First
Tentu saja Renjun tak pernah terpikirkan hal aneh saat pertanyaan itu terlontar padanya. Hal itu sudah biasa, jawaban pun diberikan sekenanya saja. Namun, jika ternyata hal itu menjadi nyata, siapa yang sangka?
Pagi itu Renjun terbangun, memang kebetulan ia tidur tidak terlalu malam sehingga ketika pagi badannya tidak merasa terlalu lelah. Matanya masih agak menolak untuk terbuka kalau saja ia tidak merasakan seseorang ada dalam lingkup personalnya.
Wajah familiar menyambutnya. Bukan hal yang tidak biasa, bahkan sebelum memiliki hubungan spesial pun, melihat wajahnya di pagi hari saat terbangun itu kerap terjadi. Namun kini yang berbeda adalah ekspresinya.
Renjun mengerjapkan matanya, berusaha menghilangkan rasa kantuk untuk lebih memahami ekspresi lelaki yang tidur di sampingnya.
Terkejut, kaget, itu yang Renjun tangkap. Matanya sedikit membesar dan tetap terdiam seolah tak mampu berkata-kata.
“Chan?” panggilnya, suaranya sedikit serak. Oh ya, mungkin efek latihan menyanyi tadi malam.
Belum saja Renjun bertanya mengapa lelaki yang seharusnya tidak tinggal dengannya kini berada di sini, satu jari perlahan mendekat ke wajahnya.
Tuk. Jari telunjuk itu menekan lembut pipi kenyal Renjun.
“Langit?” suaranya, suaranya sama. Tapi, apa ya, yang berbeda? Memang kalau dilihat lebih jeli, lelaki yang baru saja berbicara sepatah kata itu memang sedikit berbeda.
“Hah?”
“Kok gue sekasur sama lo? Kapan? Emang lo nginep–”
“Tunggu, tunggu.”
Renjun terduduk dari tidurnya. Ia melihat sekelilingnya lalu menghembuskan nafas lega. Setidaknya kini ia masih terbangun di kamarnya. Tapi, lelaki ini–? Bukan Haechan?
“Siapa nama lo?”
Laki-laki itu keheranan. Ya, Renjun paham. Setidaknya karena pernah mengalami hal seperti ini, Renjun bisa memaklumi kebingungan lelaki itu. Tapi sebentar, dulu bukannya tidak seperti ini ya, kejadiannya?
“Lo lupa? Ini gue, Bumi. Tapi, lo agak beda ya? Langit memang indah, terindah, tapi lo, apa ya? Indah sih–”
“Sorry gue potong. Pertama-tama, gue bukan, siapa? Langit? Nama gue Huang Renjun?”
“Kok aneh?”
“Bukannya nama 'Langit' lebih aneh? Langit yang di atas?” Renjun menunjuk ke atas.
Renjun menutup matanya, sejenak ingin menjernihkan pikirannya. Lelaki itu pun tidak bicara apa-apa lagi. Sepertinya mencoba mencerna hal yang sedang terjadi.
“Okay, Langit– siapa tadi nama lo?”
“Bumi.”
“Okay, sorry. Bumi. Kayaknya lo nyasar ke sini. And don't ask me how, I have no idea.“
“Tapi bagaimana bisa?”
“Kita coba cari tahu nanti, okay? Gue ke kamar mandi dulu.”