Cinta Bersemi dari SMA
Semua orang mengenal kisah legenda Galih dan Ratna. Banyak gadis yang mengagumi dan ingin rasanya menjadi Ratna yang dicintai seorang Galih. Kali ini bukanlah kisah tentang anak remaja tahun 80an. Tentang Galih, tetapi dengan sosok pemuda lainnya, Raka.
—1997.
Galih Hanggara. Hampir seantero sekolah mengenalnya. Atau setidaknya pernah mendengar namanya. Bagaimana tidak? Selain anaknya yang ramah dan sering menyapa banyak orang, guru-guru pun tak jarang meneriakkan namanya setiap ia berbuat ulah.
Galih itu jahil sekali, murid laki-laki atau perempuan tak luput dari tingkah jahilnya. Suara tawanya yang keras di jam pelajaran juga kerap mengganggu Raka.
Galih Hanggara memang terlihat seperti anak nakal, tapi ia tak pernah berbuat hal buruk yang keterlaluan padanya, tidak ada celaan atau caci maki yang ia katakan padanya, tak pernah pula sekalipun menyentuh Raka.
Raka sebetulnya hanya murid biasa, ia memang pintar karena langganan ranking pertama, tapi ia “tidak ingin dilihat”. Naufal, teman sebangkunya, bisa dibilang satu-satunya teman dekat Raka. Karena Raka terlihat sedikit menjaga jarak dengan yang lain. Sampai suatu hari Galih dari kelas sebelah menyapa dirinya.
Bunyi nyaring kentongan yang dipukul menandakan jam istirahat dimulai, saat itu Naufal menolak pergi ke kantin sehingga akhirnya Raka pergi sendirian. Ketika Raka melewati kelas 2 IPA 3, ia melihat Galih dan teman-temannya baru saja keluar. Tiba-tiba saja Galih mencegat langkah Raka.
“Halo, uhh, Raka Adhiwijaya?” panggilnya setelah ia melihat nama yang tertera di seragamnya. “Wow, nama yang bagus.”
Raka hanya memutar bola matanya, tak peduli dengan komentar Galih. Namun ketika ia mencari celah jalan di sebelah Galih, pemuda itu juga bergerak mencegat Raka. Untungnya teman-teman Galih tak ikut-ikutan mencegat Raka, mereka sudah berjalan menuju kantin sekolah.
“Mau apa?” tanya Raka malas. Raka itu menghindari bergaul dengan teman-teman lain, apalagi jika murid seperti Galih yang sering sekali mengunjungi ruang BK karena selalu ada saja ulahnya.
“Lo mau ke kantin kan? Beliin gue rokok. Lucky Strike, ya.”
“Kantin nggak jual rokok, kali.”
“Iya tau. Lo beli di warung Mang Ujang aja. Gue tunggu di rooftop. Makasih Raka.” Pemuda dengan seragam yang sudah tak rapi itu pun berjalan melewati Raka dan meninggalkannya setelah ia menyelipkan uang ke dalam saku baju Raka.
Raka mendengus dan berbalik, mumpung Galih baru beberapa langkah, ia berbicara sedikit keras. “Kenapa nggak suruh temen-temen lo aja?”
Galih hanya tertawa keras dan tanpa menoleh ia lambaikan tangannya. Sungguh, Raka kesal sekali. Ia ingin meluapkan emosinya, namun beberapa murid mulai melihat ke arahnya. Raka tidak suka perhatian-perhatian yang tertuju padanya, jadi ia melanjutkan perjalanan menuju kantin.
Mungkin jika barang yang dititipkan bisa didapatkan di kantin, Raka mau saja membelikan. Sayangnya rokok itu bisa dibeli di warung Mang Ujang, warung kecil yang biasa dijadikan anak-anak nongkrong sepulang sekolah yang letaknya tak jauh dari gerbang belakang sekolah. Dan itu lumayan jauh untuk berjalan ke sana. Raka malas sekali.
Setelah membeli makanan di kantin, Raka rencananya kembali ke kelas, tetapi dirinya terus kepikiran perihal rokok tadi. Ya memang bagi Raka, Galih itu tadi terlihat sedikit intimidating.
Raka menghembuskan nafasnya sembari berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah kelasnya. Akhirnya ia pun mulai menuju warung Mang Ujang.
Begitu sampai di sana, Raka sempat takut karena ada beberapa anak kelas 3, untungnya mereka santai saja ketika melihat Raka membeli sebungkus rokok titipan Galih. Kali ini yang menyebalkan adalah ia harus mengantarnya ke rooftop. Sebenarnya, alih-alih rooftop, itu seperti bagian gedung paling atas yang terbengkalai karena belum adanya dana untuk pembangunan lantai tiga. Maklum lah, karena sekolahnya sekolah negeri.
Aduh, Raka kesal sekali. Pasalnya rooftop itu berada di atas lantai dua di gedung paling depan, itu berarti sangat jauh dari posisi Raka yang baru saja membeli rokok di warung yang berada di belakang sekolah.
Saat Raka sampai di rooftop, ia melihat Galih dengan gitar di tangannya. Entah lagu apa yang ia iseng senandungkan karena Galih berhenti dan malah tersenyum menyambut Raka.
Lima menit lagi suara kentongan akan terdengar, tapi Galih masih terlihat santai duduk bersila di bawah, tak peduli jika celana abu-abunya menjadi kotor.
“Nih. Lagian ngapain ngerokok? Nggak boleh, tau.”
“Ngurusin banget sih, Cel.”
Melihat muka kebingungan Raka, Galih hanya terkekeh.
“Boncel. Abisnya lo kecil banget.”
“Sembarangan, ya.”
Raka tidak tahu bagaimana ia bisa berbincang sesantai ini dengan Galih, padahal sebelumnya tak pernah bertukar sapa.
Begitu bunyi kentongan terdengar, Raka langsung meninggalkan rooftop, tetapi Galih masih saja asyik di sana dengan sebatang rokoknya. Sebelum berbalik dan berjalan menuju kelasnya, Raka sempat menoleh ke arah pelajar yang sedang merokok itu. Galih terlihat bebas, sesuatu yang sulit Raka rasakan.
Keesokan harinya, Raka kembali menemukan Galih, kali ini di depan kelasnya.
“Beliin rokok ya, Cel.”
“Duitnya?”
“Dari lo hehehe sebatang aja.”
Saat menaiki tangga menuju rooftop Raka memikirkan kembali aksinya, ia tidak habis pikir dengan dirinya sendiri yang mau-maunya mengantar sebatang rokok dari warung Mang Ujang menuju rooftop.
Dengan nafas yang memburu, Raka menyerahkan sebatang rokok itu.
“Nggak lagi-lagi ya gue beliin lo rokok.”
“Makasih, Cel. Sini duduk dulu.” Galih menepuk tempat di sampingnya kemudian menyalakan rokoknya.
Jujur saja Raka lelah juga setelah membelikan rokok itu, belum lagi ia menggerutu sepanjang perjalanannya tadi. Duduk sebentar tidak salah, kan? Sebentar saja sampai waktu istirahat habis.
Galih menatap Raka yang duduk di sisi kirinya, mungkin tak percaya jika Raka mengikuti perkataannya.
“Lo nggak masuk kelas ya nanti?”
Raka itu anaknya tidak terlalu senang berbincang apalagi dengan orang yang tidak ia kenal, maka dari itu ia dikenal pendiam. Tetapi dengan Galih ia merasa nyaman, ada rasa ingin tahu yang kuat. Mungkin karena dunia Galih yang terlihat berbeda, Raka penasaran meski ia juga kesal dengan sikap Galih.
Galih membuang muka, menjauhkan Raka dari asap rokoknya.
“Masuk. Soalnya rokok gue cuma sebatang.”
Raka tak menanggapinya lagi. Ia hanya terdiam. Dalam jarak dekat, meski Raka memang tidak mencondongkan dirinya ke arah Galih, ia tetap dapat menghirup wangi parfum yang bercampur bau rokok. Parfumnya sepertinya berbeda dengan yang biasa dipakai teman-temannya.
“Cel.”
“Berhenti panggil gue kayak gitu.” Raka mulai berdiri, bersiap untuk pergi karena jam istirahat sudah akan selesai. Tetapi ia terhenti karena tangan Galih menahannya.
“Jangan marah, Raka.”
Waktu rasanya berhenti sejenak saat mereka bertemu pandang. Raka tidak marah, hanya saja ia tak ingin terlambat datang ke kelas.
“Gue cuma mau ke kelas, Galih. Lepasin.”
Lelaki yang masih duduk di bawah itu hanya tersenyum lalu melepaskan pegangannya di tangan Raka.
“Besok beliin gue lagi ya.”
“Nggak,” jawab Raka sambil melengos dan berlalu pergi meninggalkan Galih dengan tawa kerasnya yang, bagi Raka, menyebalkan.