Akhir Cinta Pertama
Siaran sudah selesai, Haechan melihat Renjun yang sedang membereskan berkas, lalu pandangan mereka bertemu, Renjun tersenyum padanya.
“Renjun,” panggil Haechan pelan. Ragu.
“Kenapa?”
“Mau… ngopi bareng?” Haechan kaget sendiri dengan penawarannya. Masalahnya, Haechan bukanlah orang biasa yang bisa dengan mudahnya berduaan dengan seseorang di kedai kopi.
“Boleh,” jawab Renjun.
“Eh tapi, uh, gue nggak bisa, hmm gimana ya…”
Tawa Renjun seolah memberi kehangatan di dadanya. Haechan tahu, ia jatuh cinta lagi, pada cinta pertamanya.
“Iya ngerti. Gue udah minta bawain kopi sih.”
Mereka berdua berjalan keluar ruangan siaran. Sementara Renjun berjalan ke arah kamar mandi, Haechan melakukan sesi foto dengan staf radio lain.
Setelah Haechan selesai dan pamit dengan semua staf, ia keluar dan mendapati Renjun dengan dua cup kopi dari satu kedai kopi terkenal.
“Masih suka latte?” tanya Renjun.
“Americano sih sekarang, but it's okay.” Haechan mengambil cup dari tangan Renjun.
“Ayo ikut gue,” ajak Renjun.
Mereka berjalan tak jauh dari situ, berbelok dan sampailah di satu sudut sepi dekat jendela kaca. Terlihat keramaian kota di malam hari dari kaca. Renjun berdiri bersandar pada kaca di belakangnya.
“Di sini sepi kok, kantor sebelah udah pada pulang kalau jam segini. Tadinya mau ke rooftop, tapi jauh.”
Haechan tersenyum.
“Mau ngobrol apa?”
Nggak tau, Haechan nggak tau mau ngobrol apa saja. Terlalu banyak yang ingin disampaikan tapi sulit diucapkan.
“Kamu sadar?”
Pertanyaan aneh, memang. Tapi Haechan tahu Renjun paham maksudnya.
“Obvious banget, nggak sih? Semoga nggak kegeeran sih. Tapi, kenapa nggak pernah bilang yang masalah Yellow?”
Haechan ingin menjawab Renjun, tapi ada satu pertanyaan yang sangat ia ingin tanyakan sedari tadi.
“Jun, kalau gue bilang gue masih cinta, salah nggak?”
“Hyuck, do you love me or just the memories?“
Mata Haechan sedikit membulat, sedikit kaget dengan pertanyaan Renjun.
“Hyuck, kita nggak pernah ketemu sejak 8 tahun lalu. Lo udah beda, gue juga pasti udah beda. Lo nggak tau gue yang sekarang, gimana bisa lo bilang lo cinta sama gue?”
Haechan tertunduk. Ia sendiri bingung.
“I know it was beautiful, those times were so memorable, but maybe you just love Renjun from 8 years ago.“
“Jun…”
“I'm not trying to invalidate your feelings, rasanya nggak enak banget, memang. Tapi coba lo pikirin dulu deh. Kalaupun lo beneran juga, gue udah punya pacar, Hyuck. Gue sama Jaemin.”
Haechan mengangguk. “Jaemin sahabat lo itu ya?”
“Dia selalu ada, Hyuck. Saat gue jatuh cinta, saat gue dikecewakan, saat gue patah hati. Nggak cuma ada, tapi dia paling memahami gue. Meskipun gue baru bisa nerima dia tahun kemarin, tapi dia nggak pernah ninggalin gue.”
“Gue terlambat ya, Jun?”
“Banget. Hyuck, kalaupun iya juga, kayaknya gue nggak bisa sama lo, lo yang sekarang, lo yang… ya, semua orang tau lo. Semua orang mau tau kehidupan pribadi lo. I can't live that kind of life, Hyuck.”
“Kalau gue ninggalin karir gue?”
Kali ini Renjun yang kaget dengan pertanyaan Haechan. Masa Haechan senekat ini?
“Gue nggak akan membiarkan lo memilih gue dibanding karir lo. Sama kayak 8 tahun lalu ketika lo pengen gue nggak cinta sama lo. Jangan terjebak dalam cinta kayak gini lagi, Hyuck.”
“Maybe we both need some time?“
“Iya, tentunya. After all, we just met after 8 years.”
Mereka berdua terdiam. Mencoba memahami apa yang sebenarnya dirasakan oleh diri mereka masing-masing. Semua berlalu begitu cepat rasanya.
“Gue duluan ya,” pamit Renjun. Kini ia berjalan menjauh dari Haechan. Meninggalkan cinta pertamanya yang sudah benar-benar selesai.
Renjun bertemu Jaemin di lobby gedung, Jaemin yang tadinya menunggu sambil duduk, segera berdiri dan menghampiri Renjun. Mereka tidak berbicara sepatah kata pun, karena Jaemin paham itu yang Renjun butuhkan saat ini.
Jaemin hanya menuntun Renjun menuju mobilnya. Di dalam mobil pun masih tak ada yang berbicara. Jaemin menyetir perlahan, memberikan ruang untuk Renjun berpikir sambil menatap ke luar jendela mobil.
Di tengah perjalanan, Jaemin menepikan mobilnya.
“Keluarin aja.”
Renjun menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, lalu ia mulai menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dan terus terisak.
“Nggak adil banget, Na. Ini nggak adil… bisa-bisanya, dia bisa-bisanya datang lagi di kehidupan gue… hiks… dan tiba-tiba aja dia bilang, masih cinta sama gue? Hiks… Lengkap sama satu album tentang gue. Sinting emang.”
Jaemin masih terdiam sambil mengusap punggung Renjun. “Kamu mau gimana?”
Renjun berkali-kali menggeleng sambil masih terisak. “Nggak gimana-gimana. Nggak mau apa-apa.”
Kemudian tangisnya semakin menjadi.
“Sakit banget, Na… hiks. Kenapa ini nggak berakhir dengan cinta sepihak aja sih? Hiks…”
“Njun, mau break?”
“Nggak ya. Yang bener aja, masa cuma karena ini, kita break?”
“Take a break aja, sayang. Bukan putus.”
Renjun menggeleng. “Kamu udah berkorban terlalu banyak, Na.”
Jaemin menghembuskan nafas berat. “Renjun, please. Kamu selalu begini. Kita jalanin hubungan berdua, our feelings matter. Not just your feeling, and not just my feeling. Kalau kamu memang butuh waktu, ya udah, aku rela memberikan hubungan kita sedikit ruang untuk berpikir tentang perasaan masing-masing. Aku nggak akan melepaskan kamu. Tapi kalau memang perasaan kamu bukan buat aku, ya aku bisa apa?”
Renjun terdiam, ia tak menjawab apa-apa dan hanya menangis.
“Aku juga nggak rela ngeliat kamu selalu nangis karena dia, Njun. Mau ya, kasih waktu buat kita?”
Renjun mengelap air matanya. Perlahan ia mengangguk. “Jangan tinggalin aku.”
“Aku ada, Renjun, aku ada.”
—end.