta, saat gue dikecewakan, saat gue patah hati. Nggak cuma ada, tapi dia paling memahami gue. Meskipun gue baru bisa nerima dia tahun kemarin, tapi dia nggak pernah ninggalin gue.”

“Gue terlambat ya, Jun?”

“Banget. Hyuck, kalaupun iya juga, kayaknya gue nggak bisa sama lo, lo yang sekarang, lo yang… ya, semua orang tau lo. Semua orang mau tau kehidupan pribadi lo. I can't live that kind of life, Hyuck.”

“Kalau gue ninggalin karir gue?”

Kali ini Renjun yang kaget dengan pertanyaan Haechan. Masa Haechan senekat ini?

“Gue nggak akan membiarkan lo memilih gue dibanding karir lo. Sama kayak 8 tahun lalu ketika lo pengen gue nggak cinta sama lo. Jangan terjebak dalam cinta kayak gini lagi, Hyuck.”

Maybe we both need some time?

“Iya, tentunya. After all, we just met after 8 years.”

Mereka berdua terdiam. Mencoba memahami apa yang sebenarnya dirasakan oleh diri mereka masing-masing. Semua berlalu begitu cepat rasanya.

“Gue duluan ya,” pamit Renjun. Kini ia berjalan menjauh dari Haechan. Meninggalkan cinta pertamanya yang sudah benar-benar selesai.


Renjun bertemu Jaemin di lobby gedung, Jaemin yang tadinya menunggu sambil duduk, segera berdiri dan menghampiri Renjun. Mereka tidak berbicara sepatah kata pun, karena Jaemin paham itu yang Renjun butuhkan saat ini.

Jaemin hanya menuntun Renjun menuju mobilnya. Di dalam mobil pun masih tak ada yang berbicara. Jaemin menyetir perlahan, memberikan ruang untuk Renjun berpikir sambil menatap ke luar jendela mobil.

Di tengah perjalanan, Jaemin menepikan mobilnya.

“Keluarin aja.”

Renjun menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, lalu ia mulai menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dan terus terisak.

“Nggak adil banget, Na. Ini nggak adil… bisa-bisanya, dia bisa-bisanya datang lagi di kehidupan gue… hiks… dan tiba-tiba aja dia bilang, masih cinta sama gue? Hiks… Lengkap sama satu album tentang gue. Sinting emang.”

Jaemin masih terdiam sambil mengusap punggung Renjun. “Kamu mau gimana?”

Renjun berkali-kali menggeleng sambil masih terisak. “Nggak gimana-gimana. Nggak mau apa-apa.”

Kemudian tangisnya semakin menjadi.

“Sakit banget, Na… hiks. Kenapa ini nggak berakhir dengan cinta sepihak aja sih? Hiks…”

“Njun, mau break?”

“Nggak ya. Yang bener aja, masa cuma karena ini, kita break?”

Take a break aja, sayang. Bukan putus.”

Renjun menggeleng. “Kamu udah berkorban terlalu banyak, Na.”

Jaemin menghembuskan nafas berat. “Renjun, please. Kamu selalu begini. Kita jalanin hubungan berdua, our feelings matter. Not just your feeling, and not just my feeling. Kalau kamu memang butuh waktu, ya udah, aku rela memberikan hubungan kita sedikit ruang untuk berpikir tentang perasaan masing-masing. Aku nggak akan melepaskan kamu. Tapi kalau memang perasaan kamu bukan buat aku, ya aku bisa apa?”

Renjun terdiam, ia tak menjawab apa-apa dan hanya menangis.

“Aku juga nggak rela ngeliat kamu selalu nangis karena dia, Njun. Mau ya, kasih waktu buat kita?”

Renjun mengelap air matanya. Perlahan ia mengangguk. “Jangan tinggalin aku.”

“Aku ada, Renjun, aku ada.”

—end.

Setelah melakukan opening speech dan memutar lagu First Love dari Haechan, Renjun mulai memperkenalkan Haechan.

“Halo, selamat malam Lee Haechan.”

“Selamat malam semuanya,” Haechan menyapa dengan suara yang agak berat dan Renjun merasa ia perlu menarik nafas perlahan, menenangkan dirinya. Sungguh, ini begitu berat untuk Renjun padahal baru saja dimulai.

“Okay, kita bakal bahas tentang album solo kedua dari Lee Haechan yang bertajuk First Love,” Renjun membaca script dengan lancar. “Boleh diceritakan sedikit tentang album ini?”

“Album ini saya siapkan kira2 hampir satu tahun. Saya benar-benar ingin membuat album ini sempurna, maka dari itu persiapannya cukup lama. Isi lagunya kebanyakan lagu ballad dan sedikit R&B, menceritakan tentang betapa indahnya cinta pertama.” Haechan menjawab dan Renjun berani bersumpah, penyanyi itu menatapnya cukup intens di akhir kalimat.

“Saya sudah mendengar lagu-lagu di album ini, dan, wahh… bagus-bagus sekali, dan tentunya memang berbeda dengan lagu-lagu Haechan sebelumnya ya?”

Haechan tersenyum karena pujian Renjun. “Iya betul. Dari mulai aliran musik sampai gaya berpakaian pun sangat berbeda. Saya ingin memperlihatkan sisi lain saya melalui album ini.”

“Jadi bukan karena berubah, tapi menunjukkan sisi lain, begitu?” Renjun memastikan.

“Iya, benar.”

“Oke kita baca pesan dulu ya. Banyak sekali pesan yang masuk ya malam ini. Dari #0606 'Wah seneng banget kak Ren-D jadi DJ lagi, ditambah guest-nya Haechan! Perfect combo!' Terima kasih. Kebetulan Le-D nggak bisa siaran jadi ya saya gantikan, sekali-sekali boleh lah ya, siaran lagi?

Lanjut, pesan dari #0510 'Penasaran deh sama cinta pertamanya Kak Haechan, bahas dong, Kak Ren'. Bahas nggak ya? Kita serahkan aja sama guest-nya langsung ya. Gimana, Haechan?”

Sumpah, Renjun merasa aneh, awkward, nggak nyaman. Kenapa Renjun yang harus bertanya ini di saat Renjun sendiri sadar yang dibahas adalah tentang dirinya?

“Sebenernya kalau kalian dengar satu album, ya begitu aja sih. Jadi, lewat lagu-lagunya aja ya,” jawaban Haechan membuat Renjun sedikit lega, namun Hendery sang PD memberikan tanda untuk dia membaca pesan dari pendengar lagi.

Renjun melihat ke layar monitornya, sesaat ragu untuk membacakan pesan tersebut.

“Dari #0328 'Apakah ada momen favorit bersama si first love?'” Renjun menatap Haechan, ingin memberi pesan pada si penyanyi agar berhati-hati dengan jawabannya.

“Kalau momen, lihat di MV aja ya. Itu based on true story kok. Kembang api dan sunset di pantai, dan es krim di lapangan tenis. Tapi selain itu ada sih. Waktu valentine.”

Deg!

Jantung Renjun rasanya berhenti berdetak, keringat dingin mulai terasa di kepalan tangannya. Waktu Valentine kan… Renjun mengirim cokelat dan surat secara anonim.

“Waktu valentine dia kirim cokelat ke saya. Sebetulnya berupa anonim, dia titipkan ke temannya. Tapi lucunya, saya melihat ketika dia titipkan cokelat itu. Jadi ya saya tahu itu cokelat pemberian dia.”

Haechan masih menatap Renjun. Renjun sebenarnya takut, karena meski di ruangan siaran hanya ada mereka berdua, tapi mereka diperhatikan oleh staf lain di sana. Sesaat Renjun merasa beruntung ini bukan viewable radio. Renjun berusaha menyembunyikan rasa paniknya, ia mencoba tersenyum.

“Wah, berarti perasaannya terbalas ya?” Renjun sungguh tidak tahu untuk siapa pertanyaan itu, apakah untuk Haechan atau untuk dirinya sendiri?

“Benar. Tapi sakit rasanya karena tau itu terjadi di waktu yang tidak tepat.”

Renjun melihat Hendery melambaikan tangannya di ruangan sebelah, ia mengangguk menangkap pesan Hendery untuk mengakhiri sesi ini.

“Hmm pasti rasanya sakit ya. Tapi maaf banget saya potong dulu untuk kali ini. Lagu berikutnya Lucky dari Jason Mraz.”

“Cuy, salah lagu itu,” protes Dejun si Music Director ketika lagu mulai mengalun.

“Iya, sorry. Ini lagu yang tadi gue siapin waktu nyusun acara.”

“Sempet-sempetnya nyelipin lagu kebangsaan lo.”

Renjun mengabaikan komentar Dejun, sekaligus tatapan tajam Haechan dengan pura-pura membaca script. Baru saja selesai sesi pertama dan Renjun hanya ingin semua cepat berakhir.

“Halo, kembali lagi dengan Ren-D dan Lee Haechan di sini. Nanti bakal dibacain lagi pesan-pesan dari kalian, jadi jangan lupa tinggalkan pesan ya.

Nah untuk Haechan, album ini kan ada 10 track ya. Dari semua track, selain title track, mana lagu yang paling Haechan suka?”

“Musim Semi,” jawab Haechan tanpa ragu.

“Alasannya?”

“Dalam lagu ini menggambarkan perasaan kalau lebih sulit melupakan orang yang kita cintai dan kita tau dia membalas perasaan kita, dibanding melupakan orang yang kita cintai secara sepihak.”

Renjun melihat Haechan yang menunduk dengan tatapan sendu. Pasti hal itu lebih menyesakkan, bukan? Selama ini Renjun hanya menjadi penggemar rahasia Haechan, Renjun pikir ia hanya mencintai secara sepihak. Ketika ia sudah ingin menyerah, ya tinggal berhenti saja.

Tapi ternyata Haechan menanggung rasa yang lebih berat. Mengetahui bahwa mereka saling ada rasa tapi tak bisa bersama, pasti sulit rasanya. Renjun baru mengerti kenapa saat itu, musim semi delapan tahun lalu, Haechan meminta untuk tidak mencintainya. Karena ini berat bagi Haechan.

Tepukan pelan di bahu Renjun membawanya kembali ke realita. Dia berusaha fokus dengan acara yang sedang berjalan ini.

“Wah, ternyata sangat bermakna ya. Memang bagi banyak orang, cinta pertama itu sulit dilupakan. Hal ini karena cinta pertama adalah perasaan yang sangat intens yang pertama kali kita rasakan. Itulah kenapa kita seolah-olah merasa kita tidak akan merasakan hal yang sama pada cinta yang selanjutnya, padahal tidak seperti itu. Pengalaman pertama, rasa sakit pertama, patah hati pertama yang dialami membuat cinta pertama menjadi berkesan. Ayo, share pengalaman cinta pertama kalian. Yang menarik nanti dibacakan di sini. Sambil menunggu, di sini Haechan mau menyanyikan satu lagu, langsung untuk kalian. Stay tune.

Seingat Renjun, Haechan akan menyanyikan lagu First Love secara langsung. Haechan mengambil gitarnya dan memberi aba-aba pada Dejun di ruangan sebelah.

Ketika intro dimulai, Renjun tau itu bukan lagu First Love.

'Loh, ini kan lagu…'

“Look at the stars Look how they shine for you And everything you do Yeah, they were all…”

'...yellow.'

“I came along I wrote a song for you And all the things you do And it was called, Yellow.”

Renjun bersumpah ia nggak tahu harus bagaimana. Saat ini hanya mematung melihat Haechan yang sedang menyanyi sambil bermain gitar, sesekali mencuri pandang ke arahnya. Jantung Renjun berdegup lebih kencang. Seperti melihat Lee Donghyuck-nya yang dulu. Cinta pertamanya.

Pada sesi terakhir, Renjun merasa lebih rileks karena pembahasan tak lagi tentang cinta pertama Haechan. Renjun pun mengakhiri acara siaran dengan lagu terakhir dari Haechan, Musim Semi.