mysummer

Saat Renjun memasuki kamarnya, kelima pasang mata memandangnya. Sempat Renjun menghentikan langkahnya, namun ia berpikir kembali, ini kan kamarnya? Mengapa harus dirinya yang merasa tidak enak?

“Gue cuma mau bawa baju,” ujar Renjun sebelum salah satu dari mereka bertanya.

“Oh iya.” Renjun berbalik sebelum ia keluar lagi dari kamarnya. “Tentang tidur, kayaknya gue atur sekarang aja, ya?”

Akhirnya Renjun berjalan kembali sampai ia duduk di tempat tidurnya sendiri.

“Dua orang tidur di sini–”

Ketika Renjun menepuk kasurnya, Mahesa langsung menyela sebelum ia melanjutkan kalimatnya, “Gue sama lo aja.”

“Diem dulu. Dua orang di sini, dua orang di sana.” Renjun menunjuk bunk bed di depannya. “Satu lagi ya terpaksa di lantai, nanti gue kasih alasnya. Hyuck, lo di lantai ya.”

“Loh? Kok gue? Kan tadi pagi aja gue kebangun di bunk bed,” protes Donghyuck.

“Karena lo paling bocah kali.” Bumi mengusap kepala Donghyuck yang sedang duduk di sampingnya.

“Saya saja yang tidur di lantai.” Semua mata langsung tertuju pada Pak Donghyuck yang sedari tadi duduk sambil fokus pada laptop milik Renjun.

“Wah, jangan deh. Kasian. Udah paling bener yang paling muda,” sahut Mahesa, tak lupa menunjuk Donghyuck kecil.

“Udah, udah. Gue yang milih. Bapak sama Harzan di kasur gue. Bumi di atas, Hesa di bunk bed bawah. Donghyuck di lantai.”

“Wah pilih kasihnya berasa banget ini tuh.” Bumi berdecak sambil menggelengkan kepalanya.

“Renjun, saya sudah bilang saya di lantai saja, biar yang lain dapat tempat.”

Renjun memajukan bibirnya sedikit, tampak berpikir lagi. “Hmm ya udah, Harzan sama Bumi di kasur, Donghyuck di atas.”

“Pilih kasih banget sama Harzan sih kalau kata gue,” kata Donghyuck.

“Diem lo, bocah. Suka-suka gue ya.”

“Ini tuh, ini tuh kita bertiga sama lo di kasur apa gimana?” tanya Harzan yang kelihatannya sedikit gugup.

“Hahahaha ya nggak lah. Gue di luar, di sofa depan TV. Serem amat gue tidur di sini sama lima orang macam kalian ini,” jawab Renjun, ia bergidik ngeri.

“Beneran nggak apa-apa? Kalau mau lo yang di sini, biar gue yang depan TV kayak tadi.” Mahesa bahkan sampai berdiri, bersiap keluar kamar Renjun.

No, jangan. Nanti malah heboh. Biar gue aja, okay?”

Melihat anggukan dari kelima lelaki itu, akhirnya Renjun pun merasa tenang. Setelah mengambil baju tidurnya, ia pun keluar dari kamarnya.

Good night, semuanya.”

Good night, Renjun.” Kelimanya kompak mengucapkan selamat malam membuat Renjun tersenyum sebelum benar-benar keluar.

Renjun menekan nomor sandi untuk masuk ke dorm satu persatu, membuat Jisung akhirnya berkomentar.

“Kok lama, hyung?”

“Oh, nggak apa-apa,” jawabnya disertai tawa yang ia harap tidak terdengar dipaksakan.

Sesaat sebelum membuka pintu, Renjun benar-benar berharap keadaan dorm setidaknya cukup rapi seperti saat ia meninggalkannya tadi pagi.

Jaemin yang pertama masuk karena ia mendahuluinya, memang sedari tadi ia mengatakan ingin pergi ke toilet. Tidak ada respon apapun dari Jaemin mungkin pertanda baik. Dan ternyata, memang keadaan dorm cukup rapi, tidak ada hal yang mencurigakan.

Ketika Renjun melongok ke arah dapur juga untungnya tidak terdapat keanehan apapun. Sekilas ia melihat panci bekas di tempat cuci piring. Ia tahu siapa yang harus ia tanyai setelah ini.

Renjun tidak langsung memasuki kamarnya, belum siap dengan pusingnya jika ia harus menghadapi lima sosok serupa dalam satu ruangan kecil, apalagi setelah jadwal seharian yang cukup melelahkan. Ia pun menjatuhkan diri di sofa sebelum akhirnya mengambil ponselnya.

Semua orang mengenal kisah legenda Galih dan Ratna. Banyak gadis yang mengagumi dan ingin rasanya menjadi Ratna yang dicintai seorang Galih. Kali ini bukanlah kisah tentang anak remaja tahun 80an. Tentang Galih, tetapi dengan sosok pemuda lainnya, Raka.


—1997.

Galih Hanggara. Hampir seantero sekolah mengenalnya. Atau setidaknya pernah mendengar namanya. Bagaimana tidak? Selain anaknya yang ramah dan sering menyapa banyak orang, guru-guru pun tak jarang meneriakkan namanya setiap ia berbuat ulah.

Galih itu jahil sekali, murid laki-laki atau perempuan tak luput dari tingkah jahilnya. Suara tawanya yang keras di jam pelajaran juga kerap mengganggu Raka.

Galih Hanggara memang terlihat seperti anak nakal, tapi ia tak pernah berbuat hal buruk yang keterlaluan padanya, tidak ada celaan atau caci maki yang ia katakan padanya, tak pernah pula sekalipun menyentuh Raka.

Raka sebetulnya hanya murid biasa, ia memang pintar karena langganan ranking pertama, tapi ia “tidak ingin dilihat”. Naufal, teman sebangkunya, bisa dibilang satu-satunya teman dekat Raka. Karena Raka terlihat sedikit menjaga jarak dengan yang lain. Sampai suatu hari Galih dari kelas sebelah menyapa dirinya.

Bunyi nyaring kentongan yang dipukul menandakan jam istirahat dimulai, saat itu Naufal menolak pergi ke kantin sehingga akhirnya Raka pergi sendirian. Ketika Raka melewati kelas 2 IPA 3, ia melihat Galih dan teman-temannya baru saja keluar. Tiba-tiba saja Galih mencegat langkah Raka.

“Halo, uhh, Raka Adhiwijaya?” panggilnya setelah ia melihat nama yang tertera di seragamnya. “Wow, nama yang bagus.”

Raka hanya memutar bola matanya, tak peduli dengan komentar Galih. Namun ketika ia mencari celah jalan di sebelah Galih, pemuda itu juga bergerak mencegat Raka. Untungnya teman-teman Galih tak ikut-ikutan mencegat Raka, mereka sudah berjalan menuju kantin sekolah.

“Mau apa?” tanya Raka malas. Raka itu menghindari bergaul dengan teman-teman lain, apalagi jika murid seperti Galih yang sering sekali mengunjungi ruang BK karena selalu ada saja ulahnya.

“Lo mau ke kantin kan? Beliin gue rokok. Lucky Strike, ya.”

“Kantin nggak jual rokok, kali.”

“Iya tau. Lo beli di warung Mang Ujang aja. Gue tunggu di rooftop. Makasih Raka.” Pemuda dengan seragam yang sudah tak rapi itu pun berjalan melewati Raka dan meninggalkannya setelah ia menyelipkan uang ke dalam saku baju Raka.

Raka mendengus dan berbalik, mumpung Galih baru beberapa langkah, ia berbicara sedikit keras. “Kenapa nggak suruh temen-temen lo aja?”

Galih hanya tertawa keras dan tanpa menoleh ia lambaikan tangannya. Sungguh, Raka kesal sekali. Ia ingin meluapkan emosinya, namun beberapa murid mulai melihat ke arahnya. Raka tidak suka perhatian-perhatian yang tertuju padanya, jadi ia melanjutkan perjalanan menuju kantin.

Mungkin jika barang yang dititipkan bisa didapatkan di kantin, Raka mau saja membelikan. Sayangnya rokok itu bisa dibeli di warung Mang Ujang, warung kecil yang biasa dijadikan anak-anak nongkrong sepulang sekolah yang letaknya tak jauh dari gerbang belakang sekolah. Dan itu lumayan jauh untuk berjalan ke sana. Raka malas sekali.

Setelah membeli makanan di kantin, Raka rencananya kembali ke kelas, tetapi dirinya terus kepikiran perihal rokok tadi. Ya memang bagi Raka, Galih itu tadi terlihat sedikit intimidating.

Raka menghembuskan nafasnya sembari berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah kelasnya. Akhirnya ia pun mulai menuju warung Mang Ujang.

Begitu sampai di sana, Raka sempat takut karena ada beberapa anak kelas 3, untungnya mereka santai saja ketika melihat Raka membeli sebungkus rokok titipan Galih. Kali ini yang menyebalkan adalah ia harus mengantarnya ke rooftop. Sebenarnya, alih-alih rooftop, itu seperti bagian gedung paling atas yang terbengkalai karena belum adanya dana untuk pembangunan lantai tiga. Maklum lah, karena sekolahnya sekolah negeri.

Aduh, Raka kesal sekali. Pasalnya rooftop itu berada di atas lantai dua di gedung paling depan, itu berarti sangat jauh dari posisi Raka yang baru saja membeli rokok di warung yang berada di belakang sekolah.

Saat Raka sampai di rooftop, ia melihat Galih dengan gitar di tangannya. Entah lagu apa yang ia iseng senandungkan karena Galih berhenti dan malah tersenyum menyambut Raka.

Lima menit lagi suara kentongan akan terdengar, tapi Galih masih terlihat santai duduk bersila di bawah, tak peduli jika celana abu-abunya menjadi kotor.

“Nih. Lagian ngapain ngerokok? Nggak boleh, tau.”

“Ngurusin banget sih, Cel.”

Melihat muka kebingungan Raka, Galih hanya terkekeh.

“Boncel. Abisnya lo kecil banget.”

“Sembarangan, ya.”

Raka tidak tahu bagaimana ia bisa berbincang sesantai ini dengan Galih, padahal sebelumnya tak pernah bertukar sapa.

Begitu bunyi kentongan terdengar, Raka langsung meninggalkan rooftop, tetapi Galih masih saja asyik di sana dengan sebatang rokoknya. Sebelum berbalik dan berjalan menuju kelasnya, Raka sempat menoleh ke arah pelajar yang sedang merokok itu. Galih terlihat bebas, sesuatu yang sulit Raka rasakan.


Keesokan harinya, Raka kembali menemukan Galih, kali ini di depan kelasnya.

“Beliin rokok ya, Cel.”

“Duitnya?”

“Dari lo hehehe sebatang aja.”

Saat menaiki tangga menuju rooftop Raka memikirkan kembali aksinya, ia tidak habis pikir dengan dirinya sendiri yang mau-maunya mengantar sebatang rokok dari warung Mang Ujang menuju rooftop.

Dengan nafas yang memburu, Raka menyerahkan sebatang rokok itu.

“Nggak lagi-lagi ya gue beliin lo rokok.”

“Makasih, Cel. Sini duduk dulu.” Galih menepuk tempat di sampingnya kemudian menyalakan rokoknya.

Jujur saja Raka lelah juga setelah membelikan rokok itu, belum lagi ia menggerutu sepanjang perjalanannya tadi. Duduk sebentar tidak salah, kan? Sebentar saja sampai waktu istirahat habis.

Galih menatap Raka yang duduk di sisi kirinya, mungkin tak percaya jika Raka mengikuti perkataannya.

“Lo nggak masuk kelas ya nanti?”

Raka itu anaknya tidak terlalu senang berbincang apalagi dengan orang yang tidak ia kenal, maka dari itu ia dikenal pendiam. Tetapi dengan Galih ia merasa nyaman, ada rasa ingin tahu yang kuat. Mungkin karena dunia Galih yang terlihat berbeda, Raka penasaran meski ia juga kesal dengan sikap Galih.

Galih membuang muka, menjauhkan Raka dari asap rokoknya.

“Masuk. Soalnya rokok gue cuma sebatang.”

Raka tak menanggapinya lagi. Ia hanya terdiam. Dalam jarak dekat, meski Raka memang tidak mencondongkan dirinya ke arah Galih, ia tetap dapat menghirup wangi parfum yang bercampur bau rokok. Parfumnya sepertinya berbeda dengan yang biasa dipakai teman-temannya.

“Cel.”

“Berhenti panggil gue kayak gitu.” Raka mulai berdiri, bersiap untuk pergi karena jam istirahat sudah akan selesai. Tetapi ia terhenti karena tangan Galih menahannya.

“Jangan marah, Raka.”

Waktu rasanya berhenti sejenak saat mereka bertemu pandang. Raka tidak marah, hanya saja ia tak ingin terlambat datang ke kelas.

“Gue cuma mau ke kelas, Galih. Lepasin.”

Lelaki yang masih duduk di bawah itu hanya tersenyum lalu melepaskan pegangannya di tangan Raka.

“Besok beliin gue lagi ya.”

“Nggak,” jawab Raka sambil melengos dan berlalu pergi meninggalkan Galih dengan tawa kerasnya yang, bagi Raka, menyebalkan.

Rana sedang meminum es jeruknya saat notifikasi pesannya berbunyi. Orang yang katanya bernama Reksananta, yang menjadi kekasih sewaannya untuk seminggu ke depan, mengabari bahwa ia sudah di parkiran fakultas Teknik Industri.

Tentu saja Rana menjadi lebih gugup, ia sendiri tidak tahu sosok seperti apa yang akan muncul. Kalau ini hanya bentuk imagine, masa sampai segininya? Atau Rana yang salah menanggapi imagine-nya ya?

Lagipula bisa-bisanya ada yang berani pakai face claim seorang Reksananta Wisesa dan hadir langsung di hadapan Rana? Kan tidak mungkin.

Iya, kan?

“Hai sayang, maaf aku lama, ya.”

Suara yang pelan dengan nada yang rendah itu...

Rana dapat melihat keterkejutan di wajah Nata saat seseorang duduk di sampingnya.

Rana awalnya melihat jaket kulit hitam, lalu perlahan ia pastikan wajah pemuda di sampingnya. Rana memang tidak mengenal Reksa, tapi ya siapa sih yang tidak tahu seorang Reksananta? Anak Teknik Elektro yang populer itu? Dengar-dengar, ia wakil ketua Himatel kan?

“Reksa?”

“Mau makan di mana? Aku juga laper.”

Reksa tersenyum ke arah Nata. “Oh maaf, temennya Rana ya? Reksa, pacarnya Rana.” Reksa menjulurkan tangannya.

Nata dengan ragu menjabat tangan itu sekejap. “Nata. Temennya Rana.”

“Mau ajak Nata juga? Atau gimana?” Kali ini pertanyaan Reksa tertuju pada Rana, tak hanya itu, matanya pun intens menatap Rana.

“Gue, gue nggak ikut. Ada kelas habis ini. Bye.”

“Nat–?”

Hanya begitu saja, lalu Nata meninggalkan mereka berdua. Rana tahu Nata tidak ada kelas, soalnya jadwal mereka banyak yang sama, tapi ia sedikit kesal pada sahabatnya yang tega meninggalkannya begitu saja.

“Sayang?”

Aduh, Rana lemas.

Seorang Reksananta memanggilnya seperti itu, dengan amat lembut pula.

“Ya udah, ayo.”

Hening. Semua terdiam. Sepertinya masih mencerna maksud dari pernyataan Renjun.

“Oke, sebentar. Ini gue bingung mulai dari mana.”

“Kenapa gua bisa di sini?”

“Mahesa, ya kan? Itu juga pertanyaan gue. Kenapa kalian bisa sampai sini? Coba cerita. Soalnya gue bangun-bangun udah lihat dia.” Renjun menunjuk ke Bumi.

“Sama. Gue waktu bangun lihat Renjun. Gue kira Langit.”

“Gua udah jelas, kalian lihat gua baru bangun tadi,” Hesa menimpali lagi.

“Sama juga, gue bangun udah di bunk bed atas di kamar Renjun.”

“Yang heran, ngapain lo di kamar mandi?” Renjun menatap Harzan.

“Ya gue lagi boker?”

“Tiba-tiba pindah, gitu? Nggak makes sense.” Bumi berkomentar.

“Tolong ya, gue juga nggak tau. Gue tuh–” Harzan berhenti. Sebenarnya ia tak ingin terlalu banyak bicara, tapi semua orang menatapnya, menunggu jawaban. Ia menghela nafas. “Gue tuh lagi ngeden kan, terus ya merem aja, gitu. Tiba-tiba mules gue ilang, dan boom! gue di sini. Ya kaget gue mana Riv–Renjun tiba-tiba masuk.”

Semua hanya mengangguk paham kemudian langsung semua mata tertuju pada the oldest Haechan.

“Oh. Saya sedang minum kopi di meja makan di apartemen saya. Seingat saya memang saya menutup mata karena sedang berpikir sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan saya. Tiba-tiba saya berada di sini.”

Suasana kembali sunyi dalam beberapa detik sebelum Donghyuck berbicara. “Ini konsepnya beda sama kasus lo ya, Ren?”

It happened before?” tanya Bumi.

“Gue yang masuk ke semesta dia. Tapi waktu itu, cuma jiwa gue, jadi gue ada dalam tubuh Injun, sedangkan jiwa Injun ada di tubuh gue yang ini. Gitu lah, gue juga nggak ngerti kenapa bisa kejadian gitu. Tiba-tiba aja,* in the blink of an eye*.”

'In the blink of an eye', mungkin itu keyword-nya,” ujar Donghyuck yang lebih tua.

“Coba semua merem, siapa tau bisa balik,” usul Hesa.

“Gue sangsi, tapi okelah,” Donghyuck kecil menyahut.

Renjun memberi aba-aba, menghitung sampai 3, dan keenam pemuda itu pun memejamkan mata mereka.

Baru saja lima detik, Donghyuck sudah membuka matanya. “Nggak ngaruh, kata gue juga.”

“Atau… kayak fairytale nggak sih?” tebak Harzan.

“Maksudnya?” Si Bapak Donghyuck yang di sebelahnya bertanya.

You know–” dengan jemari di kedua tangannya yang mengerucut, Harzan menempelkan kedua tangannya itu.

“Ciuman?” tanya Bumi.

Semua mata tertuju pada Renjun. “Nggak. Nggak. Gila kalian. Gue udah punya pacar.”

Ada lima wajah serupa Haechan yang menatapnya waswas. Renjun sadar beberapa dari mereka bahkan terlihat marah, cemburu, dan menatapnya tajam.

“Lo belum ngecek Haechan?” Donghyuck kecil memberi saran, sudah pasti ia paling tahu dengan keadaan mereka.

“Oh iya! Ya ampun.” Renjun segera beranjak dan berlari menuju kamarnya, ia bersyukur tak lagi menemukan sosok serupa Haechan yang lain.

Renjun kembali ke ruang tengah dengan ponsel menempel di telinganya.

“Duh, nggak diangkat. Gimana nih?” Renjun bergumam sambil terus mencoba menghubungi kekasihnya lagi.

“Telepon yang lain coba.”

“Oke, coba telepon Johnny hyung.”

“Aduh, nggak diangkat juga. Coba Doyoung hyung.”

“Kim Doyoung?”

“Kim Dongyoung? Ih gue pengen lihat Bang Dongyoung jadi idol.”

“Idol?” Sebenarnya Bumi bertanya pelan pada Donghyuck, tapi tetap saja terdengar oleh Renjun.

“Berisik! Bisa pada diem nggak?” Renjun menatap tajam kelima Haechan di sana.

“Galak banget, Renjun Huang. Sama aja kayak River.”

“Hahaha Hira juga galak tau.”

“Halo Doyoung hyung. Ada Haechan nggak?”

Saat telepon tersambung, Renjun menyalakan loudspeaker supaya mereka semua bisa mendengar.

“Oh, Renjun. Ada kok, di kamar sih. Palingan masih tidur.”

“Hyung, hmm maaf, bisa tolong diliatin nggak? Beneran ada nggak ya Haechan-nya?”

“Yaa gue nggak lihat dia keluar sih.”

“Tolong dong, Hyung. Takutnya dia hilang.”

“Hahaha hilang gimana? Ya udah, ini gue jalan ke kamarnya. Oh, ada kok anaknya. Masih selimutan tuh.”

“Hmm boleh tolong dibangunkan sebentar nggak? Mau ngomong, sebentaaar aja.”

“Oke, sebentar. Chan, Haechan, ini Renjun mau ngomong sebentar.”

Terdengar suara krasak-krusuk sebelum suara Haechan yang tampaknya menolak telepon tersebut terdengar.

“Ayo, nungguin nih anaknya. Gue ke dapur lagi, mau masak. Lo pegang aja nih handphone gue.”

“Ronjin-ah~ aku masih ngantuk. Kenapa?”

“Kok suaranya mirip lu, ya?” tanya Bumi pada Hesa.

“Mirip lu juga, tolol.”

“Lah?” Kemudian keduanya saling tatap seolah menyadari sesuatu.

“Kamu nggak apa-apa, kan? Kamu di dorm?”

“Pacar dia mukanya sama kayak kita. Alias pacar Renjun itu lo tapi versi semesta ini.” Donghyuck kecil memberi jawaban.

“Ohh.”

Diam-diam Haechan paling tua terlihat tersenyum tipis saat mendengar itu.

“Aku nggak apa-apa. Kamu kenapa telepon?”

“Bisa ke sini nggak? Ada–” Renjun mengedarkan pandangannya ke semua Haechan di sana. “Ada banyak masalah di sini.”

“Kenapa, Sayang? Aku hari ini sibuk. Nanti siang recording, terus harus ke Bit and Boot, terus ada photoshoot sama malem lanjut latihan. Maaf ya, aku nggak bisa temenin kamu hari ini. Paling kalau mau nanti dateng aja lihat aku latihan.”

“Oh, ya udah.”

Suara Renjun meski pelan tapi terdengar sangat kecewa, dan itu membuat kelima Haechan terlihat kesal. Mahesa bahkan mengepalkan tangannya. Donghyuck kecil memutar bola matanya, Donghyuck tua menatap tajam.

“Sayang, aku mau tidur lagi. Ngantuk banget ini.”

“Iya.”

“I love you.”

”...oke.”

“Renjun? I love you?”

Renjun menggigit bibirnya, ia ragu apakah harus menjawab Haechan atau tidak. Masalahnya, kini lima pasang mata menatapnya, seolah menunggu jawaban keluar darinya.

“Iloveyoutoo.”

Sambungan telepon pun terputus. Bumi sepertinya tidak sadar ia sudah menahan nafasnya tadi. Harzan terlihat menganggukkan kepalanya.

“Oke, balik lagi ya. Gini, gue harus kerja. Gue ada beberapa jadwal hari ini. Jadi pasti gue harus pergi. Nanti gue sambil pikirin gimana kalian bisa balik ke tempat masing-masing. Sekarang kalian semua masuk ke kamar gue, sebelum anak-anak lain lihat dan ikut kaget. Nanti biar gue yang jelasin sama mereka.

Oh ya, jangan keluar kamar sebelum gue pergi. Dan jangan keluar dorm sama sekali sebelum gue pulang. Oke?”

Semua mengangguk dan menyetujui permintaan Renjun sembari beraknjak dan menuju kamar Renjun.

“Laptop gue bisa dipake, tapi jangan pakai aneh-aneh.” Renjun mulai menyalakan laptopnya yang ada di meja di kamarnya.

“Kenapa nggak bisa keluar apartemen?”

“Pak, tolong ya. Kalian ini semua wajahnya sama kayak Haechan. Dan Haechan itu idol. Resikonya nggak akan baik buat kalian dan Haechan juga. Dan gue juga.”

“Itu lemari gue. Kalian bisa pakai baju gue. Toiletries supplies di lemari kecil sebelahnya. Hm, kalau butuh apa-apa nanti mungkin bisa hubungi gue. Pada bawa handphone kan?”

Semua menunjukkan ponselnya. Jangan tanya Renjun, ia pun tidak tahu kenapa kebetulan semua membawa ponsel sampai ke semestanya. Jangan pula tanya Renjun apakah mereka sekiranya bisa berkomunikasi atau tidak.

“Oh satu lagi. Sebelum gue berangkat, tolong, gue tau, tauuu banget ini susah buat kalian. Tapi tolong, bisa pada diem kan ya?”

“Bisa.” Si Bapak Donghyuck langsung menjawab.

“Hmm gimana ya, Renjun.” Bumi terlihat ragu.

“Aduh euy, diusahakan lah ya.” Harzan juga tidak yakin sepertinya.

Renjun menghembuskan nafasnya. Belum juga pukul sepuluh pagi, tapi dirinya sudah cukup pening menghadapi masalah hari ini. Bukan hanya bingung karena mereka tiba-tiba muncul tanpa aba-aba, tapi mereka semua memiliki pesonanya masing-masing dan entah mengapa bagi Renjun semua terlihat menarik.

Seolah-olah, di semesta manapun, semua Renjun akan tertarik pada semua Haechan di sana. Meski nama mereka berbeda, meski perawakannya tidak selalu sama persis, meski pekerjaan mereka berbeda, cerita mereka berbeda, seorang Renjun tetap dipertemukan dengan Haechan-nya.

“Injun!!”

Meski memang suara mereka mirip, tapi Renjun mengenali suara ini. Di satu sisi ia lega karena mungkin bertemu dengan sosok yang lebih familiar, tapi di sisi lain Renjun hanya bingung, akan ada berapa sosok Haechan yang muncul?

Remaja yang baru saja berteriak itu keluar dari kamar Renjun. Kenapa tadi ia tidak menemukannya saat di kamar, ya?

Langkah remaja itu terhenti melihat ada banyak orang di ruang tengah.

“Anjir, ini apaan?” Si remaja itu berjalan ke arah Renjun sambil beberapa kali mengecek lelaki-lelaki lain yang berparas mirip dengannya.

“Yah, you know.”

Si remaja itu memegang kedua bahu Renjun.

“Wah, kelihatan lebih tinggi.”

“Iyalah. I'm not Hwang Injun.”

“Eh bentar.” Ia menunduk dan memperhatikan tubuhnya sendiri. “Ini gue di tubuh Haechan?”

“Nggak, Hyuck. Itu lo sendiri. Lihat kan? Masih pendek.” Renjun meletakkan tangannya di atas kepala Hyuck, sebetulnya tinggi mereka tidak terlalu jauh bedanya, tapi Renjun senang karena merasa menang meski beda beberapa sentimeter.

Hello, guys? Kita nggak tahu apa yang terjadi di sini, loh?”

“Oke, semua ngumpul. Duduk dulu. Gue juga bingung jelasinnya gimana. Tapi yang pasti, kayaknya kalian nyasar ke semesta gue.”

“Siapa lagi??” Nada suara Renjun meninggi. Apa tidak cukup ia bertemu tiga lelaki asing (tapi tidak asing?) di dorm-nya? Tolong, ini masih pagi.

Suara Renjun tampaknya membangunkan lelaki yang sedang tertidur telungkup di sofa.

“Hira?” Suara serak bangun tidurnya memang khas. Tapi Renjun tahu, itu bukan Lee Haechan, bukan Haechan-nya.

“Bangun dulu. Gue bukan Hira.” Renjun sudah lelah meski ini masih pagi, tak peduli jika ia terdengar tidak ramah.

Pemuda itu terduduk. Kalau dilihat dari perawakannya, kurang lebih mirip dengan si Bumi, yang pertama ia temui. Mungkin masih seumur.

Kemudian ia memicingkan matanya, lalu kepalanya sedikit miring. Sadar sepertinya bahwa Renjun bukanlah Hira yang ia maksud.

Matanya terbelalak melihat dua lelaki di sisi kiri dan kanannya. Ya, semua orang juga pasti kaget sih, kalau melihat orang yang mirip sekali dengan dirinya.

Jarinya menunjuk kedua orang itu, ke kiri, lalu ke kanan, dilakukannya berulang kali tanpa mengucap kata sepatah pun. Bukannya membantu, kedua lelaki itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda bahwa mereka pun tak paham.

“Siapa nama lo?”

“Hesa. Mahesa. Lo bukan–?”

“Bukan. Nama gue Renjun. Huang Renjun.”

“Huang siapa tadi?”

Suara dari arah belakang Renjun membuat semua orang menoleh. Renjun hanya mengisyaratkan dengan kepalanya agar lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi untuk bergabung dengan mereka di ruang tengah.

“Renjun. Bukan River. Ayo sini.”

“Waduh. Gusti, kenapa begini? Kok pada miripan urang ini?”

“Iya, ayo duduk dulu. Nama lo siapa?”

“Harzan.”

“Oke, Tarzan, duduk dulu.”

“HARZAN. Harzan Mirza.”

Mungkin Renjun butuh kopi. Ya, siapa tahu Renjun masih bermimpi, kan? Mungkin kopi dapat membangunkannya atau setidaknya membuat paginya tidak terlalu buruk.

Sayangnya, di meja makan ia sudah menemukan seseorang yang sedang duduk dengan segelas kopi di tangannya. Kali ini Renjun yakin ia bukan Haechan. Bukan karena sosoknya yang terlihat lebih tenang, namun dengan dua kejadian tadi, Renjun yakin ia menemukan Haechan ke-tiga.

“Renjun?” panggilan itu sukses membuat Renjun menaikkan alisnya. Oke, tapi Renjun tidak bisa percaya semudah itu. Lelaki di depannya, memiliki aura yang berbeda dengan Haechan. Terlihat lebih dewasa, bahkan terlihat lebih tua. Not in a negative way, older Haechan looks hot even in his pajamas.

“Siapa?”

Renjun bertanya lebih dulu. Ia ingin memastikan saja.

“Kita di mana?” Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh area dapur di dorm. “And you look a little different,” tambahnya.

“Di dorm Dream. And I'm not your Renjun.”

Jawaban Renjun membuat lelaki itu mengerutkan dahinya. “I'm sorry, what?

“Nama lo siapa?”

“Donghyuck. Lee Donghyuck. Dan tolong jelaskan maksud kamu. Saya tidak mengerti.”

Renjun mengangguk. Tapi tetap saja, kepalanya makin pusing.

“Oke, nanti gue jelasin deh. Sekalian aja sama semuanya kalau udah ngumpul.”

“Semua?”

“Langit? Eh, Renjun.”

Bumi, ya?

Renjun berbalik, melihat Bumi sudah keluar dari kamarnya. Ia kini mungkin sudah paham bahwa Renjun bukanlah Langit.

“Ya udah, kita ngobrol di ruang tengah. Nunggu si– siapanya River join. Gue nggak tau namanya.”

Kedua lelaki dengan paras yang serupa itu saling menatap, mereka masih kebingungan jadi hanya terdiam lalu mengikuti Renjun ke ruang tengah.

cw // mention orang sedang BAB (?)

Renjun berjalan menuju kamar mandi, berharap setelah mencuci mukanya bisa lebih segar dan siap menghadapi hari yang diawali dengan kejadian tak disangka olehnya.

Tinggal dengan tiga pemuda lainnya, saat pagi hari ketika nyawa belum terkumpul sepenuhnya, kadang memang mereka dapat mendapati kamar mandi yang terisi tapi tidak terkunci. Hal itu sudah biasa, seperti pagi ini.

Renjun membuka pintu kamar mandi kemudian mendengar teriakan.

“Wah wah wah!! Ada orang, euy!”

Tadinya Renjun berniat berbalik arah dan menghiraukannya, tapi suara familiar itu berhasil membuat Renjun mendongakkan kepalanya dan melihat pemandangan tidak terlalu menyenangkan. Lee Haechan sedang duduk di toilet, celananya turun dan berada di bawah, satu tangannya memegang ponsel. Untung saja bagian vitalnya tidak terlihat meski pahanya terpampang jelas.

“River Huang?!”

Okay, bukan Lee Haechan.

“Beresin dulu aja,” ujar Renjun santai kemudian ia menutup pintu.

Saat pintu tertutup, terdengar teriakan dari dalam.

“River, woy, anying kok maneh bisa di sini? Sebentar, kok urang di sini? Di mana ini?”

Ada sedikit rasa prihatin karena Renjun tahu lelaki itu pasti kebingungan. Tapi saat ini Renjun juga bingung. Sudah dua kali ia bertemu Haechan yang bukan Haechan.

River, katanya?

Renjun hanya menggelengkan kepala.

Tentu saja Renjun tak pernah terpikirkan hal aneh saat pertanyaan itu terlontar padanya. Hal itu sudah biasa, jawaban pun diberikan sekenanya saja. Namun, jika ternyata hal itu menjadi nyata, siapa yang sangka?

Pagi itu Renjun terbangun, memang kebetulan ia tidur tidak terlalu malam sehingga ketika pagi badannya tidak merasa terlalu lelah. Matanya masih agak menolak untuk terbuka kalau saja ia tidak merasakan seseorang ada dalam lingkup personalnya.

Wajah familiar menyambutnya. Bukan hal yang tidak biasa, bahkan sebelum memiliki hubungan spesial pun, melihat wajahnya di pagi hari saat terbangun itu kerap terjadi. Namun kini yang berbeda adalah ekspresinya.

Renjun mengerjapkan matanya, berusaha menghilangkan rasa kantuk untuk lebih memahami ekspresi lelaki yang tidur di sampingnya.

Terkejut, kaget, itu yang Renjun tangkap. Matanya sedikit membesar dan tetap terdiam seolah tak mampu berkata-kata.

“Chan?” panggilnya, suaranya sedikit serak. Oh ya, mungkin efek latihan menyanyi tadi malam.

Belum saja Renjun bertanya mengapa lelaki yang seharusnya tidak tinggal dengannya kini berada di sini, satu jari perlahan mendekat ke wajahnya.

Tuk. Jari telunjuk itu menekan lembut pipi kenyal Renjun.

“Langit?” suaranya, suaranya sama. Tapi, apa ya, yang berbeda? Memang kalau dilihat lebih jeli, lelaki yang baru saja berbicara sepatah kata itu memang sedikit berbeda.

“Hah?”

“Kok gue sekasur sama lo? Kapan? Emang lo nginep–”

“Tunggu, tunggu.”

Renjun terduduk dari tidurnya. Ia melihat sekelilingnya lalu menghembuskan nafas lega. Setidaknya kini ia masih terbangun di kamarnya. Tapi, lelaki ini–? Bukan Haechan?

“Siapa nama lo?”

Laki-laki itu keheranan. Ya, Renjun paham. Setidaknya karena pernah mengalami hal seperti ini, Renjun bisa memaklumi kebingungan lelaki itu. Tapi sebentar, dulu bukannya tidak seperti ini ya, kejadiannya?

“Lo lupa? Ini gue, Bumi. Tapi, lo agak beda ya? Langit memang indah, terindah, tapi lo, apa ya? Indah sih–”

Sorry gue potong. Pertama-tama, gue bukan, siapa? Langit? Nama gue Huang Renjun?”

“Kok aneh?”

“Bukannya nama 'Langit' lebih aneh? Langit yang di atas?” Renjun menunjuk ke atas.

Renjun menutup matanya, sejenak ingin menjernihkan pikirannya. Lelaki itu pun tidak bicara apa-apa lagi. Sepertinya mencoba mencerna hal yang sedang terjadi.

Okay, Langit– siapa tadi nama lo?”

“Bumi.”

Okay, sorry. Bumi. Kayaknya lo nyasar ke sini. And don't ask me how, I have no idea.

“Tapi bagaimana bisa?”

“Kita coba cari tahu nanti, okay? Gue ke kamar mandi dulu.”