always, i'll care

Renjun segera menuju ruang tengah ketika terdengar suara pintu dorm terbuka. Senyumnya terlihat sungguh lebar, jantungnya berdegup kencang, tangannya mengepal karena tak sabar menantikan seseorang masuk.

“Halo, pacarku.”

Renjun tak menjawab sapaan lelaki yang baru saja masuk, ia langsung memeluk dan berjingkrak membuat kekasihnya harus memeganginya supaya mereka tidak jatuh.

“Aku juga kangen.”

“Tumben cepet, udah selesai latihannya?” Renjun masih belum melepas pelukannya, Haechan pun masih mengusap punggung sambil beberapa kali ia mengecup bahu pacarnya.

“Iya. Aku suntuk banget. Semua pada mau selesai cepet karena pada lelah, biar pada istirahat dulu aja, katanya.”

“Hmm.”

“Ke kamar kamu aja, ya. Aku nginep di sini kok.”

“Beneran?” Renjun akhirnya melepas pelukannya.

“Iya.”

Haechan baru sadar ia sangat merindukan kekasihnya itu, jadi ia pun langsung mendaratkan ciuman singkat di pipi Renjun yang untungnya tidak dihalau oleh kekasihnya itu. Padahal biasanya Renjun menjauh kalau Haechan mulai menciumnya.

“Jangan berisik, guys,” komentar Jaemin yang baru saja beranjak dari sofa dan mulai berjalan ke arah kamarnya hanya ditertawakan oleh dua sejoli yang kini melepas rindu.

“Ayang.”

“Hmm?” Renjun tak menoleh, ia sedang membereskan tempat tidurnya agar Haechan bisa ikut tidur di situ dengan nyaman.

“Jangan putusin aku, ya.”

“Hah?” Baru kali ini Renjun menatap Haechan yang terlihat sendu.

“Kenapa aku harus putusin kamu?”

“Yaa, karena aku sibuk, nggak ada waktu bahkan buat bales chat kamu. Aku suka lupa atau ketiduran. Kadang aku cuma ngerasa, ya udah, males aja nggak mau ngapa-ngapain.”

Renjun tersenyum lalu kembali memeluk Haechan. Ia usap tengkuknya.

“Kamu kenapa belum mau putus sama aku?”

“Waktu aku lihat kamu, aku sadar aku masih mau kayak gini, deket kamu, sayangin kamu. Aku nggak mau kalau aku tiba-tiba aku nggak bisa peluk kamu kayak gini. Kalau tiba-tiba kamu nggak balas saat aku bilang cinta. Aku nggak mau.”

“Ya udah, aku juga sama. Perasaan aku masih sama kok. Aku ngerti kamu sibuk. Dibanding siapapun, aku yang paling ngerti gimana sibuknya karena aku tau banget apa aja yang harus kamu lewati, yang harus kamu lakukan. Jadi, aku ngerti. Aku nggak menuntut kamu untuk selalu ada, yang penting, kamu tetap ada. Kamu tetap bilang kamu cintanya sama aku aja.”

“Aku beruntung banget punya kamu, Huang Renjun.”

“Sama, aku juga. Pacar aku hebat banget. Aku bangga.”

As you should.”

Renjun tertawa. “Mau denger lagu nggak? Kamu harus denger lagu ini.”


“Hmm. Ini kamu nyindir aku, apa gimana?”

Mereka kini berbaring di ranjang milik Renjun, sama-sama mendengarkan lagu yang akhir-akhir ini didengar oleh Renjun.

“Ini tuh aku, ke kamu.” Telunjuknya menekan dada Haechan.

“Yang lebih sering ignore the messages kan aku, yang. Kamu malah yang lebih sering reach out duluan ke aku. Tapi, tau nggak sih? I'm glad you did that. And I'll try to be better, ya.”

“Bangga nggak, jadi pacar aku?”

“Iya, lah. Sayang banget aku tuh, sama kamu. Terima kasih, udah jadi pacar Haechan yang pengertian.”

Renjun tertawa saat Haechan menghujani ciuman di wajahnya.