Fourth
“Siapa lagi??” Nada suara Renjun meninggi. Apa tidak cukup ia bertemu tiga lelaki asing (tapi tidak asing?) di dorm-nya? Tolong, ini masih pagi.
Suara Renjun tampaknya membangunkan lelaki yang sedang tertidur telungkup di sofa.
“Hira?” Suara serak bangun tidurnya memang khas. Tapi Renjun tahu, itu bukan Lee Haechan, bukan Haechan-nya.
“Bangun dulu. Gue bukan Hira.” Renjun sudah lelah meski ini masih pagi, tak peduli jika ia terdengar tidak ramah.
Pemuda itu terduduk. Kalau dilihat dari perawakannya, kurang lebih mirip dengan si Bumi, yang pertama ia temui. Mungkin masih seumur.
Kemudian ia memicingkan matanya, lalu kepalanya sedikit miring. Sadar sepertinya bahwa Renjun bukanlah Hira yang ia maksud.
Matanya terbelalak melihat dua lelaki di sisi kiri dan kanannya. Ya, semua orang juga pasti kaget sih, kalau melihat orang yang mirip sekali dengan dirinya.
Jarinya menunjuk kedua orang itu, ke kiri, lalu ke kanan, dilakukannya berulang kali tanpa mengucap kata sepatah pun. Bukannya membantu, kedua lelaki itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda bahwa mereka pun tak paham.
“Siapa nama lo?”
“Hesa. Mahesa. Lo bukan–?”
“Bukan. Nama gue Renjun. Huang Renjun.”
“Huang siapa tadi?”
Suara dari arah belakang Renjun membuat semua orang menoleh. Renjun hanya mengisyaratkan dengan kepalanya agar lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi untuk bergabung dengan mereka di ruang tengah.
“Renjun. Bukan River. Ayo sini.”
“Waduh. Gusti, kenapa begini? Kok pada miripan urang ini?”
“Iya, ayo duduk dulu. Nama lo siapa?”
“Harzan.”
“Oke, Tarzan, duduk dulu.”
“HARZAN. Harzan Mirza.”