mysummer

Janji Yangyang pada Haechan untuk tidur cepat malam itu terpaksa diingkarinya. Ia memikirkan kembali mengenai hubungannya dengan Haechan, dan yang pastinya juga dengan sahabatnya, Renjun.

Memang selama ini mereka tidak pernah ada masalah. Haechan selalu berusaha berlaku adil, dan Yangyang kagum akan itu. Tetapi, Yangyang menyadari ketika ia lebih membiarkan pacarnya untuk menghabiskan waktu dengan sahabatnya, awalnya ia beralasan karena disibukkan dengan tugas, namun akhirnya ia sendiri tahu ia hanya mencari alasan.

Yangyang bukannya tidak menyukai hubungan mereka bertiga, hanya saja dia sadar ada orang lain yang membuatnya merasa lebih nyaman.

Haechan itu definisi sempurna, caranya memperlakukan Yangyang tidak pernah salah di matanya. Semua orang yang diperlakukan seperti itu pasti luluh, karena Haechan itu sungguh romantis. Namun, dinamika hubungan pacaran seperti itu sepertinya bukan yang ia sukai.

Dibandingkan dengan pacar yang mengunggah foto dirinya di media sosial, Yangyang merasa lebih spesial saat ia memergoki Jaemin sedang memfoto dirinya diam-diam.

Haechan itu perhatian sekali, memastikannya dirinya tidak melewatkan makan saat waktu-waktu ujian. Berbeda dengan Jaemin yang tiba-tiba datang ke rumahnya dan mengajaknya night drive, padahal besok siang ada jadwal ujian.

Dan Yangyang merasakan itu, perhatian diam-diam, tatapan yang memandangnya lebih lama, raut khawatirnya saat Yangyang mengatakan jika minggu ini adalah jadwalnya Renjun. Mungkin Jaemin tidak tahu, tetapi Yangyang itu peka.


Siang itu Yangyang tahu sekali Haechan pasti sedang berada di kantin fakultas Renjun untuk makan siang. Maka dari itu, ia bergegas ke sana. Semua harus segera diselesaikan, ia sudah membulatkan tekad.

“Hai Ren, Hai Chan,” sapanya begitu sampai di depan meja Renjun dan Haechan.

“Yangie!! Ayo sini, gabung aja. Tumben ke sini.”

“Iya, tapi aku mau ngomong sama Haechan sebentar, boleh ya, Ren?”

“Oh, boleh lah.”

“Ada apaan, Yang? Sampai ke sini segala, padahal aku bisa ke tempat kamu.”

“Biar cepet aja. Maaf ya Ren, sebentar aja kok.”

“Santai aja, abis ini aku juga mau ada kelas sih.”

Yangyang melihat Renjun tersenyum sebelum ia dan Haechan pergi dari situ. Kantin terlalu ramai di jam makan siang, Yangyang butuh tempat yang lebih sepi. Akhirnya mereka mengobrol di belakang salah satu gedung fakultasnya Renjun.

“Kenapa? Kayaknya urgent banget.”

“Chan, kita udahan aja, ya?”

“Maksudnya?” Terlihat sekali Haechan kebingungan dengan maksud Yangyang.

“Aku kayaknya nggak bisa lanjutin hubungan kita. Dan, sebelum kamu berpikir apakah ini karena hubungan kita, no, sama sekali bukan karena kamu apalagi Renjun. You’ve been nothing but a good boyfriend. Emang akunya aja nggak bisa.”

Haechan terdiam, tampak memahami perkataan Yangyang. “Maaf,” ujarnya sambil menunduk setelah menghembuskan nafas.

Yangyang meraih tangan Haechan. “Chan. Nggak perlu minta maaf. Emang perasaan aku yang nggak sama. Aku yang minta maaf karena aku udah nggak bisa lagi. Kamu udah baik sama aku tapi aku nggak bisa.”

“Aku suka sama kamu. Aku takutnya kamu nggak sadar tapi aku juga suka sama kamu.”

Yangyang tersenyum mendengar pernyataan Haechan. “Aku tahu, aku peka kok. Aku juga tahu, kamu lebih suka sama Renjun.”

“Yang—”

Noo, it’s okay. Aku seneng banget malah. Soalnya Renjun juga suka banget sama kamu. Aku maunya kamu bisa lebih sayangin dia lagi. Kalau kamu bikin si bayi sedih, aku bakal jadi yang paling pertama menghajar kamu.”

Haechan tertawa kemudian mengangguk. “Iya, si bayi aman.”

“Bagus kalau gitu. Jadiii… kita oke ya?”

“Oke apa?”

“Oke putus? Dan oke masih temenan? Nggak masalah kan?”

Haechan mengangguk lagi. “Iya, Yangyang. Nggak masalah.”

Yangyang akhirnya merasa lega. Haechan pun mengatakan bahwa mereka tetap berteman.

Acara kencan hari itu berlangsung dengan sempurna. Bagi Yangyang, memang hari itu indah dan tanpa cela. Haechan datang tepat waktu, ketika Yangyang membuka pintu rumahnya ia disuguhi penampilan atraktif seorang Lee Haechan dengan jaket biru denimnya menyerahkan satu buket bunga mawar berukuran sedang. Romantis, itu pasti pemikiran semua orang, termasuk Yangyang tak terkecuali.

Yangyang tersenyum dan mengambil buket itu. Cantik. Ia pun merasa tersanjung. Tapi, apa ya? Seperti ada hal berbeda yang ia rasakan. Mengenyahkan pemikiran itu, Yangyang pun menyimpan buket itu di kamarnya sebelum mereka bertolak untuk kencan hari ini.

Film yang ditonton merupakan film science fiction yang memang Yangyang ingin tonton semenjak awal rilisnya. Setelah menonton, Yangyang menawarkan untuk membeli minuman boba dan berakhir dengan mereka juga membeli snack ringan di toko sebelahnya. Mereka mengobrol cukup lama di sana.

Setelah itu barulah Haechan mengajaknya ke sebuah restoran untuk makan malam. Dengan dekorasi meja yang indah dan lilin yang menyala, terang saja Yangyang terkesan. Belum lagi kue yang disiapkan khusus untuknya yang dibawakan langsung oleh Haechan.

Namun lagi-lagi ia merasakan sesuatu yang janggal. Ia terkesan dan merasa senang. Tapi, ada apa ya? Entah mengapa ia merasa tidak berada di tempat yang semestinya. Aneh sekali bukan? Padahal Haechan jelas menyiapkan semua ini untuk Yangyang.

“Aneh nggak sih? Dekorasinya?” tanya Haechan sambil memotong steak-nya.

“Bagus kok,” jawabnya diikuti senyuman. Tentu itu jawaban jujur, dekorasi meja tidak terlalu berlebihan dan Yangyang menyukainya.

“Aku takutnya kamu nggak senang. It's your birthday, you should be happy.”

“Kamu siapin semua kayak gini, masa aku nggak senang? Ya senang lah. Makasih ya, kamu tuh baik banget.”

Haechan hanya tertawa pelan mendengar itu, lalu melanjutkan makannya.

Setelah itu Yangyang pun diantar sampai rumah. Saat mobilnya baru saja menepi, tangan Haechan langsung berpindah dari persneling ke tangan Yangyang, seolah menahannya agar tidak pergi terlalu buru-buru.

“Maaf ya, kalau selama ini aku nggak bisa jadi pacar yang baik buat kamu.”

That's bullshit, tadinya Yangyang ingin bilang begitu. Karena ya tentu saja itu bukan pernyataan yang benar. Memang Haechan memiliki dua kekasih, dirinya dan sahabatnya sendiri, Renjun. Itu semua terjadi tentu atas persetujuan ketiga pihak. Dan selama ini Haechan menjadi pacar yang baik, adil, sopan, dan sangat menghargai Yangyang. Benar-benar tidak ada kurangnya, bisa dibilang.

Tapi tetap saja, Yangyang merasakan ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman akhir-akhir ini. Padahal hubungan mereka sudah terjalin selama kurang lebih empat bulan, dan semua berjalan baik dan nyaman untuk Yangyang. Dan lelaki Libra ini tahu yang salah bukan dari Haechan atau Renjun, tapi dari dalam dirinya.

Yangyang membalikkan tangannya sehingga ia dapat menautkan jemarinya dengan jemari sang kekasih.

You're the best. And everything is perfect.”

Haechan kini mencondongkan dirinya sehingga jarak antara mereka begitu dekat.

Can I get a kiss, then?

Yangyang mendekat dan mencium singkat pipi kanannya. Ya, memang biasanya juga Yangyang mendaratkan kecupan di pipi ketika Haechan mengantarnya pulang.

That's it? Apa nggak seharusnya spesial di hari yang spesial?”

Kedua manik Yangyang membesar mendengarnya, itu berarti akan jadi ciuman pertama mereka, 'kan? Seharusnya wajar kan untuk pasangan kekasih berciuman? Tapi, mengapa Yangyang merasa ragu? Jelas ini bukan ciuman pertama dalam hidupnya, tetapi tetap saja ia merasakan sesuatu yang aneh.

Not… now?” bisiknya pelan dan ragu.

Haechan tersenyum lalu menjauh, ia pun mengacak rambut Yangyang dengan sedikit gemas.

“Iya, nggak apa-apa kalau belum siap.”

Haechan ini benar-benar deh, rasanya Yangyang nggak pantas mendapatkan lelaki seperti dia.

“Kamu istirahat, ya? Jangan begadang malam ini. Aku juga nggak akan mau kalau kamu ajakin mabar.”

“Iyaa.”

Lalu Yangyang pun masuk ke rumahnya dengan perasaan yang semakin tak karuan. Ia senang, hari ini sungguh sempurna. Mungkin, hatinya yang tidak.

bonus chapter

Donghyuck kini hanya menatap kosong layar laptop Renjun. Ia sudah mencari dari berbagai sumber informasi mengenai parallel universe. Menelusuri berbagai jurnal ilmiah, sampai teori konspirasi, bahkan cerita fiksi. Tapi tetap saja ia tidak bisa menyimpulkan apapun mengenai kasus yang terjadi padanya.

Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area kamar Renjun, keempat lelaki yang serupa dengannya kini sudah tertidur lelap, seketika pikirannya melayang pada sosok Renjun yang bukan miliknya itu.

Apakah Renjun sudah istirahat? Mengamati kegiatan Renjun dari internet, sang idola ini nampaknya benar-benar disibukkan dengan jadwal kegiatannya.

Donghyuck menggelengkan kepala, mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia kini memiliki suami. Donghyuck amat merindukan suaminya. Seharian ini ia mencoba mengirim pesan namun semua pesan itu gagal terkirim.

Akhirnya Donghyuck kembali membuka group chat Gochujang, menatap kembali foto Renjun si idola. Benar-benar mirip Renjun-nya, Injunnya, his naughty little fox.

Saat suara pintu apartemen terbuka, Donghyuck terdiam. Ia menajamkan pendengarannya karena, siapa yang mengunjungi dorm saat—ia melihat sekilas layar ponselnya— pukul 2 pagi? Padahal semua penghuni dorm sudah pulang dan mungkin semua sedang tertidur.

Setelah beberapa menit, ia tak mendengar apapun lagi. Apakah mungkin ada orang jahat? Pencuri? Atau penggemar yang kelewat fanatik yang sampai memata-matai para artis idola ini?

Donghyuck berjalan menuju pintu kamar, ia pun membuka pintunya pelan-pelan supaya tidak ada yang menyadari. Ia merasa ada seseorang di ruang tengah, Donghyuck sempat takut karena di sana lah Renjun tidur, apalagi saat ia melihat dari kejauhan, ada sosok lelaki sedang mengelus kepala Renjun.

Setelah ia perhatikan lagi, sosok itu terlihat familiar, seperti sangat mengenalnya. Oh, apakah lelaki itu adalah Lee Haechan?

Penerangan yang terbatas memang membuat Donghyuck tak bisa melihat dengan jelas siapa lelaki itu, tetapi ia merasa lega. Ia seperti memahami apa yang lelaki itu rasakan. Ada cinta dalam tatapannya untuk Renjun yang tertidur itu.

Donghyuck pun kembali menuju kamar dengan senyuman terukir di wajahnya. Saat ia kembali duduk di depan laptop, pikirannya kembali melayang memikirkan skenario yang kira-kira akan terjadi jika ia tetap berada di semesta ini.

Ia pun mengusap wajahnya, merasa lelah dan benar-benar menjadi buntu pikirannya saat ini. Mungkin ia butuh tidur sejenak. Setelahh menyandarkan tubuhnya, ia pun memejamkan mata.

Senyum sang suami menemaninya menuju lelap meski hanya ada dalam bayang-bayangnya saja.


“Mas? Mas, mau tidur lagi?”

Suara familiar itu, apakah hanya dalam mimpinya? Namun goyangan pelan di lengannya membuat mata Donghyuck langsung terbuka lebar. Ia langsung mengenali dapur apartemennya.

“Kamu kenapa?”

Suara lembut di sampingnya membuatnya dengan cepat menoleh.

“Ren–jun?”

Renjun tersenyum dan seketika Donghyuck berpikir, ini Renjun yang mana? Ini suaminya kan?

Melihat Donghyuck yang terlihat bingung, Renjun pun duduk di sampingnya. “Kamu masih ngantuk, Mas? Tadi kelihatannya ketiduran.”

Donghyuck menghembuskan nafas tanda rasa lega, ia sudah kembali ke tempat asalnya sepertinya.

“Hari apa ini, Sayang?”

Renjun mengernyitkan dahinya. “Ini hari Senin, kamu lupa?”

“Senin? Terus, tadi apa yang terjadi?”

“Maksudnya? Waktu kamu ketiduran?”

“Berapa lama saya ketiduran?”

“Hmm kayaknya sekitar lima menit? Aku tadi lihat kamu ambil kopi terus sambil nunggu kopi yang masih panas kan kamu merem, aku lihat itu agak lama terus ya udah aku ke kamar tadi buat ambil handphone, pas lihat kamu ketiduran ya tadinya aku bangunin biar kamu tidur di kasur aja, gitu. Kenapa sih? Kamu agak aneh deh, Mas.”

“Injun, kalau saya bilang tadi saya seperti terbawa ke semesta lain, kamu percaya nggak?”

Astral projection, gitu?”

Donghyuck tampak berpikir sejenak. “I don't understand. But my body is there and people can see me. And there's you, another you. Also another me. Five of us.”

Renjun menyentuh dahi Donghyuck dengan tangannya, merasakan jika suhunya mungkin lebih tinggi, tapi ternyata normal saja. “Kamu yakin itu bukan mimpi?”

I spent almost 24 hours there.”

“Terus? Maksudnya another me? Another you?

“Kamu ngerti parallel universe? Yang seperti di film Marvel kesukaan kamu. Nah, it's probably like that. I was in another universe.”

Fokus Renjun kini tertuju sepenuhnya untuk sang suami. Tertarik mendengar cerita lebih lanjut. “Terus? Aku kayak gimana? Dan five of you itu maksudnya gimana?”

“Percaya atau nggak, tapi kamu seorang idol. Pacar kamu,” disela deheman singkat, ia pun melanjutkan lagi, “Lee Haechan.”

“Siapa Lee Haechan?”

“Nama panggungnya Lee Donghyuck.”

“Woah, aku mau tau yang lainnya dong. Itu semua dari universe yang berbeda? Terus Renjun-nya cuma satu?”

“Yang lain gimana maksudnya?”

“Yaa aku mau tau Lee Donghyuck yang lain kayak gimana,” ujar Renjun dengan mata berbinar.

“Semua lebih muda dari saya, sih. Dan iya, semua dari universe yang berbeda.”

“Oh ya? Jadi semua bentukannya kayak kamu waktu di foto itu? Yang umur 20an?”

I'm still 29, Huang Renjun.” Donghyuck mencubit pelan hidung Renjun. “Kamu tidak boleh ketemu dengan mereka. Semua sudah punya Renjun-nya masing-masing. Nanti kapan-kapan saya ceritakan lengkapnya, ya.”

Okay. Wah, I'm glad then. Jadi pengen ketemu sama Renjun yang lain.”

No, please don't, kayaknya saya nggak mau.”

Suara tawa Renjun terdengar keras di keheningan area dapur apartemen mereka pagi itu. Ada lebih dari satu Renjun? Oh, tidak, membayangkannya saja Donghyuck tak sanggup.

Terdiam Renjun di depan pintu kamar yang tertutup. Sesaat tangan terangkat untuk mengetuk, namun urung kala layar gawai yang ia genggam menyala tanda adanya pesan baru. Tangannya turun, ia pun berbalik dan menggeret dua koper besarnya sebisa mungkin tanpa membuat kegaduhan.

Sampai di depan pintu apartemen, langkahnya terhenti. Tak sanggup meninggalkan tempat yang beberapa tahun terakhir ini menjadi saksi cinta mereka, tempat mereka berpadu kasih, tempat ternyaman karena di sana lah mereka merasakan dunia hanya milik berdua.

Setetes cairan bening mengalir di pipi Renjun saat ia memejamkan netranya, dadanya ia tepuk berkali-kali hanya untuk menggemakan rasa sakitnya. Isak tangis ditahan karena tak ingin mengganggu kesunyian menjelang pagi.

Setelah memberi dirinya sendiri sedikit waktu berdamai dengan keadaan meski sesungguhnya ia belum sepenuhnya menerima, Renjun pergi meninggalkan apartemen itu. Tidak, tidak hanya itu. Renjun pergi meninggalkan cintanya, kekasih hatinya. Satu nama yang selalu ia sebut dalam pengharapan untuk bisa bersama selamanya, Lee Haechan.

Derai air mata tak terbendung dan tangisnya pecah sesaat ia mengayunkan kakinya memasuki elevator. Rasa sakit ini berkali lipat rasanya dibanding ketika ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan sang kekasih dua minggu lalu, lebih sakit dari ciuman mesra terakhir mereka tadi malam.

Potongan memori demi memori memenuhi bayang-bayang pikirannya. Semua tawa canda, tangis pilu, dan waktu-waktu terindah yang mereka lalui bersama kini hadir dalam khayalnya, membuat isakan tangisnya semakin kencang.

Setiap bisik kata cinta dan untaian puji yang hanya tertuju untuknya terngiang seolah sang belahan jiwa masih di sampingnya. Renjun sudah merindu meski jarak belum terpaut terlalu jauh. Gelap terasa di kehidupannya bukan karena matahari belum tinggi di langit, tapi tak akan ada lagi presensi seorang Lee Haechan di dunianya. Bagaikan bunga matahari yang telah layu, itu adalah dirinya saat ini.

Bunyi elevator tanda dirinya sudah di lantai basement membuyarkan semua kenangan yang terus menari-nari di pikirannya. Ia seka pipi basahnya dengan tangan yang terbalut coat berwarna cokelat. Upayanya menghentikan tangis sesenggukan hanya menghasilkan rintihan tertahan.

Bersusah payah ia menarik dua koper besar itu menuju mobil yang terparkir tak jauh dari situ. Lampu mobil menyorot di kegelapan basement menandakan siap untuk melaju pergi lagi, tak perlu menunggu lama karena di sana hanya untuk menjemput Renjun.

“Sudah siap semua, hyung?”

“Iya, Jisung. Berangkat sekarang aja ya?” ujar Renjun sembari memasang seat belt. Kedua kopernya sudah aman berada di bagasi mobil milik Jisung ini.

“Haechan hyung beneran nggak akan ikut nganter?”

Renjun menggeleng, berusaha tersenyum meski tak menampakkan wajahnya pada lelaki yang lebih muda.

Mobil pun mulai melaju, menjauh dari gedung apartemen. Saat itu barulah Jisung mulai berbicara kembali. “Dia nggak tahu jadwal penerbangan hyung itu hari ini?”

Gumam pelan dari pemuda Aries itu membuat Jisung menoleh sejenak dari kemudinya. Renjun sedang menatap jalanan. Seoul di pagi buta belumlah terlalu ramai, jalanan cukup lengang sehingga perjalanan menuju Incheon dilalui dengan lancar.

Jisung terdiam kembali, tak berani memulai percakapan. Terlihat jelas Renjun yang sedang dilanda kesedihan hanya memperhatikan setiap sudut kota Seoul dari jendela mobil. Entah kapan ia dapat melihat pemandangan ini lagi.

Renjun akhirnya menoleh tatkala Jisung menepikan mobilnya sesaat setelah memasuki area bandara.

“Kalau sudah sampai di sana, nanti nggak bisa ngobrol lagi,” ucap Jisung meski yang lebih tua belum sempat bertanya.

Renjun hanya tersenyum simpul kemudian menggenggam tangan besar milik Jisung. “Makasih ya, udah mau anterin.” Renjun tahu kata-kata itu tak perlu ia katakan karena hanya mendapatkan reaksi Jisung yang memutar bola matanya.

“Aku beneran berterima kasih buat semuanya, Jisung.”

“Padahal kita udah pamitan tadi malam, hyung. Tapi, aku juga mau berterima kasih sama hyung. Buat semuanya. Jangan lupa kabarin kalau sudah sampai di sana. Aku tahu Renjun hyung pasti bakal jadi selebriti kelas S*, tapi jangan lupain aku ya.”

Saat tawa Renjun terdengar, Jisung pun ikut tersenyum. Akhirnya seseorang yang sudah ia anggap keluarganya sendiri itu tak lagi murung karena perpisahan hari ini.

“Mana mungkin? Jangan lupa sampaikan salamku buat semuanya. Dan… tolong jaga dia baik-baik buat aku ya, Jisung.”

Jisung mengangguk mantap. Meski si Aries tidak spesifik menyebut satu nama, namun Jisung paham siapa yang dimaksudnya.

Beruntung bandara internasional Incheon pagi itu tidak terlalu ramai. Ya, memang ramai tapi tidak sampai membludak oleh penggemar. Suasana cukup kondusif, ia melihat beberapa orang membawa banner sebagai bentuk dukungan. Sebagian dari mereka menangis namun Renjun hanya dapat melambaikan tangannya menyapa mereka.

Kilatan cahaya dari kamera-kamera yang sudah biasa ia terima kini membuatnya merasa sedikit emosional. Jisung tak lagi dengannya karena dia hanya membantu Renjun sampai menurunkan kopernya saja. Agar tidak terlalu mengundang perhatian, katanya.

Berdiri sendiri dengan semua perhatian tertuju padanya juga merupakan hal yang biasa, sayangnya hal ini mungkin jadi yang terakhir ia lakukan di Negeri Ginseng ini.

Pada penghormatan terakhirnya, ia membungkuk cukup lama. Tangannya terkepal di sisi, berusaha menahan tangis lagi. Ia akan kembali kembali ke negara asalnya dan meniti karirnya di sana.


Saat Renjun mengudara di ketinggian tiga puluh lima ribu kaki, ia mengeluarkan kamera dari tasnya dan melihat-lihat kembali koleksi foto yang ia ambil beberapa waktu lalu. Hampir kebanyakan berisi wajah Haechan. Bagaimana tidak? Renjun selalu ingin mengabadikan sosok yang membuatnya bahagia itu.

Ekspresi Haechan yang penuh cinta balik menatapnya dari layar tustel dan itu cukup menghadirkan rasa hangat dalam sanubarinya.

Memandang hamparan awan yang terlihat dibalik jendela, Renjun kembali mempertanyakan dirinya sendiri atas keputusan yang diambilnya.

Meninggalkan Haechan dan semua mimpi dan pencapaiannya di Korea bukanlah hal yang mudah. Keputusan itu bukanlah sesuatu yang ia pikirkan hanya satu atau dua malam, tapi bertahun-tahun.

Renjun memutuskan untuk tidak memperpanjang saat kontraknya berakhir di agensi tempatnya bernaung. Namun, tentu saja ia masih bagian dari anggota Dream, hal itu tidak akan pernah bisa lepas darinya. Dan saat ini Renjun bertolak menuju kampung kelahirannya. Merajut kembali mimpi yang belum sempat ia gapai.

Selamat tinggal, Lee Donghyuck. Cintanya, sinar mentarinya, sosok terindah yang akan sulit terlupakan meski waktu terus bergulir, yang akan selalu menetap dalam hati terdalamnya.


*) Selebriti kelas S: kelas tertinggi untuk selebriti di China

Terdiam Renjun di depan pintu kamar yang tertutup. Sesaat tangan terangkat untuk mengetuk, namun urung kala layar gawai yang ia genggam menyala tanda adanya pesan baru. Tangannyaa turun, ia pun berbalik dan menggeret dua koper besarnya sebisa mungkin tanpa membuat kegaduhan.

Sampai di depan pintu apartemen, langkahnya terhenti. Tak sanggup meninggalkan tempat yang beberapa tahun terakhir ini menjadi saksi cinta mereka, tempat mereka berpadu kasih, tempat ternyaman karena di sana lah mereka merasakan dunia hanya milik berdua.

Setetes cairan bening mengalir di pipi Renjun saat ia memejamkan netranya, dadanya ia tepuk berkali-kali hanya untuk menggemakan rasa sakitnya. Isak tangis ditahan karena tak ingin mengganggu kesunyian menjelang pagi.

Setelah memberi dirinya sendiri sedikit waktu berdamai dengan keadaan meski sesungguhnya ia belum sepenuhnya menerima, Renjun pergi meninggalkan apartemen itu. Tidak, tidak hanya itu. Renjun pergi meninggalkan cintanya, kekasih hatinya. Satu nama yang selalu ia sebut dalam pengharapan untuk bisa bersama selamanya, Lee Haechan.

Derai air mata tak terbendung dan tangisnya pecah sesaat ia mengayunkan kakinya memasuki elevator. Rasa sakit ini berkali lipat rasanya dibanding ketika ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan sang kekasih dua minggu lalu, lebih sakit dari ciuman mesra terakhir mereka tadi malam.

Potongan memori demi memori memenuhi bayang-bayang pikirannya. Semua tawa canda, tangis pilu, dan waktu-waktu terindah yang mereka lalui bersama kini hadir dalam khayalnya, membuat isakan tangisnya semakin kencang.

Setiap bisik kata cinta dan untaian puji yang hanya tertuju untuknya terngiang seolah sang belahan jiwa masih di sampingnya. Renjun sudah merindu meski jarak belum terpaut terlalu jauh. Gelap terasa di kehidupannya bukan karena matahari belum tinggi di langit, tapi tak akan ada lagi presensi seorang Lee Haechan di dunianya. Bagaikan bunga matahari yang telah layu, itu adalah dirinya saat ini.

Bunyi elevator tanda dirinya sudah di lantai basement membuyarkan semua kenangan yang terus menari-nari di pikirannya. Ia seka pipi basahnya dengan tangan yang terbalut coat berwarna cokelat. Upayanya menghentikan tangis sesenggukan hanya menghasilkan rintihan tertahan.

Bersusah payah ia menarik dua koper besar itu menuju mobil yang terparkir tak jauh dari situ. Lampu mobil menyorot di kegelapan basement menandakan siap untuk melaju pergi lagi, tak perlu menunggu lama karena di sana hanya untuk menjemput Renjun.

“Sudah siap semua, hyung?”

“Iya, Jisung. Berangkat sekarang aja ya?” ujar Renjun sembari memasang seat belt. Kedua kopernya sudah aman berada di bagasi mobil milik Jisung ini.

“Haechan hyung beneran nggak akan ikut nganter?” Renjun menggeleng, berusaha tersenyum meski tak menampakkan wajahnya pada lelaki yang lebih muda.

Mobil pun mulai melaju, menjauh dari gedung apartemen. Saat itu barulah Jisung mulai berbicara kembali. “Dia nggak tahu jadwal penerbangan hyung itu hari ini?”

Gumam pelan dari pemuda Aries itu membuat Jisung menoleh sejenak dari kemudinya. Renjun sedang menatap jalanan. Seoul di pagi buta belumlah terlalu ramai, jalanan cukup lengang sehingga perjalanan menuju Incheon dilalui dengan lancar.

Jisung terdiam kembali, tak berani memulai percakapan. Terlihat jelas Renjun yang sedang dilanda kesedihan hanya memperhatikan setiap sudut kota Seoul dari jendela mobil. Entah kapan ia dapat melihat pemandangan ini lagi.

Renjun akhirnya menoleh tatkala Jisung menepikan mobilnya sesaat setelah memasuki area bandara.

“Kalau sudah sampai di sana, nanti nggak bisa ngobrol lagi,” ucap Jisung meski yang lebih tua belum sempat bertanya.

Renjun hanya tersenyum simpul kemudian menggenggam tangan besar milik Jisung. “Makasih ya, udah mau anterin.” Renjun tahu kata-kata itu tak perlu ia katakan karena hanya mendapatkan reaksi Jisung yang memutar bola matanya.

“Aku beneran berterima kasih buat semuanya, Jisung.”

“Padahal kita udah pamitan tadi malam, hyung. Tapi, aku juga mau berterima kasih sama hyung. Buat semuanya. Jangan lupa kabarin kalau sudah sampai di sana. Aku tahu Renjun hyung pasti bakal jadi selebriti kelas S*, tapi jangan lupain aku ya.”

Saat tawa Renjun terdengar, Jisung pun ikut tersenyum. Akhirnya seseorang yang sudah ia anggap keluarganya sendiri itu tak lagi murung karena perpisahan hari ini.

“Mana mungkin? Jangan lupa sampaikan salamku buat semuanya. Dan… tolong jaga dia baik-baik buat aku ya, Jisung.”

Jisung mengangguk mantap. Meski si Aries tidak spesifik menyebut satu nama, namun Jisung paham siapa yang dimaksudnya.

Beruntung bandara internasional Incheon pagi itu tidak terlalu ramai. Ya, memang ramai tapi tidak sampai membludak oleh penggemar. Suasana cukup kondusif, ia melihat beberapa orang membawa banner sebagai bentuk dukungan. Sebagian dari mereka menangis namun Renjun hanya dapat melambaikan tangannya menyapa mereka.

Kilatan cahaya dari kamera-kamera yang sudah biasa ia terima kini membuatnya merasa sedikit emosional. Jisung tak lagi dengannya karena dia hanya membantu Renjun sampai menurunkan kopernya saja. Agar tidak terlalu mengundang perhatian, katanya.

Berdiri sendiri dengan semua perhatian tertuju padanya juga merupakan hal yang biasa, sayangnya hal ini mungkin jadi yang terakhir ia lakukan di Negeri Ginseng ini.

Pada penghormatan terakhirnya, ia membungkuk cukup lama. Tangannya terkepal di sisi, berusaha menahan tangis lagi. Ia akan kembali kembali ke negara asalnya dan meniti karirnya di sana.


Saat Renjun mengudara di ketinggian tiga puluh lima ribu kaki, ia mengeluarkan kamera dari tasnya dan melihat-lihat kembali koleksi foto yang ia ambil beberapa waktu lalu. Hampir kebanyakan berisi wajah Haechan. Bagaimana tidak? Renjun selalu ingin mengabadikan sosok yang membuatnya bahagia itu.

Ekspresi Haechan yang penuh cinta balik menatapnya dari layar tustel dan itu cukup menghadirkan rasa hangat dalam sanubarinya.

Memandang hamparan awan yang terlihat dibalik jendela, Renjun kembali mempertanyakan dirinya sendiri atas keputusan yang diambilnya.

Meninggalkan Haechan dan semua mimpi dan pencapaiannya di Korea bukanlah hal yang mudah. Keputusan itu bukanlah sesuatu yang ia pikirkan hanya satu atau dua malam, tapi bertahun-tahun.

Renjun memutuskan untuk tidak memperpanjang saat kontraknya berakhir di agensi tempatnya bernaung. Namun, tentu saja ia masih bagian dari anggota Dream, hal itu tidak akan pernah bisa lepas darinya. Dan saat ini Renjun bertolak menuju kampung kelahirannya. Merajut kembali mimpi yang belum sempat ia gapai.

Selamat tinggal, Lee Donghyuck. Cintanya, sinar mentarinya, sosok terindah yang akan sulit terlupakan meski waktu terus bergulir, yang akan selalu menetap dalam hati terdalamnya.


*) Selebriti kelas S: kelas tertinggi untuk selebriti di China

cw // kissing , slight making out

Sinar temaram dari lampu tidur di nakas samping tempat tidur memberikan penerangan yang cukup untuk Haechan memandangi wajah indah Huang Renjun. Semalaman hanya itu yang ia lakukan, menilik setiap lekuk yang terukir elok di wajah dan raga dari mantan kekasihnya yang saat ini masih berada satu ranjang dengannya. Dalam jarak begitu dekat, keindahan Renjun sungguh paripurna.

Tak kuasa jika ia harus melewatkan kesempatan ini, maka ia menahan kantuk agar tak terlelap barang sedetik pun. Haechan tahu betul Renjun akan meninggalkannya dalam beberapa jam lagi.

Rasa sakit terasa di dadanya jika ia mengingat hal itu. Renjun akan pergi. Renjun takkan lagi berada di sisinya. Sesungguhnya rasa sakit yang kini terus menghunjam hatinya jauh lebih menyakitkan dibanding saat mereka mengakhiri hubungan, kala mereka mengucap kata perpisahan dua minggu yang lalu.

Ketika mulai ada pergerakan dari kelopak mata Renjun, dalam sekejap Haechan memejamkan matanya, berpura-pura tidur.

Tak lama, Haechan merasakan tangan hangat yang mengusap pipinya. Beruntung Haechan mampu mengatur nafasnya sehingga tak terdengar seperti tertahan meski degup jantung terasa tidak karuan. Sampai saat ini, setelah bertahun-tahun pun Huang Renjun masih mampu memberinya efek seperti itu.

Untaian kalimat dalam bahasa yang asing bagi Haechan membuatnya ingin mengerutkan dahi tanda tak mengerti. Memang seperti itu kebiasaan Renjun, mengungkapkan cinta dalam bahasa Mandarin. Terbayang dalam khayalnya bagaimana ekspresi Renjun saat ini. Padahal si pemuda Aries itu hanya terpaut jarak beberapa inci darinya. Ia ingin menatap kedua manik itu, namun ia tetap bertahan untuk pura-pura tertidur.

Di antara kalimat panjang yang ia utarakan, Haechan menangkap kata “pergi” dan “rumah”, sayang ia tidak mampu menyambungkan dan memahami maknanya. Di akhir kalimat barulah Renjun mengatakan sesuatu dalam bahasa yang ia mengerti. Tidak ada kata perpisahan, hanya ada deklarasi cintanya.

“Saranghae, Lee Donghyuck. Yeongwonhi. Wǒ yǒngyuǎn ài nǐ.”

(Aku cinta kamu, Lee Donghyuck. Selamanya. Aku cinta kamu selamanya.)

Tangan Haechan terkepal, mengerahkan seluruh emosinya agar dirinya tetap bisa menahan diri. Satu kecupan singkat di dahi, lalu jeda beberapa detik sebelum Haechan merasakan kecupan yang lebih lama di bibirnya. Betapa Haechan ingin membalas kecupan itu, menyalurkan segenap perasaannya melalui peraduan bibir mereka seperti yang ia lakukan tadi malam.

Kala kehangatan di atas ranjang mulai tak dapat ia rasakan, Haechan tahu Renjun mulai bersiap untuk pergi. Suara pintu yang ditutup dengan begitu perlahan akhirnya mematahkan pertahanan Haechan. Air mata pun lolos dan mengaliri pipinya, dengan lekas membasahi bantalnya. Masih menahan isakannya karena ia tahu Renjun masih dalam apartemen yang sama, Haechan kini hanya meringkuk di atas ranjang yang selama ini menjadi saksi kehangatan cinta mereka. Semua takkan lagi sama.

Masih menahan suara tangisnya dengan kepalan tangan yang semakin erat, Haechan mendengar suara pintu apartemen yang kembali tertutup. Pergi sudah sang kekasih hati, belahan jiwanya kini meninggalkannya.

Semakin pecah tangisnya kini, tak sanggup lagi menahan sedu sedan. Dirinya terjatuh amat dalam ke jurang nestapa. Ia merasa hampa, meski rasa sakit kerap menggerogoti hatinya, menusuk sukmanya. Baru saja Renjun bertolak, namun Haechan sudah merasa kehilangan arah. Ia berteriak putus asa.

Haechan tahu betul mengenai keputusan Renjun untuk tidak memperpanjang kontraknya. Beberapa tahun belakangan ini mereka berdiskusi mengenai hal itu, jadi bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Haechan sudah menyiapkan hatinya. Haechan pernah mengatakan bahwa dirinya siap melepaskan si pemuda Maret jika kekasihnya itu ingin terbang lebih tinggi, menggapai mimpi-mimpinya yang lain.

Bukan berarti selama ini Haechan menahannya, hanya saja kali ini Renjun memiliki hak penuh atas karirnya ke depan, maka sang Gemini tak ingin menjadi penghalang. Seperti itulah bentuk dukungan mereka untuk satu sama lain.

Tentang kepergian Renjun pun, ia sudah tahu kapan akan terjadi, termasuk jadwal penerbangan yang seharusnya masih tiga hari dari sekarang. Sayangnya, Haechan begitu mengenal Huang Renjun, mengobservasi gerak-geriknya yang sedikit berbeda akhir-akhir ini.

Haechan dapat menyimpulkan kalau Renjun sudah mengganti jadwal terbangnya. Apalagi setelah tadi malam, ia seperti berpamitan dengan semua teman mereka. Renjun mengatakan hanya ingin menghabiskan waktu di apartemen yang biasa mereka tinggali berdua saja, namun dengan dua koper besar yang sudah siap, Haechan tahu Renjun akan pergi hari ini. Pun Haechan tahu alasan Renjun yang tak memberitahukan mengenai kepergiannya. Semua itu untuk kebaikan mereka berdua.


Malam itu Haechan dan Renjun terlihat biasa, layaknya sepasang kekasih sedang memadu kasih dan berbahagia karena eksistensi satu sama lain meski sudah tak lagi ada status di antara mereka.

Di atas sofa nyaman pilihan Renjun beberapa tahun lalu, mereka saling merangkul, saling mendekap, tak pernah ingin saling berjauhan.

Tayangan televisi kini terabaikan karena mereka hanya bisa fokus pada satu sama lain, saling mencumbu menyalurkan rindu meski raga masih menemani, mengalirkan setiap rasa yang membuncah dalam setiap pagutan lembut yang tak terburu-buru seolah mereka memiliki seluruh waktu di dunia.

Ciuman mesra menjadi semakin panas tatkala mereka berpindah ke atas ranjang. Tanpa kata, mereka menyampaikan setiap bahasa kasih melalui sentuhan lembut nan sensual. Perlahan namun penuh arti. Untuk semua rasa yang tergugah semoga dapat tersampaikan dengan utuh, dan segala kenangan yang pernah dilalui bersama selalu terpatri dalam hati.

Hasrat untuk menjamah lelaki dalam rengkuhannya mungkin memang tinggi, namun yang Haechan inginkan hanyalah agar si pemilik marga Huang itu tak pernah melupakan bahwa cintanya akan tetap abadi. Bibirnya menelusuri raga lelaki Tiongkok itu dengan tempo yang amat lambat, tak lupa rangkaian puji dan apresiasi untuk sang terkasih tak henti-hentinya ia lafalkan.

“Mau?” tanya Renjun tanpa konteks, diikuti dengan kekehan pelan karena bibir Haechan menyentuh daerah sensitif di perutnya.

“Kamu mau?” Haechan balik bertanya karena baginya saat ini semua hanya tentang Huang Renjun.

“Terserah,” jawabnya singkat dan jujur.

“Nanti kamu kelelahan. Besok aja, ya?” Berusaha menahan agar vokalnya tidak terdengar gemetar, Haechan menutupnya dengan senyuman.

Sudut bibir Renjun naik sedikit, senyum getir itu nampak meski satu detik saja sebelum matanya membentuk bulan sabit dengan senyuman yang lebih lebar. “Oke, besok ya.”

Sesungguhnya kedua insan itu paham tak akan pernah ada lagi esok untuk mereka. Meski begitu, Renjun kembali meraih kedua pipi si Gemini dan melanjutkan kembali lumatan di bibir yang sempat tertunda. Bukan hanya nafsu yang tercurahkan, tetapi afeksi dan segenap harapan untuk terus bersama.

Keduanya saling melepaskan ciuman, dan dengan kedua dahi yang masih menempel mereka mencoba mengatur nafas yang mulai habis.

“Kamu tahu, 'kan?” tanya pemuda Huang —lagi-lagi tanpa konteks— diiringi tawa rendah, pertanyaan itu seolah merupakan candaan.

Apakah ini tentang rasa yang ingin disampaikan? Ataukah tentang kepergiannya?

“Iya, aku tahu.” Akhirnya itu yang menjadi jawabannya karena memang betul Haechan tahu tentang keduanya. Mereka berdua masih saling mencinta, berat untuk berpisah, tapi sama-sama memahami keadaannya. Haechan juga tahu tentang jadwal penerbangan yang sudah dipercepat.

Berciuman dengan Renjun selalu adiktif dan Haechan tak pernah ingin berhenti. Tetapi ia tahu saat akhirnya kantuk melanda sang pujaan hati, pemuda Juni itu merapalkan ucapan selamat tidur pada lelaki dalam rengkuhannya.

“Mimpi indah, Huang Renjun.” Bisikannya di telinga lelaki Huang dengan sukses membawanya ke alam mimpi.

Tinggallah Haechan dengan waktunya yang terbatas untuk mengagumi paras elok yang memukau yang kini masih ada dalam peluknya.

Berkali-kali ia mengucap asa dalam hati agar sang fajar tak segera datang untuk memisahkan mereka. Namun ia hanyalah insan yang tak berdaya melawan aturan Semesta.

Haechan mendapati Renjun yang cemberut saat baru saja memasuki mobilnya.

“Cil,” panggil Haechan. Namun belum juga Haechan meneruskan obrolannya, sudah disela oleh Renjun.

“Jangan ngomongin yang tadi. Udah diem aja.”

“Iya, Cil. Oh ya, kalau misal lo nggak mau antar gue hari ini ya nggak apa-apa. Nanti gue telepon agennya minta reschedule.”

“Bisa kok. Tapi….”

“Apa? Mau apa? Bilang aja sama gue.”

“Traktir hotpot ya nanti.”

Haechan selalu tersenyum saat Renjun meminta hal-hal kecil seperti itu. Tentu saja ia senang mengabulkan apapun permintaan Renjun. Mulai dari hal kecil sampai hal yang menurut Haechan aneh, seperti minggu lalu saat Renjun mengajaknya ke kafe kucing.

“Iya, apapun yang lo mau deh.”

“Ada yang aku mau.”

“Apa?”

“Hahaha nggak deh, susah kayaknya.”

“Ya udah, kita berangkat sekarang ya?”

“Okay.”

Renjun memandang Haechan sejenak sebelum ia melihat ke arah jendela. Haechan mengenakan kaos putih dengan jaket kulit hitam, lalu tak lupa black ripped jeans-nya. Renjun menghembuskan nafas.

Sial, kenapa Haechan harus ganteng sih? Jadi semakin susah buat untuk move on, 'kan.

Setelah mereka bertemu dengan agen properti yang sebelumnya sudah berkomunikasi dengan Haechan, agen itu mengantarkannya ke daerah apartemen tak jauh dari lokasi kantornya.

Ada dua unit apartemen yang akan mereka lihat. Kedua unit tersebut di kawasan yang sama, namun berada di tower yang berbeda.

Saat memasuki unit pertama, Renjun disuguhkan interior yang menarik dengan furnitur didominasi warna hitam dan putih. Haechan banget, kalau kata Renjun.

Apartemennya memang tidak terlalu besar tapi jelas cukup untuk Haechan dan pendampingnya, jika ia memilikinya di kemudian hari.

“Gimana? Bagus nggak?” tanya Haechan saat Renjun melongok ke arah dapur.

Renjun mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya. Sepertinya mood-nya sudah kembali baik. “Bagus, kok. Nyaman kayaknya. Udah fully furnished kan ya? Jadi nggak usah ribet lagi.”

“Sudah, Pak. Semua juga sudah dicek. Untuk air juga bersih dan hampir tidak pernah ada masalah.” Kali ini malah agennya yang menjawab. Renjun tersenyum sopan karena sebetulnya kan bukan dia customer si bapak agen ini.

“Ada yang mau diganti nggak?”

Langkah Renjun yang sedang berjalan menuju salah satu kamar tidur kini terhenti.

“Kenapa nanya aku?”

“Nggak, aku cuma minta saran aja.”

“Nggak ada sih. Ini udah kamu banget kayaknya apartemennya.”

“Tau banget selera gue kayaknya?”

Renjun merotasikan bola matanya. “Hampir setengah hidup aku, aku kenal kamu, Chan.”

Kekehan Haechan terhenti saat bapak agen mendatangi mereka.

“Jadi lihat unit yang satu lagi, Pak?”

Haechan mengangguk. “Ayo, Pak. Di tower sebelah, 'kan?”

“Betul, Pak.”

Agen tersebut akhirnya mengarahkan mereka menuju unit yang kedua.

Menurut informasi yang Renjun dapat dari sang agen, layout dari apartemennya kurang lebih sama seperti unit barusan. Yang berbeda adalah unit kedua ini hanya semi furnished. Harganya memang sedikit lebih murah, tetapi belum selengkap unit tadi.

Yang membuat Renjun sedikit terkejut adalah ketika ia memasuki apartemen itu, furniturnya tidak monokrom, tetapi lebih ke warm earthy tone dengan warna-warna seperti beige, khaki, dan broken white.

Di depan sofa berwarna broken white, perlahan Renjun memberanikan diri menatap lelaki yang kini sedang mengedarkan pandangannya ke seluruh area ruang tamu.

“Chan, ini….”

“Suka nggak?” Kini pandangannya hanya terkunci pada Renjun saja.

“Suka, tapi—”

“Lihat dapurnya, yuk.”

Renjun mengatupkan kembali bibirnya. Mengurungkan untuk mengatakan apapun yang ada dalam pikirannya.

Saat di area dapur, bapak agen meminta izin untuk mengangkat telepon, jadinya hanya ada Haechan dan Renjun di area dapur.

“Kamu suka dapurnya?”

Renjun yang tadinya sedang mengitari kitchen island jadi berhenti. Saat ini dadanya terasa sesak. Sudah tidak sanggup lagi jika ia harus membayangkan Haechan akan tinggal di tempat ini bersama orang yang dicintainya. Interiornya terlihat “sangat Renjun”. Seharusnya Haechan tahu.

“Kenapa?” Suaranya sedikit bergetar karena menahan tangis.

Haechan berjalan ke arah Renjun dengan kedua tangan di saku celananya. Ia kini bersandar di kitchen island dengan terus menatap Renjun dengan senyuman yang sedari tadi terus menghiasi wajah tampannya.

“Nih.”

Dengan santainya Haechan menyerahkan satu kotak kecil berwarna merah pada Renjun.

“A-apa ini?” Saat menerima kotak itu, Renjun tahu itu pasti berisi perhiasan melihat tulisan Cartier berwarna emas di kotak kecil itu. Tapi, apa yang dimaksud Haechan dengan kotak itu?

“Buka dong.”

Sebelum berani membukanya, pikiran Renjun berkecamuk memikirkan banyak skenario pahit dalam satu waktu. Apakah Haechan meminta saran lagi padanya sebelum memberikan apapun itu yang berada dalam kotak ini pada orang lain?

Perlahan Renjun membuka kotak tersebut, lalu nampaklah sebuah cincin. Renjun merasa familiar dengan cincin tersebut.

Cartier Love Ring sederhana berwarna emas. Renjun ingat dulu saat berjalan-jalan dengan Haechan mereka mengunjungi toko perhiasan tersebut dan Renjun menunjuk cincin itu yang menjadi kesukaannya. Itu terjadi bahkan sebelum Renjun bertemu kembali dengan Mark.

“Ini–”

“Aku beli pas hari itu juga sebenarnya. Tapi aku belum berani kasih ke kamu, ternyata, hahaha, kamu keburu sama Mark.”

“Buat aku?” Renjun menatap Haechan dengan air mata yang menggenang hampir turun membasahi pipinya.

“Mau nggak?”

Setetes air mata akhirnya lolos dan langsung diusap oleh tangan besar Haechan.

“Apa?” Renjun menunduk, jadi merasa salah tingkah karena tangan Haechan tak lepas dari pipinya.

“Nikah sama aku.”

Renjun langsung mendongakkan kepalanya, menilik jika ada candaan dari kalimat yang tadi diucapkan lelaki Gemini itu. Haechan kini menggenggam kedua tangannya.

“Aku tau, kamu mau dilamar dengan romantis di Walking On The Cloud. Lengkap dengan fancy dinner dan bunga cantik. Tapi semua sudah keduluan. Aku cuma bisa lamar kamu di sini. Ini benar-benar nggak sempurna. Cuma di tengah dapur apartemen yang aku pilih buat kita tinggal nanti, yang bahkan DP nya belum aku bayar. Kitchen island marmer yang kamu dulu impikan juga belum sempat aku request sama agennya.

Renjun, it's not perfect, I'm also not perfect if I'm not with you. Aku nggak mau nanya pakai pertanyaan yang paling mainstream. Aku mau minta kamu buat jadi pendamping aku, hidup bersama aku, berjuang bersama aku, dan menua bersama aku. Mau nggak?”

Berkali-kali Renjun menyeka air mata yang terus turun. Senyumnya terkembang manis di wajahnya.

“Mau! Mau banget!”

Haechan sedikit terdorong ke belakang ketika kedua lengan Renjun melingkari lehernya, memeluknya erat.

“Udah, jangan nangis lagi. Aku juga nggak bisa move on dari kamu selama ini.”

Pelukan singkat mereka berakhir karena bapak agen yang kembali memasuki area dapur.

“Pak, saya jadi ambil dan mau bayar DP hari ini ya. Tapi nanti saya mau ganti kitchen island jadi pakai marmer, dan sofanya mau diganti warnanya soalnya calon suami saya nggak suka warna itu.”

“Oh, boleh Pak. Nanti saya uruskan.”

Setelah urusan apartemen itu selesai, Haechan membawa Renjun makan di restoran hotpot kesukaannya. Belum pernah Renjun merasa selega dan sebahagia ini. Akhirnya cintanya berlabuh pada orang yang tepat, yang selama ini selalu ada untuknya.

“Enggak, aku nggak berhalusinasi, emang beneran ada loh kemarin.”

Mereka kini keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan. Di sana ada Jaemin yang sedang memasak dan Jisung yang duduk di kursi makan dengan mata setengah tertutup.

“Ingat nggak waktu aku kirim foto selca di mobil yang malem? Nah itu aku kirim ke Gochujang juga sebelum ke kamu kan, soalnya–”

“Kamu kirim itu ke Gochujang? Duluan??”

Suara gebrakan di meja membuat mata Jisung terbuka lebih lebar.

“Apa sih? Gochujang apaan?” tanya Jaemin, sedikit membalikkan tubuhnya agar bisa mendengarkan pembicaraan Haechan dan Renjun lebih jelas.

Haechandeul,” jawab Renjun singkat.

“Kalian nggak sadar kemarin di sini ada gue? Lima orang yang bentukannya sama kayak gue, di dorm ini, dan kalian nggak lihat?”

“Siapa?” Jeno yang baru keluar dari kamar mandi bergabung dengan mereka, ia duduk di samping Jisung. Di depannya ada Haechan dan Renjun.

“Hmm kemarin tuh emang kayak ada yang aneh sih, tapi gue nggak lihat ada lo di sini. Jangankan lima, satu aja nggak lihat,” sahut Jisung sebelum meminum susunya.

“Kok ada lima?” Jeno terlihat heran.

Jaemin malah cekikikan sambil memasak. “Ohh, karena ada lima jadinya Haechandeul? Gochujang? Hahahaha oke juga.”

The real Haechan bahkan nggak masuk circle Gochujang.” Haechan menyipitkan matanya saat menatap pacarnya dari samping.

“Yaaang, kan aku udah bilang, aku nggak mau nanti kamu jadi nggak bisa fokus sama kerjaan kamu gara-gara grup itu. Udah dong.” Renjun mengguncang pelan badan Haechan.

“Iya, iyaa. Eh, tapi kalian beneran nggak ada yang ketemu salah satu dari mereka?”

“Oh, semalem gue ketemu lo waktu ke toilet. Lagi nyuci piring, terus dia kayak nyebut apa ya? Bulan? Nggak tahu deh tuh maksudnya apa, gue lagi ngantuk jadi ya udah gue balik ke kamar.”

Jawaban Jeno langsung membuat Renjun berteriak senang. “Nah kan! Aku nggak halu, Yang.”

“Terus gimana? Beda nggak sama gue?”

“Yaa sama aja sih, gue lihatnya sekilas doang soalnya.”

“Jadi pengen ketemu Jisung Jisung lainnya.” Jisung menyahut sambil menopangkan dagu di tangannya.

Jaemin kini bergabung duduk dengan yang lainnya setelah menaruh masakan di meja. “Gue sih ya mikirnya, kalau Renjun ketemu lima Haechan palingan pusing.” Pernyataan tersebut mendapatkan anggukan dari Renjun. “Yang gue penasaran, kalau si Haechan ketemu lima Renjun, kuat nggak tuh dia?”

Haechan menghela nafas lalu ia menempelkan kedua tangannya, menautkan jari-jarinya, dan menatap ke atas seperti sedang berdoa.

“Semesta, tolong jangan biarkan gue ketemu lima Renjun ya. Satu aja cukup, beneran.”

Doa Haechan diikuti suara tawa dari teman-temannya. Renjun menggenggam tangan Haechan dan mengelusnya lembut.

“Kamu nggak boleh ketemu yang lain, kamu cuma punya aku aja.”

Haechan pun tersenyum. “Iya, Renjun sayang, aku cuma punya kamu.”

—end.

by tee.

Saat kesadaran Renjun mulai terkumpul pagi itu, ia tersenyum meski matanya belum terbuka. Rasanya nyaman. Tempat tidurnya yang empuk, selimutnya yang lembut, belum lagi samar-samar wangi dari lilin aromaterapi kesukaannya. Oh, satu lagi. Kehangatan dari tubuh seseorang yang tangannya kini terasa berat di pinggangnya.

Tunggu. Bukannya terakhir kali ia tertidur di sofa dengan selimut cadangannya? Jangankan wangi lilin aromaterapi, ia tidur dengan wangi ramyeon yang menyeruak dari arah dapur.

Tangan. Tangan siapa itu?

Bukannya membuka mata, Renjun malah semakin memejamkan matanya. Terakhir ia terbangun dengan Bumi di kasurnya. Sebentar, ia mencium wangi citrus yang familiar dari lelaki —ya, Renjun meyakini ia sedang tidur bersama seorang lelaki lain di kasurnya— di depannya. Citrus?

“Selamat pagi, manisku. Aku masih ngantuk, mau tidur lagi sebentar ya.”

Mata Renjun kini terbuka sempurna, terbelalak menatap lelaki yang memang ia kenali wajahnya. Tetapi, siapa? Yang mana?

Renjun buru-buru menjauh sampai tepi ranjang, melepaskan pelukan longgar di pinggangnya.

“Siapa?”

Lelaki yang tadinya sudah menutup matanya kini menatapnya keheranan.

“Kamu siapa? Sebentar, kok aku di sini?” tanya Renjun, ia memandangi sekeliling kamarnya dengan heran.

“Sayang, kamu kenapa?”

“Haechan?”

“Iya, ini aku,” ujarnya setelah menghembuskan nafasnya. “Kamu kenapa, sih? Kok kayak disoriented gitu?”

Dengan cepat kepalanya menoleh ke belakang, mengecek bunk bed bagian atas dan bawah.

“Loh? Loh? Pada ke mana?”

Haechan kini terduduk juga, ya kalau begini keadaannya, ia juga jadi tidak mengantuk lagi. “Kamu jawab pertanyaan aku dulu, Sayang.”

“Oke, tapi. Aku nanya dulu. Kamu kenapa di sini? Dan aku kenapa di sini? Aku semalam tidur di sofa, 'kan?”

Haechan mengucek kedua matanya sebelum ia kembali fokus menatap kekasihnya. “Iya, selesai latihan aku ke sini, aku sampai kira-kira jam 2 pagi, lebih deh kayaknya, dan lihat kamu tidur di sofa. Aku nggak tega lah, jadi aku pindahkan kamu ke sini. Udah ngerti, sekarang?”

Anggukan Renjun sangat pelan karena ia seperti butuh waktu untuk mengolah informasi dari Haechan.

“Terus yang lain ke mana?”

“Yang lain siapa? Jeno Jaemin Jisung? Di kamar masing-masing, lah.”

“Bukan, bukan. Kamu, Haechan-Haechan yang lain di mana?”

“Kamu ngomong apa sih, Jun? Ini kamu yang nggak jelas atau karena memang karena masih pagi jadi aku belum paham?”

“Bumi, Harzan, Mahesa, sama Donghyuck.”

“Lee Donghyuck ada di depan kamu, Yang.” Haechan tersenyum saat tangannya menangkup kedua pipi Renjun. “Dan siapa aja itu? Aku belum pernah dengar nama mereka.”

Renjun menarik nafas sebelum memulai ceritanya. Ia membetulkan posisinya, mencari yang nyaman sambil duduk berhadapan dengan pacarnya.

“Oh sebentar, ini hari Senin?”

“Selasa, Yang. Senin itu kemarin yang akunya sibuk, terus aku juga kirim foto ke kamu waktu latihan.”

“Oke, berarti apa yang aku lalui kemarin itu nyata, ya.” Renjun bergumam pada dirinya sendiri.

“Renjun?” tanya Haechan pelan seolah tidak ingin memburu Renjun untuk langsung bercerita.

“Jadi kemarin… aduh, gimana mulai ceritanya, ya? Kamu jangan marah, okay? Aku jujur nggak tahu gimana bisa sampai kejadian kayak gini, beneran.”

Melihat tatapan memelas Renjun, Haechan jadi tersenyum. Memang dari kemarin ia merasa ada yang aneh dengan Renjun, tapi mereka belum ada waktu untuk ngobrol bersama, jadinya ya kali ini ia akan dengarkan semua cerita Renjun.

“Iya, aku nggak akan marah.”

“Tapi awalnya udah nggak enak banget loh.”

“Iya, sayang. Mulai aja ceritanya, aku dengerin.”

Renjun menarik nafas dalam sebelum menghembuskannya perlahan. “Okay, kemarin aku kebangun, dan keadaannya mirip gini. Aku bangun di sini sama orang lain di samping aku, aku kira itu kamu kan, tapi pas aku perhatikan, bukan kamu. Maaf, tapi aku juga nggak tahu gimana dia bisa berakhir di tempat tidur aku. Terus pas aku ke kamar mandi, aku nemu orang berwajah yang sama kayak kamu. Di dapur aku nemu satu lagi, ke ruang tengah juga ada satu masih tidur di sofa. Pas semua kumpul, satu baru keluar dari kamar aku lagi. Jadi total ada lima orang—”

“Tunggu, maksud kamu ada lima orang yang wajahnya sama kayak aku? Orangnya nyata? Waktu itu bukannya nggak ada orangnya dalam bentuk fisik, ya?”

“Nyataaa, Chan. Dan iya, kasusnya beda sama yang dulu itu. Mereka semua di sini, tiba-tiba aja gitu, out of nowhere, cling! muncul aja.”

“Jadi mereka adalah aku dari semesta yang lain?”

“Iya! Inget Injun, 'kan? Nah, Donghyuck-nya juga ada. Ada dua Donghyuck kemarin. Tapi yang lain namanya beda. Ada Bumi, Harzan, dan Mahesa.”

“Dan semuanya….”

“Iya, semuanya mirip kamu. Literally, secara fisik itu kamu tapi ya beda-beda dikit. Personality-nya beda-beda sih. Setiap orang tuh kayak ada uniknya, tapi ya ada kamunya.”

Lagi-lagi Haechan menangkup kedua pipi Renjun, mengarahkan wajah indah itu agar menatap hanya pada dirinya.

“Jawab aku, di antara semuanya, apa kamu suka salah satu dari mereka? Atau semuanya?”

Saat mata Renjun tak lagi fokus padanya dan malah melirik ke arah samping, tangan Haechan pun menurunkan tangannya.

Cepat-cepat Renjun meraih kedua tangan itu, digenggamnya erat dan diusap lembut punggung tangan Haechan dengan ibu jarinya.

“Cuma kamu. Aku cuma mau kamu, Chan.”

“Kamu sempat ragu, 'kan?”

Renjun menunduk, raut mukanya terlihat sendu. “Bukan. Aku nggak mau yang lain. Aku cuma… aku….”

Renjun menyeka setetes air mata sebelum mengalir di pipinya. Ia memaksakan tawanya, seperti sedang menertawai kebodohan dirinya sendiri.

“Tau nggak, sih? Mereka semua udah punya Renjun-nya, loh. Lucu, ya?”

Sepasang tangan besar yang tadi lolos dari genggamannya kini melingkar di bahunya.

“Masih mikirin yang itu?”

“Hmm nggak?”

Haechan dapat merasakan keraguan saat mendengar kata-kata Renjun meski sedikit teredam karena bibir Renjun tepat berada di pundak Haechan.

“Sayang.”

“Aku iri sedikit boleh nggak sih?”

“Banyak juga boleh.” Haechan mengusap punggung pacarnya.

“Mereka beruntung, ya?”

“Renjun, aku yakin mereka punya rintangan masing-masing, mereka punya masalah yang harus dihadapi juga. Daripada iri, mending kita bersyukur aja. Renjun selalu bersama Haechan di manapun, mereka bisa bersama juga. Mereka sudah mengukir cerita yang indah untuk Renjun dan Haechan. Jika Renjun dan Haechan tidak direstui di semesta ini, setidaknya kita tahu, di semesta yang lain, mereka diterima, didukung, dan direstui.”

Punggung Renjun bergetar saat isakan tangisnya mulai terdengar, Haechan pun memeluknya lebih erat.

“Jangan menyalahkan takdir kita ya, Renjun. Kamu tahu, aku bakal perjuangin kamu juga.”

Renjun mengangguk, tangannya terkepal di pinggang Haechan dan air matanya membasahi kaus hitamnya.

“Tapi itu beneran terjadi? Aku nggak lihat siapa-siapa waktu masuk kamar kamu, dan kamar kamu juga kelihatannya rapi.”

“Beneran, Chan. Aku bahkan bikin grupnya.” Renjun beranjak dari tempat tidurnya dan mencari ponselnya di atas meja. “Tau nggak? Aku kasih nama Gochujang. Soalnya Haechandeul, Haechan-nya banyak hahaha– eh, handphone aku ke mana ya?”

“Di atas lemari ada nggak? Aku kemarin kayaknya lupa pas ambil dari ruang tengah terus aku simpan di situ pas lagi nyalain lilin aromaterapi.”

“Oh, ada ada. Nih ya, mereka tuh lucu deh. Beda-beda, gitu. Oh ya, aku kasih spoiler, kamu semakin tua semakin ganteng kayaknya hehehe. Eh, loh kok? Hilang?”

Reksa dan Rana akhirnya memilih makan di McD yang tak jauh dari kampus mereka. Sebetulnya sepanjang jalan Rana hanya terdiam, masih mencerna informasi. Reksa ini pacar sewaan seperti apa? Benarkah virtual seperti yang pernah diceritakan Nata ataukah benar-benar menyewa secara fisik?

Tak jarang Rana mencuri pandang ke arah Reksa yang hanya diam saat menyetir.

Dan kini setelah makanan pesanan mereka sudah ada di atas meja, mereka masih belum juga bertukar kata.

“Kenapa? ...sayang?”

Rana yang masih merasa belum terbiasa dengan panggilan itu langsung menatap lelaki di depannya.

“Uh, Reksa? Bisa nggak, nggak usah panggil kayak gitu?”

“Rana nggak nyaman ya?”

Melihat Rana yang mengangguk ragu, Reksa pun tersenyum. “Ya udah, Reksa manggilnya Rana aja.”

Bukannya mulai makan, Rana malah menatap kosong makanan yang tersaji di depannya. Berkali-kali ia mempertanyakan mengapa saat ini jantungnya berdetak lebih kencang, dan rasanya ia gugup sekali. Apa mungkin karena berkenalan dengan orang baru ya?

“Rana nggak makan?”

Pertanyaan itu sukses membuyarkan pertanyaan-pertanyaan yang tadi mampir di pikiran Rana. Ia hanya membalas dengan senyum lemah.

“Iya, ini mau,” sahutnya sambil mengambil satu kentang goreng.


“Reksa.”

Reksa yang tadi sedang mengelap tangan dengan tisu, kini langsung memberikan Rana fokus sepenuhnya.

“Iya, Rana?”

“Maaf ya, Reksa. Kayaknya aku tuh masih belum paham. Mungkin kita tuh juga perlu konfirmasi. Boyfriend rent yang kamu maksud itu gimana, sih?”

“Emangnya gimana maksudnya, Rana? Kayak di Jepang gitu, 'kan? Jadi pacar yang temenin kencan gitu?”

“Reksa. Jujur aja, aku kira ini tuh virtual.”

“Hah? Maksudnya?”

“Ya, kata Nata, boyfriend rent yang lagi jadi trend itu tuh cuma kasih afeksi via virtual. Jadi nggak ketemu sama sekali. Terus mereka biasanya ya anonymous gitu, kadang pakai foto artis atau idol buat face claim. Aku nggak tahu, ternyata ada yang betulan juga, ya?”

“Oh, hahaha. Iya, Rana.”

Kalau Rana perhatikan sih ya, Reksa kelihatan gugup dan seperti kurang fokus. Rana masih menatapnya penuh tanya. Ya, karena Rana belum dapat jawabannya. Ini dirinya menyewa pacar seperti apa sebenarnya?

Sebuah panggilan telepon yang langsung terputus diikuti beberapa kali bunyi notifikasi dari ponsel Reksa semakin membuat lelaki itu hilang fokus.

“Tunggu, ya.”

Setelah membalas pesan, Reksa kembali mengantongi ponselnya.

“Rana maunya pacar seperti apa emang?”

Pertanyaan dibalikkan padanya seperti itu membuat Rana kebingungan. Pertama, ia tidak tahu apa yang ia inginkan. Yang kedua, kenapa semua jadi seperti tergantung Rana begini ya?

“Rana pikirin dulu aja. Reksa bisa jadi apapun yang Rana butuhkan. Tapi untuk sekarang sampai sini dulu aja, okay? Rana sekarang mau pulang atau ke mana? Biar Reksa antarkan.”

“P-pulang aja kalau gitu.”

“Okay, ayo, Reksa antar ya.”