mysummer

Haechan menggenggam erat tangan mungil kekasihnya. Tak henti-hentinya ia berdoa dan mengucap agar Renjun segera bangun. Air mata mengalir di pipinya. Namun Huang Renjun tak kunjung membuka mata. Haechan takut, takut sekali ia tak bisa bertemu kembali dengan kekasihnya.

“Renjun. Bangun ya. Nanti kita makan apapun yang kamu mau deh, aku ngikut. Nanti kita nge-date keluar ya, udah lama kan kamu pengen kita nge-date di luar tapi nggak sempat terus. Nanti… nanti aku sering nginep di dorm kamu biar kamu nggak kangen terus. Tapi bangun ya, sayang. Aku nggak bisa nggak ada kamu.”

Operasi Renjun selesai sepuluh jam yang lalu namun ia belum juga siuman dan kini sedang berada di ruangan ICU. Haechan terus menunggunya tanpa lelah. Berkali-kali Haechan menengok Renjun yang masih terlelap dari balik kaca ruang ICU.

Sampai akhirnya manajernya menyuruh dia untuk pulang, ia tak mau pulang sebelum bertemu dengan kekasihnya. Suster akhirnya mengizinkan Haechan mengunjungi Renjun sebentar. Dan di sinilah dia sekarang.

Ada pergerakan lemah dari jemari Renjun dan Haechan pun menggenggam tangan itu semakin erat, mengucap kata dan janji manis jika Renjun bangun nanti.

“Renjun, sayang. Aku janji akan lebih sayang kamu, akan selalu lindungi kamu. Meskipun emang hubungan kita cuma sedikit orang yang tahu, meskipun semua orang akan menentang kita, aku akan memperjuangkan kita, Renjun. Aku mohon kamu bangun ya. Cepet sehat lagi biar kita bisa sama-sama lagi.”

Perlahan kedua mata itu terbuka, Renjun menatapnya. Haechan sungguh bahagia sekali. Sebelum sempat Haechan memanggil suster di luar ruangan, Renjun memanggilnya pelan.

“Hyuck…”

Matanya kembali menutup dan tak sadarkan diri, Haechan panik. Alat-alat yang menempel pada tubuh Renjun tidak mengindikasikan ada sesuatu yang berbahaya namun Haechan bergegas memanggil suster.

Haechan menunggu di luar ruangan ICU ketika dokter memeriksa keadaan Renjun, beberapa menit saja terasa lama.

Dokter menyatakan Renjun baik-baik saja untuk saat ini, mereka masih harus terus memantau keadaannya tapi setidaknya tidak dalam masa kritis saat ini.

“Haechan. Sekarang pulang dulu ya, nanti saya pasti kabari terus untuk keadaan Renjun. Besok orang tua Renjun datang, kamu tidak bisa terlihat seperti ini di depan mereka,” begitu ujar manajernya setelah dokter menjelaskan keadaan Renjun pada Haechan.

Haechan hanya mengangguk dan mengikuti manajernya untuk kembali ke dorm dan istirahat.

Hal terakhir yang Renjun ingat di hari itu adalah teriakan seseorang, lalu sesuatu menimpa dirinya. Kepalanya sakit sekali.

“RENJUN!!!”

Haechan. Ya, suara Haechan yang terakhir Renjun ingat.


Sebelum membuka matanya, Renjun merasa ada yang berbeda, ia tidak begitu mengerti apa. Indera penciumannya menangkap bau-bau obat. Ya, wajar seharusnya, sepertinya Renjun sudah dibawa ke rumah sakit. Tapi, badannya terasa berbeda, seperti bukan dirinya. Apakah efek dari kecelakaan tadi?

Perlahan ia membuka matanya. Sepasang mata indah yang familiar menatap balik dirinya, kekhawatiran terlihat jelas di sana. Renjun pun merasakan tangan yang menggenggamnya semakin erat.

“Haechan…” panggilnya lemah.

Yang dipanggil hanya menatapnya bingung. Aneh. Ini aneh. Seharusnya, mereka masih pakai stage outfit yang ribet itu kan? Tapi, Haechan kenapa pakai baju… seragam sekolah? Kemana jaket kulit dan berbagai macam aksesoris itu? Apa mereka sudah pindah tempat syuting?

“Injun!” Kali ini seorang laki-laki tinggi datang menghampirinya. “Lo nggak apa-apa? Sorry banget ya, tadi. Gue nggak sengaja, beneran!”

Lee Jeno. Terlihat lebih… muda? Tidak ada riasan make-up pada wajah tampannya. “Aw!” Jeno meringis kesakitan karena tangannya dipukul Haechan.

“Lo tuh ya, lain kali hati-hati. Injun sampai pingsan lo lempar bola tadi,” omel Haechan, ia terlihat agak kesal.

“Hey, Jun,” sapa seseorang dengan suara agak berat. Laki-laki itu datang dari pintu ruangan… oke, ini bukan rumah sakit, ya?

“Kepalanya baik-baik aja?”

Na Jaemin. Laki-laki itu mencoba memegang kepala Renjun, mengusapnya pelan. Renjun hanya mengangguk pada Jaemin. Tak sampai dua detik, tangan itu ditepis halus oleh Haechan. Renjun menatap Haechan dan tersenyum. Nampaknya sedikit posesif ia hari ini.

“Ck,” Jaemin berdecak. “Nih. Gue bawain dari kelas.” Jaemin menyerahkan kotak makan ke Haechan. Renjun tidak tahu milik siapa, tapi ia berasumsi kotak makan itu adalah miliknya.

“Makan dulu ya. Pasti lo belum makan. Tadi malem begadang terus barusan ikutan olahraga di tengah lapangan panas-panas, ngga sarapan pula.”

Renjun kembali tersenyum melihat Haechan mengomel sambil membuka kotak makannya. Renjun bangun dan dipikir-pikir memang rasanya ia agak lapar saat ini.

Sebelum ia melahap makanannya, Haechan mengusir Jeno dan Jaemin dari ruang… UKS? Katanya supaya dirinya bisa makan dengan tenang tanpa gangguan.

“Wah, mirip masakan mama,” gumamnya sambil melahap bekalnya yang kebetulan merupakan beberapa menu masakan Tiongkok.

“Ya kan emang buatan emak lo.”

Haechan seperti teringat sesuatu karena ia tiba-tiba menatap Renjun lekat-lekat, “lo beneran nggak apa-apa, Jun? Kok bisa sampai lupa?”

Oke, kepalanya rasanya… tidak apa-apa? Padahal kecelakaan tadi seharusnya cukup parah. Kejatuhan lampu stage itu pasti sesuatu yang serius, bukan? Namun, di mana dia sekarang? Apakah ada yang Renjun lewatkan? Apakah mereka sedang syuting untuk konten baru yang bertema sekolah? Tapi, anehnya tidak ada kabel-kabel mic yang terasa di badannya, tidak ada make-up berlebihan, tidak ada gel rambut kaku.

Sebentar, semua rambut mereka saat ini dicat hitam? Bukannya terakhir kali–

“Injun?” Haechan menepuk pundaknya, tampak khawatir dengan keadaan Renjun.

“Haechan–” belum sempat Renjun mengutarakan hal yang ingin disampaikannya, kembali ia menangkap raut kebingungan di wajah Haechan.

Mata Renjun menangkap sesuatu di kemeja seragam Haechan. Name tag. 'Lee Donghyuck' tertulis di situ.

“Hyuck,” panggil Renjun pelan.

Haechan menghembuskan nafas lega. Mungkin karena akhirnya sesuatu yang ditakutkannya ternyata tidak terjadi sehingga ia merasa tenang.

I'm fine, Hyuck.” Renjun sekali lagi tersenyum, ingin meyakinkan bahwa ia memang baik-baik saja, setidaknya secara fisik ya memang tidak ada masalah.

Yang Renjun bingungkan, semua saat ini terasa berbeda. Bahkan ia merasa tidak sedang dalam badannya sendiri. Kemana rasa pegal hasil latihan menari berjam-jam? Bahkan Jaemin, Jeno, Haechan semua terlihat lebih muda, benar-benar terlihat seperti pelajar normal pada umumnya.

“Lee Donghyuck!!” teriakan dari luar ruangan membuyarkan pikiran Renjun. Seseorang masuk ke ruangan itu.

Mark Lee!

Nampaknya pada akhirnya ada orang yang bisa Renjun tanyakan. Paling tidak, dia percaya Mark akan jujur padanya seandainya ternyata teman-teman yang lain memutuskan mengerjainya dengan mengatur prank aneh ini.

“Oh, Injun. Lo baik-baik aja kan?”

Renjun masih belum berani bicara banyak, ia takut salah bicara. Kali ini pun ia hanya mengangguk.

Mark tersenyum padanya namun seketika ekspresinya berubah menjadi kesal ketika ia melihat Haechan.

“Ayo masuk kelas, lo nggak bisa ya bolos lagi di pelajaran Mr. Kim.” Mark menarik tangan Haechan yang menolak keluar dari UKS.

“Nggak, gue mau nemenin Injun di sini.”

“Hyung,” panggilan itu tak hanya membuat Haechan menatapnya dengan tajam, tapi Mark pun berbalik dan melihatnya seperti Renjun ini sangat aneh.

Renjun menggigit bibirnya. Oke, kayaknya ada yang salah ini.

“Lo duluan masuk aja, nanti gue pasti nyusul,” ujar Haechan sambil mendorong Mark keluar dari ruangan.

“Awas ya kalau nggak masuk.”

Haechan kembali menutup pintu ruangan. Nampaknya keanehan ini bukan hanya dirasakan Renjun saja, tapi bagi Haechan juga.

“Ngapain manggilnya kayak gitu?”

Cemburu. Renjun tahu Haechan cemburu, kalau begini ia tidak merasakan ada hal yang aneh karena Haechan tetaplah Haechan yang mudah cemburu dan menggodanya. Ia merasa nyaman, familiar.

“Kamu nggak suka?”

Mata Haechan semakin membulat karena pertanyaan Renjun. Ini memang terlihat lucu, tapi kenapa Haechan seperti gugup? Salting?

“Yaa ngapain sih, temen satu angkatan juga, lagipula sejak kapan sih lo deket sama Minhyung?”

Senyum Renjun memudar. Satu angkatan? Minhyung? Seingat Renjun mereka cukup jarang memanggil Mark dengan nama Korea-nya. Renjun perlahan melihat ke bawah, ke seragam sekolahnya.

'Hwang Injun' tertera di name tag-nya.

Matahari pagi itu mulai tinggi tapi di kamar apartemen mewah Reno masih agak gelap karena gorden yang menutupi kaca lebar yang bisa memperlihatkan pemandangan gedung-gedung tinggi ibu kota.

Reno menggeliat, mulai terbangun. Awalnya sedikit kaget dengan kehangatan yang dia rasakan di sampingnya. Hal ini bukan hal biasa, apalagi ia memang selama ini tinggal sendiri, belum lagi sebulan lalu di Paris, hanya dingin dan kekosongan yang menyapa ketika ia meraba sisi samping tempat tidurnya.

Mata Reno terbuka namun seketika menyipit akibat kecerahan ekstrim dari layar ponsel yang digunakan laki-laki di sampingnya.

“Jam berapa, Sya?” tanyanya pelan, suaranya sedikit serak.

“Masih jam sembilan pagi,” jawab Harsya, masih mengetik sesuatu di ponselnya.

Reno mengerang, kepalanya masih sedikit pusing, mungkin karena jet lag, ia pun sulit tidur semalam, baru tidur sekitar pukul empat pagi.

Satu tangan Harsya menarik tubuh mungil Reno lebih dekat, Reno pun menenggelamkan wajahnya di leher Harsya.

“Tidur lagi aja. Masih cape, kan? Gue udah pesenin makan.”

Reno hanya mengangguk. Kemudian dia tiba-tiba seperti teringat sesuatu, namun sulit bergerak karena tangan Harsya yang menghalanginya.

“Lo nggak kerja? Masih weekday kan ini?”

“Iya, nanti datang siangan. Nggak terlalu sibuk hari ini.”

Reno membuka kembali matanya, mulai terbiasa dengan cahaya di kamarnya juga dari ponsel Harsya. Sekilas dia melihat isi pesan dari ponsel Harsya sebelum temannya itu meletakkan ponsel di nakas sebelahnya.

“Siapa?” Reno bertanya, berharap nadanya tidak seperti tuduhan.

“Sekretaris baru. Sena mau resign, gue pengen cepet dapet gantinya jadi minta karyawan kantor aja biar nggak perlu rekrut baru.”

“Tumben cewek.” Tangan Reno di dada Harsya sedikit bergetar karena tawa rendah Harsya.

“Iya, rekomendasi Sena dari General Affair. Hmm, ya so far anaknya oke sih, Sena juga udah tau gue maunya yang gimana, jadi ya udahlah biar cepet.”

Kalau bukan karena jemari Reno yang bermain-main di atas dada Harsya, mungkin Harsya mengira Reno tidur lagi.

“Pesan makan apa?” tanya Reno di tengah kesunyian yang tadi mereka nikmati.

“Soto Mie kesukaan lo.”

“Hm. Padahal pengen nasi Padang.”

Harsya melepaskan diri dari pelukan Reno, mengacak rambut Reno yang kemudian cemberut karena perlakuannya. Harsya tersenyum melihat sahabatnya kesal. Belum sempat ia melangkahkan kaki setelah turun dari tempat tidur, tangan Reno menahannya.

“Ke mana?”

“Ambil makanan di lobby. Bentar ya.”

Kini Reno sendiri lagi. Seharusnya itu hal yang biasa, tapi rasanya beda jika baru saja ditinggal Harsya.

Apa Reno boleh berharap Harsya terus di sampingnya? Tapi, tidak mungkin, kan?