Hening. Semua terdiam. Sepertinya masih mencerna maksud dari pernyataan Renjun.
“Oke, sebentar. Ini gue bingung mulai dari mana.”
“Kenapa gua bisa di sini?”
“Mahesa, ya kan? Itu juga pertanyaan gue. Kenapa kalian bisa sampai sini? Coba cerita. Soalnya gue bangun-bangun udah lihat dia.” Renjun menunjuk ke Bumi.
“Sama. Gue waktu bangun lihat Renjun. Gue kira Langit.”
“Gua udah jelas, kalian lihat gua baru bangun tadi,” Hesa menimpali lagi.
“Sama juga, gue bangun udah di bunk bed atas di kamar Renjun.”
“Yang heran, ngapain lo di kamar mandi?” Renjun menatap Harzan.
“Ya gue lagi boker?”
“Tiba-tiba pindah, gitu? Nggak makes sense.” Bumi berkomentar.
“Tolong ya, gue juga nggak tau. Gue tuh–” Harzan berhenti. Sebenarnya ia tak ingin terlalu banyak bicara, tapi semua orang menatapnya, menunggu jawaban. Ia menghela nafas. “Gue tuh lagi ngeden kan, terus ya merem aja, gitu. Tiba-tiba mules gue ilang, dan boom! gue di sini. Ya kaget gue mana Riv–Renjun tiba-tiba masuk.”
Semua hanya mengangguk paham kemudian langsung semua mata tertuju pada the oldest Haechan.
“Oh. Saya sedang minum kopi di meja makan di apartemen saya. Seingat saya memang saya menutup mata karena sedang berpikir sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan saya. Tiba-tiba saya berada di sini.”
Suasana kembali sunyi dalam beberapa detik sebelum Donghyuck berbicara. “Ini konsepnya beda sama kasus lo ya, Ren?”
“It happened before?” tanya Bumi.
“Gue yang masuk ke semesta dia. Tapi waktu itu, cuma jiwa gue, jadi gue ada dalam tubuh Injun, sedangkan jiwa Injun ada di tubuh gue yang ini. Gitu lah, gue juga nggak ngerti kenapa bisa kejadian gitu. Tiba-tiba aja,* in the blink of an eye*.”
“'In the blink of an eye', mungkin itu keyword-nya,” ujar Donghyuck yang lebih tua.
“Coba semua merem, siapa tau bisa balik,” usul Hesa.
“Gue sangsi, tapi okelah,” Donghyuck kecil menyahut.
Renjun memberi aba-aba, menghitung sampai 3, dan keenam pemuda itu pun memejamkan mata mereka.
Baru saja lima detik, Donghyuck sudah membuka matanya. “Nggak ngaruh, kata gue juga.”
“Atau… kayak fairytale nggak sih?” tebak Harzan.
“Maksudnya?” Si Bapak Donghyuck yang di sebelahnya bertanya.
“You know–” dengan jemari di kedua tangannya yang mengerucut, Harzan menempelkan kedua tangannya itu.
“Ciuman?” tanya Bumi.
Semua mata tertuju pada Renjun. “Nggak. Nggak. Gila kalian. Gue udah punya pacar.”
Ada lima wajah serupa Haechan yang menatapnya waswas. Renjun sadar beberapa dari mereka bahkan terlihat marah, cemburu, dan menatapnya tajam.
“Lo belum ngecek Haechan?” Donghyuck kecil memberi saran, sudah pasti ia paling tahu dengan keadaan mereka.
“Oh iya! Ya ampun.” Renjun segera beranjak dan berlari menuju kamarnya, ia bersyukur tak lagi menemukan sosok serupa Haechan yang lain.
Renjun kembali ke ruang tengah dengan ponsel menempel di telinganya.
“Duh, nggak diangkat. Gimana nih?” Renjun bergumam sambil terus mencoba menghubungi kekasihnya lagi.
“Telepon yang lain coba.”
“Oke, coba telepon Johnny hyung.”
“Aduh, nggak diangkat juga. Coba Doyoung hyung.”
“Kim Doyoung?”
“Kim Dongyoung? Ih gue pengen lihat Bang Dongyoung jadi idol.”
“Idol?” Sebenarnya Bumi bertanya pelan pada Donghyuck, tapi tetap saja terdengar oleh Renjun.
“Berisik! Bisa pada diem nggak?” Renjun menatap tajam kelima Haechan di sana.
“Galak banget, Renjun Huang. Sama aja kayak River.”
“Hahaha Hira juga galak tau.”
“Halo Doyoung hyung. Ada Haechan nggak?”
Saat telepon tersambung, Renjun menyalakan loudspeaker supaya mereka semua bisa mendengar.
“Oh, Renjun. Ada kok, di kamar sih. Palingan masih tidur.”
“Hyung, hmm maaf, bisa tolong diliatin nggak? Beneran ada nggak ya Haechan-nya?”
“Yaa gue nggak lihat dia keluar sih.”
“Tolong dong, Hyung. Takutnya dia hilang.”
“Hahaha hilang gimana? Ya udah, ini gue jalan ke kamarnya. Oh, ada kok anaknya. Masih selimutan tuh.”
“Hmm boleh tolong dibangunkan sebentar nggak? Mau ngomong, sebentaaar aja.”
“Oke, sebentar. Chan, Haechan, ini Renjun mau ngomong sebentar.”
Terdengar suara krasak-krusuk sebelum suara Haechan yang tampaknya menolak telepon tersebut terdengar.
“Ayo, nungguin nih anaknya. Gue ke dapur lagi, mau masak. Lo pegang aja nih handphone gue.”
“Ronjin-ah~ aku masih ngantuk. Kenapa?”
“Kok suaranya mirip lu, ya?” tanya Bumi pada Hesa.
“Mirip lu juga, tolol.”
“Lah?” Kemudian keduanya saling tatap seolah menyadari sesuatu.
“Kamu nggak apa-apa, kan? Kamu di dorm?”
“Pacar dia mukanya sama kayak kita. Alias pacar Renjun itu lo tapi versi semesta ini.” Donghyuck kecil memberi jawaban.
“Ohh.”
Diam-diam Haechan paling tua terlihat tersenyum tipis saat mendengar itu.
“Aku nggak apa-apa. Kamu kenapa telepon?”
“Bisa ke sini nggak? Ada–” Renjun mengedarkan pandangannya ke semua Haechan di sana. “Ada banyak masalah di sini.”
“Kenapa, Sayang? Aku hari ini sibuk. Nanti siang recording, terus harus ke Bit and Boot, terus ada photoshoot sama malem lanjut latihan. Maaf ya, aku nggak bisa temenin kamu hari ini. Paling kalau mau nanti dateng aja lihat aku latihan.”
“Oh, ya udah.”
Suara Renjun meski pelan tapi terdengar sangat kecewa, dan itu membuat kelima Haechan terlihat kesal. Mahesa bahkan mengepalkan tangannya. Donghyuck kecil memutar bola matanya, Donghyuck tua menatap tajam.
“Sayang, aku mau tidur lagi. Ngantuk banget ini.”
“Iya.”
“I love you.”
”...oke.”
“Renjun? I love you?”
Renjun menggigit bibirnya, ia ragu apakah harus menjawab Haechan atau tidak. Masalahnya, kini lima pasang mata menatapnya, seolah menunggu jawaban keluar darinya.
“Iloveyoutoo.”
Sambungan telepon pun terputus. Bumi sepertinya tidak sadar ia sudah menahan nafasnya tadi. Harzan terlihat menganggukkan kepalanya.
“Oke, balik lagi ya. Gini, gue harus kerja. Gue ada beberapa jadwal hari ini. Jadi pasti gue harus pergi. Nanti gue sambil pikirin gimana kalian bisa balik ke tempat masing-masing. Sekarang kalian semua masuk ke kamar gue, sebelum anak-anak lain lihat dan ikut kaget. Nanti biar gue yang jelasin sama mereka.
Oh ya, jangan keluar kamar sebelum gue pergi. Dan jangan keluar dorm sama sekali sebelum gue pulang. Oke?”
Semua mengangguk dan menyetujui permintaan Renjun sembari beraknjak dan menuju kamar Renjun.
“Laptop gue bisa dipake, tapi jangan pakai aneh-aneh.”
Renjun mulai menyalakan laptopnya yang ada di meja di kamarnya.
“Kenapa nggak bisa keluar apartemen?”
“Pak, tolong ya. Kalian ini semua wajahnya sama kayak Haechan. Dan Haechan itu idol. Resikonya nggak akan baik buat kalian dan Haechan juga. Dan gue juga.”
“Itu lemari gue. Kalian bisa pakai baju gue. Toiletries supplies di lemari kecil sebelahnya. Hm, kalau butuh apa-apa nanti mungkin bisa hubungi gue. Pada bawa handphone kan?”
Semua menunjukkan ponselnya. Jangan tanya Renjun, ia pun tidak tahu kenapa kebetulan semua membawa ponsel sampai ke semestanya. Jangan pula tanya Renjun apakah mereka sekiranya bisa berkomunikasi atau tidak.
“Oh satu lagi. Sebelum gue berangkat, tolong, gue tau, tauuu banget ini susah buat kalian. Tapi tolong, bisa pada diem kan ya?”
“Bisa.” Si Bapak Donghyuck langsung menjawab.
“Hmm gimana ya, Renjun.” Bumi terlihat ragu.
“Aduh euy, diusahakan lah ya.” Harzan juga tidak yakin sepertinya.
Renjun menghembuskan nafasnya. Belum juga pukul sepuluh pagi, tapi dirinya sudah cukup pening menghadapi masalah hari ini. Bukan hanya bingung karena mereka tiba-tiba muncul tanpa aba-aba, tapi mereka semua memiliki pesonanya masing-masing dan entah mengapa bagi Renjun semua terlihat menarik.
Seolah-olah, di semesta manapun, semua Renjun akan tertarik pada semua Haechan di sana. Meski nama mereka berbeda, meski perawakannya tidak selalu sama persis, meski pekerjaan mereka berbeda, cerita mereka berbeda, seorang Renjun tetap dipertemukan dengan Haechan-nya.