behind closed doors
cw ; kissing, harsh words, vulgar convo
1.6k words
Renjun pernah mengatakan, bahwa dinamika hubungan dirinya dan Haechan berbeda ketika tertangkap kamera dan ketika tidak di depan kamera.
Ya, itu memang tidak salah. Haechan itu memang clingy, tapi tidak segitunya kalau mereka sedang tidak ada jadwal.
Contohnya seperti saat ini. Renjun sedang tiduran tengkurap, ia menopang badannya dengan kedua tangannya sambil melihat ponselnya di ranjang Haechan. Kakinya sesekali diayun-ayunkan. Sedangkan Haechan sedang duduk di kursi gaming-nya, tentunya sedang bermain entah game apa.
Mereka melakukan kegiatan kesukaannya masing-masing. Tidak ada pelukan hangat, belaian mesra, atau ciuman panas. Hanya berada di tempat yang sama mereka merasa cukup.
“ANJING. ANJING. GAK KEBURU.”
Renjun tak bereaksi apapun dengan teriakan Haechan, sudah biasa baginya mendengar semua sumpah serapah Haechan ketika ia bermain game.
“LEE JENO ANJING AH GAK BANTUIN.”
Renjun masih terus scrolling weibo-nya. Sesekali tertawa karena melihat sesuatu yang lucu di timeline-nya.
Sumpah serapah sejenak tak terdengar, Renjun menyimpulkan permainan mulai tenang dan tidak terlalu intens.
“Tau gak, Chan? Kemaren pas aku mau ke ruangan latihan tuh ada yang malu-maluin.” Renjun mengubah posisi tidurnya kini jadi terlentang.
“Chan? Dengerin nggak sih?” tanya Renjun sedikit kesal. Tapi ya Renjun paham, kalau Haechan sedang main game, jangan harap semua kata-katanya didengar.
“Hah? Nggak denger,” jawabnya singkat setelah beberapa detik, matanya masih fokus pada layar di depannya. Jarinya bergerak cepat di keyboard.
Renjun mendengus, kembali mengambil ponselnya dan melanjutkan sesi scrolling timeline-nya.
Memang begitu. Tidak seromantis itu, mereka tuh. Tapi hal tadi itu bukan hal yang bisa buat mereka berantem. Kekesalan seperti itu hanya biasa saja antar mereka.
“Ini meme-nya lucu banget deh, Chan. Kamu harus liat. Hahaha.”
Haechan masih tak merespon, tapi senyum nampak di wajahnya ketika ia mendengar gelak tawa kekasihnya.
“Yah, kalah lagi kan. Gara-gara Jeno emang nih ah. Main lagi nggak, ya?” Pertanyaan itu seakan untuk dirinya sendiri, tapi Haechan melihat ke arah Renjun. Renjun tidak menjawab, bahkan tidak menoleh ke arah Haechan, tapi ia mengedikkan bahunya.
Haechan menghembuskan nafas kemudian mengangkat tangannya, melakukan sedikit stretching setelah dua game tadi.
Ia berjalan menuju ranjangnya dan belum sempat ia meminta Renjun untuk geser sedikit supaya ia juga bisa berbaring di situ, Renjun sudah berganti posisi jadi tengkurap lagi, kali ini ia bergeser sedikit memberi tempat untuk Haechan.
Haechan ikut tengkurap juga, satu tangannya merangkul bahu Renjun dan satunya lagi menopang beban tubuhnya.
“Mana sih meme-nya?” tanya Haechan sambil mengintip ponsel Renjun.
“Oh, ini aku save hehehe.”
Renjun membuka galeri ponselnya dan menunjukkannya pada Haechan. Haechan ikut tertawa melihatnya.
Renjun menoleh ke sampingnya, gemas melihat pacarnya, ia pun mengecup singkat bibir Haechan lalu tersenyum.
“Foto, yuk,” ajak Renjun sambil membuka aplikasi kameranya.
Haechan memang tidak menjawab apa-apa, namun ia menyalakan lampu tidurnya kemudian ia menempelkan pipinya ke pipi Renjun, menatap lurus ke lensa kamera ponsel Renjun.
Renjun tersenyum karena melihat hasil foto pertama, ia kemudian memposisikan ponselnya lagi.
“Lagi, Chan.”
Kali ini Renjun mengambil foto tepat ketika bibir Haechan menempel di pipi Renjun, ekspresi Renjun pun seketika berubah, di dalam foto matanya terlihat menyipit karena tersenyum lebar.
Selain dua foto itu, ada kira-kira empat foto lainnya yang tersimpan di galeri. Salah satunya foto di mana Renjun yang mencium pipi Haechan.
“Hmm, kayaknya nggak ada yang bisa aku post,” Renjun mengatakan sambil memilih foto-foto di galeri ponselnya.
“Terlalu risky, kamu di dorm aku soalnya ini, malem-malem, di atas ranjang berdua. Nggak usah di-post.”
Kali ini Renjun bangun dan duduk bersila, ia menggeletakkan ponselnya sembarang di kasur.
“Chan, aku pengen main game.“
Haechan mengerutkan dahinya, bingung dengan pernyataan Renjun, karena biasanya Renjun tidak terlalu menyukai game yang tadi dimainkannya.
“Game?” tanyanya untuk memastikan maksud Renjun.
“Sini duduk. Game 'of course' itu loh. Ayo main sama aku.”
Haechan berdecak saat ia mulai bangun dan duduk di hadapan Renjun.
“Kamu nggak bisa menang dari aku, yang,” ujarnya penuh percaya diri.
“Nggak, aku yakin bisa menang.”
Ini hanya permainan receh, tetapi Renjun mengangkat tangannya untuk menyemangati dirinya sendiri, ia terlihat berapi-api, ia tahu Haechan sulit dikalahkan kalau bermain game ini.
“Ya udah oke, siapa duluan?”
“Aku duluan ya. Renjun ganteng dan manly banget, kan?”
Haechan tertawa meremehkan karena Renjun memulai dengan sesuatu yang mudah.
“Pasti, dong. Renjun pernah mikir buat putus sama Haechan, ya?” Haechan mengulum senyumnya melihat Renjun yang manyun karena pertanyaan Haechan.
“Ihh. Ya udah dijawab. Pasti, dong.”
“Hah? Serius?” Kali ini Haechan yang terlihat panik.
“Pernah, karena ya nggak yakin bisa lanjut apa nggak. Tapi yaa udah sih, kan nggak. Hmm.” Renjun terlihat berpikir untuk pertanyaan berikutnya. “Haechan janji nggak akan cium telinga Renjun depan kamera lagi, kan?”
“Arghh.” Haechan gemas sampai memukul ranjangnya. Tapi ia lebih ingin menang, akhirnya ia jawab. “Pasti, dong.”
Setidaknya tawa renyah Renjun karena jawabannya itu menghibur Haechan.
“Oke, Renjun sukaaa banget berhubungan seks sama Haechan, ya kan?” Lelaki Juni itu menyeringai, ia mungkin memang bisa memprediksi jawaban Renjun, tapi ia ingin permainan ini lebih seru.
Renjun menatapnya tajam. “Apa-apaan ih? Butuh validasi banget?”
“Jawab aja, sih.”
“Pasti, dong. Haechan bolehin Renjun deket sama laki-laki lain, ya?”
Haechan meliriknya sinis. Ia diam beberapa saat sebelum tersenyum seolah merasa menang dan menjawabnya. “Pasti, dong.”
Tak dapat dipungkiri, mata Renjun membulat terlihat kaget.
“Ya kan deket doang, jaraknya deket. Kerja di industri kayak gini tuh nggak mungkin kamu jauh-jauhan sama orang, ya kan?”
“Pasti, dong.” Renjun tertawa karena ia barusan pura-pura menganggap itu pertanyaan Haechan.
“Hey, bukan itu pertanyaannya. Renjun mau nikah sama Haechan, kan?”
Tawa itu langsung terhenti. Perkara menikah itu sesuatu yang serius, mereka tak pernah berbincang ke arah situ.
Kali ini Renjun pun tak menemukan seringai atau senyum yang dikulum di wajah Haechan, malah lelaki yang lebih muda tiga bulan terlihat serius.
“Hmm. Pasti mau, lah,” lirih Renjun.
Haechan sesungguhnya tidak menyangka dengan jawaban Renjun. Tapi, Renjun menjawab karena game atau–?
“Ya kan kamu tanya cuma mau atau nggak. Kalau ditanya ya mau. Tapi bisa nggak? Ya nggak bisa kalau sekarang.” Renjun menjulurkan lidahnya, merasa menang.
“Haechan seneng kan kalau Renjun pulang ke China dan nggak balik lagi?” Renjun menahan tawa sampai teriakan frustasi Haechan terdengar.
“Yang bener aja, Huang Renjun??” Haechan kesal dan Renjun hanya tertawa.
“Yeah, bisa kalahin Haechan hahaha lagian kenapa pertanyaan kamu gampang-gampang? Tumben, biasanya susah dan nyebelin banget.”
“Ya, nggak apa-apa sih, pengen aja liat kamu ketawa seneng karena menang. Eh, beneran mau nikah sama aku?” Haechan menaik turunkan alisnya.
Renjun menghembuskan nafas dan merebahkan dirinya lagi di ranjang.
“Kalau nggak perlu mikirin apa-apa, ya mau. Tapi kamu tau sendiri keadaannya gimana. Nikah di sini tuh maksudnya aku mau sama kamu, hidup sama kamu sampai tua. Meskipun kamu masih bakal mencetin bel rumah kita cuma buat iseng di umur 70.” Bukannya kesal, Renjun malah terkekeh membayangkan hal itu.
Haechan tersenyum, ekspresi jatuh cinta ketara di raut wajahnya. Ia mengikuti Renjun berbaring di sampingnya.
“Kamu bakalan masih cinta sama aku?” Dua-duanya kini menatap langit-langit kamar Haechan.
“Hmm, mencintai seseorang dalam waktu yang lama tuh, dulu aku suka mikir, emang bisa ya? Tapi akhirnya aku sadar, yang membuat pasangan bertahan itu bukan cinta aja. Nggak salah sih pasangan nikah disebut teman hidup, karena ya, sama-sama menjalankan hidup dan ngelewatin perjuangan kehidupan bersama. Kalau bisa ngelewatin itu bersama, ikatannya bakal makin kuat. Dan itu yang membuat bertahan, iya nggak?”
Haechan mengangguk. “Perjuangan yang ada di kehidupan kita bakal ada banyak, aku juga yakin kamu sadar. Kamu masih mau bertahan sama aku kan?”
“Kalau sekarang sih iya. Emang kamu nggak?”
Renjun menoleh ke samping, Haechan pun membalas tatapannya.
“Aku pengen jadi lebih kuat untuk kita.”
Kehangatan menjalar di hati Renjun, sudah berapa tahun sih ia jatuh cinta pada sahabatnya ini? Kok masih saja Renjun merasakan efek kupu-kupu di perutnya?
Senyuman yang membuat mata Renjun menyipit itu, adalah sesuatu yang paling Haechan sukai. Ada cinta di sana, Haechan tahu.
Tak tahan, ia pun mengecup bibir Renjun yang langsung membalas ciumannya. Haechan meletakkan tangan di pipi Renjun, karena ia tahu Renjun menyukainya.
Ciuman mereka terhenti karena suara notifikasi pesan dari ponsel Haechan yang terdengar cukup kencang di kamar Haechan yang sepi.
“Sebentar.”
Haechan kemudian mengambil ponselnya dan membalas singkat pesan yang masuk.
“Johnny hyung udah pulang dari dorm WayV.” Haechan menginformasikan, sebenarnya tak ada maksud apa-apa, hanya saja jangan sampai mereka sedang melakukan sesuatu di luar batas ketika Johnny masuk ke kamarnya dengan Haechan.
“Kalau gitu aku pulang aja, ya?”
“Jangan,” tahan Haechan sambil menarik kaos Renjun yang mulai beranjak dari tidurnya. “Di sini aja. Besok kamu ke gedung SM juga kan? Bareng aku kan bisa.”
Besok itu Haechan ada jadwal recording dengan unit 127, sedangkan Renjun ada meeting untuk keperluan konten baru.
“Kalau mobilnya nggak cukup?”
“Kan bisa aku gendong.”
“Iya, tapi aku nggak bawa baju.”
Haechan memutar bola matanya. “Alesan banget, kayak nggak bisa pinjam punya aku aja.”
Renjun tertawa. Memang sudah hal yang biasa mereka saling meminjam baju. “Emang Johnny hyung nggak apa-apa aku nginep?”
“Ya kan nginep doang, sayang.”
“Ya udah.” Renjun tersenyum dan menyamankan dirinya di samping Haechan yang lantas memeluk dirinya.
Waktu mereka lalui dengan mengobrol tentang banyak hal, kali ini Renjun sedang bercerita tentang teknik surfing yang ia pelajari, akhir-akhir ini memang itu yang menjadi minat Renjun.
“Nanti ajarin aku, ya?”
Pertanyaan Haechan itu bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka. Johnny masuk dan terlihat tidak kaget melihat Renjun berada di atas ranjang Haechan. Sepertinya memang Haechan sudah mengabarinya.
“Hai, Renjun.”
“Hai, hyung.” Renjun tersenyum malu.
“Santai aja, santai. Haechan udah bilang katanya mau nginep.” Johnny membuka jaketnya dan mengaitkan di balik pintu.
“Tapi nggak apa-apa tuh sempit gitu? It's summer, dude~“
“Nggak apa-apa lah, yang penting sama pacar.” Haechan malah memeluk Renjun semakin erat sampai si lelaki rubah itu berteriak protes.
Johnny hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya sebelum keluar menuju kamar mandi.
Seperti itulah dinamika hubungan Renjun dan Haechan saat tidak disorot kamera, saat berada di balik pintu tertutup, hanya ada mereka berdua, menemani satu sama lain. Dalam tentramnya mereka pun, ada cinta di sana.
—end.
by tee.