Who are you?
Donghyuck menatap lelaki mungil di depannya. Berkali-kali ia melihat Injun membasahi bibir bawahnya. Donghyuck paham, Injun sedang gugup karena sesuatu, entah apa yang ingin dibicarakan. Jika sesuatu tidak menjadi aneh, Donghyuck mungkin akan merasa Injun seperti ingin menyatakan cinta, tapi situasi berubah sejak beberapa hari lalu.
“Gue bukan Hwang Injun.”
Kata yang terlontar dari mulut Injun sesungguhnya memang jawaban dari hal yang ingin ia tanyakan, yang sudah ia curigai dari beberapa hari ini, tapi tetap saja ia sedikit terkejut, namun juga tidak begitu mengerti maksud Injun.
“Oke.”
“Gue tau lo pengen tanya banyak hal. Go on.”
Injun mengaduk tteokbokki di panci dan mengambil sebagian ke mangkuk kecil di depannya. Semerbak aroma gochujang memanjakan indera penciumannya, Injun tersenyum senang seperti anak kecil. Padahal hanya makan makanan sesederhana tteokbokki, tapi Injun terlihat begitu bahagia.
“Lo siapa? Injun mana? Dan kalau lo bukan Injun…” Donghyuck meraih tangan kanan Injun, memperlihatkan tanda lahirnya, “kenapa lo punya ini?”
“Nama gue Huang Renjun dan gue bukan dari dunia ini.”
Mulut Donghyuck terbuka sedikit, nampaknya masih mencerna informasi yang ia dapatkan. Lalu ia menutup mulutnya dengan tangannya, kaget akan sesuatu.
“Dari dunia gaib? Lo semacam, arwah penasaran yang masuk ke raga Injun?”
Tawa Injun membuat Donghyuck berpikir ulang tentang tebakannya. Tawanya khas Injun sekali.
“Bukan. Gue dari semesta yang lain. Tau dunia paralel? Di dunia yang lain, di sana nama gue Huang Renjun asal gue dari China.”
“Parallel universe? Lo nge-prank atau gimana?”
“Oh how I wish it's all just pranks too, Hyuck. Tapi masalahnya, situasi dan semua orang di sekitar gue berubah, bukan orang-orang yang sama kayak gue kenal meski nama dan wajah mereka sama.”
“Okay, wait. Jadi, lo Hwang Injun versi China?”
“Yep, bisa dibilang begitu, dan gue kerja di Korea, jadi gue tau nama Korea gue Hwang Injun. Muka gue sama Injun ya sama. Gue juga punya tanda lahir di tangan. Bedanya ya kita dari tempat yang berbeda, di sini Injun anak SMA biasa tapi Renjun di sana idol terkenal berumur 21 tahun.”
“Wah, beneran sih emang agak nggak masuk akal cuma ya parallel universe, yaa mungkin aja sih,” ujar Donghyuck lebih ke dirinya sendiri. Ia masih tidak percaya hal seperti ini terjadi di kehidupannya.
“Sayangnya gue nggak tau gimana keadaan fisik gue dan keberadaan Injun. Maaf ya.” Donghyuck menyimpan sumpitnya, tak lagi tertarik dengan tteokbokki di depannya.
“Apa hal yang terakhir lo inget sebelum ke… sini?”
“Gue kejatuhan sesuatu, kayaknya sih salah satu lampu stage, rasanya sakit banget. Nggak tau kenapa, pas bangun gue tiba-tiba di sini, di ruang UKS sekolah lo.”
Donghyuck meringis, membayangkan kejadian yang dialami Renjun jauh lebih menyakitkan dibanding sekedar kena bola lemparan Jeno.
“Apa kita pukul kepala lo lagi pakai bola?”
Pertanyaan Donghyuck membuat Renjun spontan memegang kepalanya.
“Hey, enak aja!”
Donghyuck hanya terkekeh.
“Tapi kan cuma pakai bola aja, gue pastiin Jeno nggak lempar terlalu keras. Gue juga nggak mau Injun kenapa-kenapa.”
“Hm, ya boleh dicoba sih.”
“Eh, gue mau tau deh, kenapa lo ngomong gini ke gue? Maksudnya, lo tau gue sama Injun bahkan bukan temen sekelas.”
“Itu, yaa… gue sadar sih lo orang paling deket sama Injun dan lo juga kelihatannya curiga sama perubahan yang terjadi sama Injun. Lo orang pertama yang gue lihat dan kenalin di sini. Jadi yaa, gue percaya aja sama lo.”
Donghyuck mengangguk sambil mengunyah tteokbokki-nya. Renjun paham penjelasan ini masih cukup mengejutkan untuknya.
“Jadi, kita akan coba buat balikin lo ke sana, dan Injun ke sini, gitu kan?”
“Hidup di sini memang enak, gue nggak perlu capek latihan, badan nggak terasa lelah. Nggak ngerasa stress mikirin apa setiap gerak-gerik gue ada yang perhatiin atau enggak,” Renjun menghela nafas berat.
“Tapi bagaimanapun, hidup ini bukan milik gue. Gue nggak bisa egois. Kalau Injun bangun dengan tubuh gue, dia pasti kaget sih, nggak tega gue,” lanjut Renjun, ia hanya menatap saus kental merah tteokbokki di panci di depannya. Sudah tak selera untuk makan.
“Makasih ya, karena lo udah mikirin Injun juga.”
Lelaki di depannya, Huang Renjun, tertawa kecil dan Donghyuck gugup karena merasa tangan Renjun semakin mendekat ke arahnya. Tangan itu mengelap sisa saus tteokbokki di sudut bibirnya. Jantung Donghyuck terasa berhenti sesaat. Dia bukan Hwang Injun-nya, Donghyuck sadar. Tapi mengapa perasaan ini terasa familiar?