mysummer

Renjun sedang menatap langit-langit kamar hotel Haechan malam itu sambil menimbang-nimbang keinginannya untuk melakukan sesuatu sebelum waktunya kembali pulang ke Korea. Di hari kedatangan mereka ke Jakarta, posisinya Haechan dan Renjun memang sedang ada selisih paham sesaat sebelum perjalanan ke Indonesia untuk memulai rangkaian tur mereka. Namun semua salah paham sudah selesai, sehingga kini Renjun bisa bersantai di dalam kamar hotel Haechan.

“Kamu mikirin apa?” tanya Haechan yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Renjun menoleh dan hanya menatap sejenak sosok lelaki dengan bagian dada terbuka yang masih basah dan sedang mengeringkan rambut dengan handuk putih.

“Kamu tuh, masih basah itu, Chan.” Bukannya menjawab, Renjun malah mengomentari hal lain.

“Iya, santai aja sih, nanti juga kering. Aku sambil keringin rambut dulu,” ujar Haechan sambil berlalu pergi kembali ke dalam kamar mandi. Kali ini pintu kamar mandi dibiarkan terbuka agar ia bisa berkomunikasi dengan Renjun.

“Aku pengen minum deh.” Akhirnya Renjun melontarkan apa yang ada dalam pikirannya sejak tadi. Penerbangan mereka tinggal beberapa jam lagi, makanya Renjun sedikit ragu apakah itu keputusan yang baik, atau haruskah ia menunggu sampai Korea meski ia sendiri tidak tahu kapan ia akan punya waktu untuk itu.

“Apa?” Suara hair dryer membuat Haechan tidak dapat mendengar jelas apa yang Renjun ucapkan.

“Aku pengen minum. Mood-nya lagi pengen agak tipsy gitu.” Kali ini Renjun berbicara dengan volume suara lebih keras.

Tak terdengar jawaban dari Haechan. Bahkan setelah beberapa menit berlalu sejak tak terdengar lagi suara hair dryer, Haechan masih belum keluar dari kamar mandi. Kesal Renjun dibuatnya, ia pun mendengus lalu tidur tengkurap di kasur king bed hotel. Mungkin sebaiknya ia tidur saja.

“Kamu lagi pengen soju?”

Renjun membalikkan kepalanya menghadap ke arah Haechan yang sedang memakai kaus hitam yang ia ambil sembarang dari kopernya.

“Heem. Kemarin aku lihat ada staff yang lagi minum soju, kok. Kira-kira bisa minta nggak, ya?”

Renjun membalikkan tubuhnya lagi saat Haechan mendekat dan duduk di samping dirinya. Lelaki Gemini itu tampak fokus dengan ponselnya.

“Mau cocktail, nggak?”

“Hmm… boleh sih. Yang penting bikin tipsy aja, kayaknya enak.”

Haechan memperlihatkan apa yang ada di ponselnya pada Renjun. “Tempatnya bagus, ke sana aja, yuk.”

Mata Renjun berbinar. Ia excited dengan bayangan bahwa ia akan menghabiskan waktu dengan sang kekasih berdua saja di tempat seperti itu. “Mau! Eh-” seketika raut mukanya berubah menjadi sedih. “Gimana ke sananya? Kemarin aja kita diikutin.”

“Gampang kok. Ada di hotel ini. Harusnya sih nggak ada yang ke sana. Yuk? Aku ganti celana sekalian.”

Renjun pun langsung bangkit dari kasur dan mengambil topi. Jaket yang tadi ia sempat kenakan ia biarkan di sofa ruang hotel Haechan. Sementara Haechan sedang membereskan koper dan menutupnya, Renjun mengambil kamera Leica milik Haechan yang tergeletak di atas meja.

“Ini gimana sih caranya?” tanya Renjun sambil mengutak-atik kamera hitam itu. Namun ia pun akhirnya meletakkan kembali kamera itu di atas meja dalam keadaan lensa yang sudah terbuka.

Haechan berjalan mendekat sambil mengenakan cardigannya. “Coba aja foto kayak biasa.”

“Langsung?” tanya Renjun tanpa mengambil kembali kamera itu.

Haechan mengangguk. “Fotoin aku.” Akhirnya bukannya Renjun yang mengangkat kamera, malah Haechan yang menunduk di atas meja agar masuk ke dalam frame.

Cekrek!

“Bagus ya,” gumam Renjun sambil menatap kagum hasil akhir foto yang terlihat sedikit blur.

“Akunya yang bagus.”

Cup!

Tiba-tiba saja ciuman singkat mendarat di pipi Renjun membuatnya tak jadi melontarkan argumen balasan.

“Curang.”

“Ayo, katanya mau minum.”

Dengan menenteng kamera milik Haechan dan mengambil ponselnya, Renjun pun akhirnya mengikuti Haechan yang mulai keluar kamar hotel setelah mengenakan bucket hat hitamnya. ***

Baru saja melangkahkan kaki, Renjun sudah menyukai ambience di dalam bar itu. Jelas saja, pikirnya, tempatnya saja ada di gedung hotel bintang lima. Suasana bar belum terlalu ramai dan menurutnya ini benar-benar sempurna. Belum lagi ia di sini bersama sang kekasih yang kini duduk di seberangnya.

Cocktail?” tanya Haechan dengan tangan di atas meja.

“Hm. Boleh. Jangan yang terlalu kuat ya.”

“Iya. Aku pesan air mineral juga.”

Saat itu mulai terdengar alunan lagu dari live music yang ada tak jauh dari tempat mereka duduk. Setelah tiga hari perform di depan ribuan penonton, rasanya menyenangkan juga jadi bagian dari penonton lagu lawas yang saat ini dibawakan.

Kepala Renjun bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti irama lagu Hey Jude dari The Beatles. Sesekali ia menyesap cocktail yang dipesankan Haechan.

Hey Joon~ don’t make it bad~ na na na na na na na na na~

Renjun tertawa melihat Haechan yang ikutan menyanyi dengan mimik yang berlebihan meski ia pada akhirnya tidak hafal dengan lirik lagunya. Tetapi Renjun mendengar saat Haechan mengganti “Jude” dengan “Joon” yang ia tahu ditujukan untuk dirinya.

Bersama Haechan, ia selalu dibuatnya tertawa. Maka dari itu ia selalu menikmati setiap waktu yang dilaluinya dengan lelaki itu.

Saat lagu itu mencapai nada yang mulai meninggi, Haechan pun ikut menirukan dengan berlebihan. Dengan tangan mengepal di depan mulutnya yang ia jadikan microphone, ia menutup mata dan menunduk layaknya sedang menyanyikan lagu dengan nada tinggi.

Better better better better better better oh~!

Lagi-lagi Renjun tertawa melihat kelakuan Haechan. Alkohol yang mulai masuk ke dalam tubuhnya membuatnya merasa sedikit tenang. Dan mungkin juga Haechan. Keberadaan kekasihnya itu saja membuat mood Renjun lebih baik.

Setelah lagu selesai, penyanyi itu pun mulai menyanyikan lagu lain yang terdengar asing bagi mereka. Renjun menebak kalau itu adalah lagu lokal Indonesia.

“Kenapa tiba-tiba pengen minum?”

Pertanyaan Haechan membuatnya mengerutkan kening. “Biasanya juga minum.”

“Yaah, iya sih. Tapi kan sebentar lagi juga pulang ke Korea, bisa puas nanti minum.”

“Kan aku engga tau nanti bakal ada waktu lagi atau engga, terutama sama kamu.”

Haechan tersenyum senang mendengarnya.

“Aku ada wine di dorm. Nanti minum lagi sama aku ya.”

Renjun mengangguk dan ikut tersenyum. “Aku seneng banget. Konsernya sukses. Capek sih, tapi aku seneng. Semua yang nonton juga kelihatannya nikmatin konsernya. Jadi rasanya konser tiga hari berturut-turut nggak begitu kerasa capek. Malah aku kayak dapat energi dari mereka. Dan kayak berasa ada beban yang lepas juga karena bisa kasih penampilan yang baik.”

Haechan mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat lalu mengulurkan tangannya. Ia genggam dan usap pelan tangan Renjun.

“Minggu depan masih ada, lho. Konser tiga hari berturut-turut.”

“Eh, minggu depan di Thailand, ya? Kamu janji mau makan kalajengking sama aku!” Renjun berseru dengan semangat.

Haechan menggelengkan kepalanya. “Ewh, enggak deh. Aku nggak mau.”

“Kamu janji, Lee Donghyuck.”

“Kamu aja nggak mau makan, kenapa aku harus makan?”

“Karen kamu udah janji.” Renjun menggoyang-goyangkan tangan Haechan “Ya? Ya? Yaaa??”

Lagi-lagi Haechan tersenyum melihat tingkah kekasihnya yang lucu itu. “Iyaa,” katanya dengan pasrah.

Good.

Saat Renjun akhirnya melepaskan genggamannya, Haechan berkesempatan untuk mengambil kamera Leica hitam yang dari tadi menganggur di atas meja.

Cekrek.

Bunyi shutter kamera terdengar dan Renjun awalnya kaget. Menyadari dirinya seorang public figure dengan kamera yang selalu mengintai dirinya, ia sigap menangkap dari mana datangnya suara itu saat ia melihat senyum Haechan di balik kamera kesayangannya.

“Aku kaget, dikirain ada reporter.”

“Cantik,” komentar Haechan saat melihat hasilnya. “Senyum dong.”

Renjun memutar bola matanya melihat Haechan yang nampak tidak peduli.

“Aku kucel. Nggak pakai make-up.”

“Santai, kamu tau kamera aku selalu bisa nangkap foto kamu pas lagi bagus.”

“Bohong. Aku pernah ya liat yang jelek. Udah aku delete.”

Tertawa pelan Haechan mendengarnya. “Aku lihatnya ganteng kok.”

Renjun sedang membetulkan rambutnya saat shutter kamera berbunyi.

Cekrek!

“Aba-aba dulu dong, Hyuck.”

“Satu, dua,”

Panik dengan Haechan yang langsung menghitung, Renjun menoleh ke samping memperlihatkan side profile-nya. Untungnya, mengatur ekspresi dalam waktu sangat singkat sudah biasa baginya.

“Tiga.”

Cekrek.

“Sambil minum coba. Satu, dua, tiga.”

Meski sudah ingin protes karena terlalu cepat, Renjun tetap mengikuti arahan Haechan dengan mengambil gelasnya. Saat ia berpose seperti sedang minum, suara shutter kamera kembali terdengar.

“Lagi, Sayang.”

Untaian protes kembali terbungkam dan dengan kedua tangan menutupi bagian bawah wajahnya, ia berharap semburat merah muda di pipi tak tertangkap kamera.

Lantunan lagu dari live music kembali menarik perhatian Haechan. Ia berpikir kalau ia seperti mengenal kata yang disebutkan sang penyanyi. Haechan menaruh kamera lalu mengambil ponselnya. Beberapa menit berkutat dengan ponselnya ia tersenyum.

“Cantik.” Ucapnya kemudian dalam bahasa Indonesia.

Renjun sempat bingung saat mendengar kata asing itu sampai akhirnya ia sadar itu adalah bagian dari lagu yang sedang dinyanyikan di atas panggung itu.

Sejenak ia merasa familiar dengan kata itu. Namun saat itu juga ia langsung mendengar jawaban dari kebingungannya dari lelaki di depannya.

“Cantik.” Kali ini Haechan menerjemahkan dalam bahasa Korea. “Lagunya cocok buat kamu.”

“Udah, stop. Rambutku berantakan.”

Ia menarik rambutnya ke belakang dan mengenakan kembali topinya. Kali ini ia siap dengan pose baru. Renjun dapat mendengar Haechan berhitung kemudian terdengar suara kamera.

Cekrek.

“Coba lihat.”

Haechan yang hampir memberikan kameranya, menarik kembali tangannya dan kini hanya menatap ke arahnya.

“Ayo sini,” pinta Renjun.

“Nggak boleh ada yang di-delete.”

“Hahaha oke, aku janji.”

Setelah melihat-lihat isi foto, Renjun kembali mengeset ulang kamera dan kini ia arahkan kameranya ke Haechan.

“Haechan-ah. Satu, dua…,”

Haechan yang langsung menangkap maksud Renjun pun hanya memalingkan kepalanya ke samping dengan ekspresi muka yang siap difoto.

Cekrek.

“Lagi, umm, Sayang.”

Senyum Haechan terlihat jelas seperti salah tingkah dan Renjun berhasil menangkap foto itu. Ia sendiri pun tersenyum melihat saat melihat hasilnya.

Setelah beberapa kali pengambilan foto, Haechan meminta kameranya kembali karena ingin melihat hasilnya.

Nice shot,” ujarnya dengan nada rendah.

“Aku nanti post deh di Instagram.”

Saat Haechan beranjak dari duduknya, Renjun kira ini sudah waktunya untuk mereka kembali ke kamar hotel. Tapi ternyata Haechan hanya berpindah duduk dan kini berada di sampingnya.

“Foto sama aku,” katanya sambil mengarahkan kamera dengan lensa yang menghadap ke arah mereka.

Cekrek.

“Satu lagi, Sayang.”

Cup!

Cekrek.

Ciuman singkat di pipi Renjun bersamaan dengan bunyi shutter kamera membuatnya kaget. Bagaimana tidak? Pacarnya menciumnya di tempat umum begini, dan jangan lupakan posisi mereka yang merupakan public figure.

Tamparan pelan pun melayang ke lengan Haechan yang kini tertawa sambil melihat hasil foto di display touchscreen kamera Leica-nya.

“Bagus. Kita cocok banget.”

“Kamu tuh. Gimana kalau ada yang sadar?”

“Nggak, aku udah lihat-lihat tadi. Nggak sampai sedetik juga.”

“Curang.”

“Curang apa sih? Kamu juga boleh kayak gitu ke aku.”

Renjun menepis tangan Haechan yang hendak mencubit pipinya.

“Iya, aku mau. Mau cium kamu. Tapi nggak di sini juga, Lee Haechan-ssi.”

“Siap, Huang Renjun-ssi. Mending sekarang kita ke kamar lagi biar aku bisa diciumin sama kamu.”

Tertawa lagi Renjun dibuatnya. Bersama Haechan memang hidupnya terasa lebih menyenangkan.

Sesak.

Itu yang Renjun rasakan. Seperti ada sesuatu yang menusuk dadanya.

“Hahh hahh hahh.”

Deru nafas memburu serta peluh yang bercucuran menyambut pagi Renjun yang langsung bangun terduduk karena mimpi yang terasa menyesakkan. Kaus yang digunakannya basah oleh peluhnya sendiri. Seperti habis latihan menari, tetapi kali ini Renjun baru saja bangun dari tidur.

Ada beberapa mimpi yang hadir dalam semalam. Satu waktu ia menjadi Renjun yang merupakan anak dari konglomerat yang dijodohkan dengan keluarga konglomerat lainnya. Mimpi itu terasa nyata, memberinya harapan indah dan membuatnya terlena, namun sayangnya ia berpindah ke Renjun lainnya tepat setelah ciuman panas yang memabukkan.

Renjun yang kedua adalah mahasiswa yang sangat disayang oleh kekasihnya, Lee Haechan. Di tempat lain, kisah cintanya cukup memilukan tetapi mereka berusaha dan bertahan untuk satu sama lain.

Renjun tidak ingat berapa tempat yang ia datangi dalam semalam. Rasanya ia pergi ke banyak tempat dan mengalami banyak cerita. Tetapi yang paling menyakitkan tetap cerita yang terakhir. Bagaimana bisa takdir yang dialaminya begitu menyedihkan?

Renjun sebetulnya masih bingung akibat ada banyak kehidupan yang ia alami. Apakah itu semesta yang lain?

Ia menyibakkan selimutnya dan berjalan ke luar kamarnya. Mimpi yang terakhir benar-benar menyesakkan dadanya. Renjun masih ingat kenangan bahagia dari Renjun dan Donghyuck yang ada dalam mimpinya. Indah dan penuh tawa. Renjun tersenyum mengingat kenangan bahagia itu meski memang bukan miliknya.

Dapur saat itu cukup ramai. Ada tiga orang lelaki dewasa yang bercengkrama, tetapi ramainya luar biasa. Mereka saling bersahutan, entah apa yang didiskusikan. Hanya lelaki berambut hitam yang terlihat berantakan itu yang menarik perhatiannya. Yang selalu muncul di setiap bagian mimpinya tadi malam.

Renjun tersenyum lagi, ia mendekat dan mengecup pipi lelaki yang langsung menghentikan pembicaraannya, hanya diam mematung sambil duduk di meja makan.

“Selamat pagi, Hyuck.”

Diskusi ramai antara beberapa lelaki itu langsung sunyi, semua memandang ke arah Renjun yang kini berjalan mendekati dispenser untuk mengambil air. Renjun menoleh ke belakangnya sebentar, bingung mengapa dapur tiba-tiba menjadi sunyi. Tetapi kedua lelaki itu hanya balas menatapnya dan Donghyuck masih terdiam sambil memegang pipinya.

Good morning my boyssss~”

Sahutan lantang dari Jaemin yang baru saja memasuki dapur terdengar menyebalkan di telinga Renjun. Ia pun berjalan ke arah Jaemin setelah menyimpan gelasnya, lalu menendang tulang kering lelaki itu.

“Ow! Renjun?? Sakit!” Jaemin mengaduh sambil mengangkat satu kakinya.

“Kenapa, sih? Tiba-tiba nendang.”

Jaemin langsung duduk di kursi yang disiapkan oleh Jisung, masih meringis karena sakit akibat tendangan Renjun.

“Abisnya nyebelin. Kamu bunuh Hyuck.”

“Hah?” Jaemin terlihat benar-benar bingung.

“Kamu panggil aku apa, Jun?”

“Maksudnya gimana?” Jeno yang dari tadi diam saja akhirnya ikut buka suara.

Renjun mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, jantungnya berdebar lebih kencang karena rasa cemas dan takut yang bercampur. Menyadari apa yang tadi dilakukannya pada teman satu grupnya juga membuatnya malu tak tertahan.

Pantas….

“Uhm, kita di mana?”

“Di dorm…?” Jisung menjawab.

“Kita idol?”

“Renjun, kamu kenapa?” Jeno kini melangkah mendekat.

Haechan kini menatapnya dengan pandangan khawatir dan Renjun langsung membuang muka.

“Aku… aku ke kamar dulu.”

“Renjun?” Renjun tidak tahu siapa yang memanggilnya karena sepertinya semua orang memanggilnya. Namun ia tetap berjalan cepat menuju kamarnya. Ia tutup kemudian bersandar di balik pintu.

Ketukan tiga kali tidak dihiraukannya, sampai panggilan lembut seseorang yang ia ingin dengar memanggil namanya. Ia ingin merespon, ia ingin berbagi cerita, ia butuh kenyamanan. Tetapi Renjun malu. Mereka tidak ada hubungan spesial apapun, tidak seperti apa yang ada dalam mimpi-mimpi Renjun.

“Renjun. Ayo ngobrol.”

Renjun menarik nafas lalu ia hembuskan perlahan. Setelah membalikkan badannya, ia membuka pintu dan hanya membiarkan Haechan masuk, lalu menutup pintunya lagi.

“Jun, kamu nggak pernah panggil aku pakai nama Donghyuck.”

“Iya, aku tahu. Maaf.”

“Dan tadi itu—”

“Ya makanya aku minta maaf, Hyuck! Oh shit—”

“Hey, nggak apa-apa.”

Renjun kini duduk di atas ranjangnya. Tangannya menopang kepalanya yang tertunduk. Haechan pun akhirnya duduk di samping teman satu grupnya itu.

“Ada apa, Renjun? Kamu bisa cerita.”

Renjun terenyuh mendengar Haechan yang berkata selembut itu padanya. Andai saja Haechan tahu, seperti apa mereka di setiap kehidupan yang ia datangi dalam mimpi itu.

“Aku mimpi. Itu aja.”

“Mimpi seram? Kamu habis nonton film horor lagi, hm?”

Renjun menggelengkan kepalanya, ia duduk lebih tegak kali ini. Kemudian ia hembuskan nafas berat lagi, meski masih bingung harus cerita dari mana.

“Mimpi… kamu. Mimpi aku dan kamu. Mimpinya nyata banget. Dan itu… sakit.”

Renjun menoleh dengan cepat, ia baru saja ingat akan sesuatu. “Kamu inget nggak film Dr. Strange?”

“Hmm? Iya…?”

Meski Haechan terlihat ragu, Renjun melanjutkan ceritanya.

“Itu loh film Marvel, yang di filmnya Dr. Strange ketemu sama Dr. Strange dari universe lain. Nah, di awal film itu Dr. Strange mimpi dan kejadian di mimpinya itu sama dengan yang terjadi di universe lain, Chan.”

“Oke…? Jadi maksud kamu, kamu mau bilang kamu punya kekuatan Dr. Strange?”

Bugh!

Terpukul lengan Haechan dan lelaki Gemini itu pun meringis kesakitan. “Aww, Jun, kok pukul?”

“Ya kamu ada-ada aja. Maksudnya bukan gitu. Tapi aku ngerasa, mungkin mimpiku itu beneran terjadi di universe lain, Chan.”

“Hmm, mimpinya buruk?”

“Sebenernya nggak cuma satu mimpi aja. Ada beberapa, tapi ya yang paling terakhir memang paling nyakitin. Sampai aku ngerasain rasa sakit itu.” Renjun memegang dadanya. Ia ingat kala terbangun, ia merasa sedikit sesak.

Lalu Renjun menyadari ada tangan hangat yang mengusap punggungnya.

“Renjun, kalau mau cerita, kamu bisa cerita sama aku.”

“Boleh peluk aja, nggak?”

“Sini.” Haechan merentangkan kedua tangannya, mengundang lelaki berdarah Tiongkok itu ke pelukannya.

Renjun pun langsung memeluk Haechan dan memejamkan matanya. Rasa nyaman ini seperti yang ia rasakan di mimpi-mimpinya. Tapi sebenarnya, kalau Renjun coba ingat lagi, ia memang selalu merasa nyaman setiap berada di pelukan Haechan.

“Ada kamu, Haechan. Ada kamu di setiap mimpi tentang kehidupan aku yang berbeda itu. Dan kita….” Terhenti di situ saja kata-kata Renjun.

“Hmm? Kita…?”

Bukannya memberi jawaban, Renjun malah memeluk Haechan lebih erat.

“Hangat. Boleh nggak ya kayak gini terus?”

“Boleh. Lebih dari kayak gini juga boleh.”

Tangan Renjun mengepal di balik punggung Haechan. Ia sadar hubungan mereka berdua memang sudah terasa lebih dari teman, tapi tak ada satupun di antara mereka yang pernah bicara ke arah itu. Mungkin sama-sama terlalu takut meski saling menikmati kehadiran satu sama lain.

“Haechan,” bisik Renjun pelan.

“Iya, Aegi?”

“Di semua kehidupan yang aku datangi dalam mimpi, kamu pacarku, loh. Masa di sini bukan?”

Renjun tersenyum saat merasakan getaran akibat tawa Haechan.

Haechan mengecup puncak kepala Renjun. Rambut hitamnya masih berantakan, tapi tak apa, bagi Haechan lelaki Aries ini selalu menggemaskan.

“Iya, kamu pacarku, Injun.”

Renjun langsung melepas pelukannya.

“Kamu nggak lagi bercanda, ‘kan?”

“Perasaan aku nggak bercanda, dan ajakan aku juga nggak bercanda, Injun.”

Renjun terdiam, menimbang-nimbang keputusan yang harus diambil. Karena apapun jalan yang ia pilih, pasti ada resikonya.

Tatkala ia rasa usapan tangan besar Haechan di pipinya, Renjun menatap lelaki yang sedang balik menatapnya dengan serius. Tatapan yang selalu ia sukai.

“Aku tahu kamu takut. Tapi kita kan jalaninya sama-sama. Kamu nggak sendiri. Dan kamu selalu bisa berbagi sama aku, Injun.”

Renjun mengangguk lalu tersenyum sampai matanya membentuk sabit. Haechan pun membatin, indah banget pacarku.

Aegiii!” Haechan kembali memeluk pacarnya erat. “Nanti gitu lagi, ya?”

“Apa?” Meski suara Renjun sedikit teredam karena bibirnya menempel di dada Haechan, ia tahu pacarnya masih bisa mendengarnya.

“Cium aku setiap pagi.”

“Kita nggak satu dorm, Haechan. Aku nggak ketemu kamu setiap pagi.”

“Iya, pokoknya setiap baru ketemu, kamu cium aku.”

“Hahaha. Iya.”

“Panggil aku Hyuck lagi.”

“Iya, Hyuck.”

Renjun tidak tahu apa akhir dari setiap kehidupan yang ia lihat di mimpi, apakah mereka bahagia, atau menderita, Renjun tidak tahu karena yang seharusnya ia utamakan memang kehidupan nyatanya saat ini. Meski ia pun tidak akan tahu bagaimana akhirnya nanti, tetapi yang Renjun tahu, selalu ada Haechan yang menemani. Tak hanya di kehidupan ini, di kehidupannya yang lain, semestanya yang lain, selalu ada Haechan di sana.

—end.

by mysummerbliss

cw // major character death, obsessive behavior tw // homophobic, blood

2.8 words


Dulu, predikat Best Campus Couple pernah diraihnya kala masih menjadi mahasiswa, masih menjadi kekasih dari seorang Lee Donghyuck. Dinamika pasangan si ketua himpunan dan sekretarisnya menjadi perbincangan banyak mahasiswa di sekitar mereka.

Pasangan yang digadang-gadang paling cocok, paling melengkapi, dan semua orang pun berharap “happily ever after” pada mereka, nyatanya kini tak lagi bersama. Di satu malam menjelang akhir jabatan, saat semua anggota himpunan pergi untuk bermalam di sebuah villa, Donghyuck dan Renjun bahkan dinobatkan sebagai Couple of The Year versi himpunan mereka.

Dengan senyum manis, Donghyuck si ketua himpunan mempersilakan Renjun, sekretarisnya sekaligus kekasihnya, untuk memberikan speech singkat saat menerima snack bouquet sebagai hadiah yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Malu-malu Renjun pun berterima kasih pada semua teman-teman yang mendukungnya, yang kemudian disoraki oleh semuanya di sana.

Hari ini, senyum manis Lee Donghyuck hanya dapat Renjun lihat dari jauh, dari pintu ballroom hotel yang menjadi tempat diselenggarakannya pernikahan mewah Donghyuck dengan orang lain. Sebagai general manager di hotel tempat ia bekerja, Renjun pun hari ini mendapatkan tugas memastikan acara pernikahan yang dilaksanakan di ballroom hotelnya berjalan dengan sempurna. Tentu, Renjun sudah tahu acara ini akan diselenggarakan sejak jauh-jauh hari. Tetapi mungkin saja Donghyuck tidak mengetahui bahwa Renjun juga ikut andil dalam menyempurnakan hari bahagianya ini.

“Sungchan, stand by, ya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi saya,” ujarnya melalui sambungan telepon pada asisten manajernya.

Setelah memutus kontak telepon, Renjun pun keluar dari area ballroom, hendak berjalan menuju ruangannya, tetapi terhambat saat ia menabrak bahu seseorang yang sepertinya salah satu dari tamu undangan.

“Maaf,” ia berkata sambil menunduk hormat.

“Renjun?”

Terbelalak matanya saat menyadari baru saja ia bertemu dengan salah satu sahabatnya di masa lalu. Na Jaemin tersenyum ramah padanya.

Sebenarnya dari tadi Renjun hanya mengawasi acara ini dari jauh, karena ia sadar akan ada banyak tamu undangan yang ia kenal, dan Renjun ingin menghindar dari semua situasi yang pasti tidak akan menyenangkan. Bagaimanapun, teman Donghyuck juga banyak yang merupakan teman Renjun.

Sekedar informasi, Renjun tidak diundang di pernikahan Donghyuck ini karena mereka memang sudah memutus kontak semenjak lulus delapan tahun lalu.

“Oh, Jaemin, hai.” Dengan canggung ia melambaikan tangannya, ini benar-benar situasi yang ia sangat hindari.

“Kamu… kerja di sini?”

Renjun mengangguk. Pasti sudah terlihat jelas dari name tag yang tersemat di dada kirinya.

“Wah, menarik.”

“Aku, aku duluan ya, Jaemin, ada kerjaan.”

Baru saja kakinya melangkah menjauhi temannya, pertanyaan yang membuatnya tidak nyaman itu terlontarkan. “Kamu nggak ucapin selamat buat Donghyuck?”

Langkahnya terhenti. Tangannya mengepal dan dengan segenap tenaga ia usahakan agar bahunya tetap tegak meski sedikit bergetar.

Bagaimana bisa Renjun lakukan itu? Renjun akui bahwa dirinya tidak cukup kuat untuk lakukan itu. Meski lama berpisah, hatinya masih tertaut pada lelaki Gemini yang tawanya selalu ia rindukan itu. Terkadang Renjun lupa, tetapi saat ia merasa sendiri, bayang-bayang Donghyuck selalu hadir. Kenangan indah empat tahun bersama Donghyuck yang selalu ia putar kembali dalam khayalnya. Tak jarang pula dirinya melamunkan bagaimana jika mereka terus bersama? Mewujudkan semua mimpi yang mereka bagi bersama dalam angan-angannya. Semua skenario itu selalu indah bagi Huang Renjun.

Renjun berbalik, menghadapi rasa sakitnya. “Belum. Tolong sampaikan ya, Jaemin. Aku turut bahagia.”

“Kamu yakin bahagia? Well, aku nggak peduli, sih.”

Renjun mengernyit, ia kurang paham dengan maksud dari kata-kata Jaemin. Tetapi lelaki itu sudah berbalik sebelum Renjun bertanya apa maksudnya.

Jaemin berhenti tepat di ambang pintu, lalu kepalanya sedikit menoleh ke arah Renjun. “Tapi Donghyuck nggak. He suffers, Jun. A lot.”

Renjun hanya terdiam saat mendengarnya, mencoba memproses maksud dari Jaemin. Saat ia baru menyadari dan ingin mempertanyakan lebih lanjut, Jaemin sudah menghilang. Ketika ia melangkah masuk, beberapa tamu perempuan berjalan keluar sambil berbincang membuat Renjun kembali mundur ke belakang untuk memberi jalan.

“Kayak yang sakit ya pengantinnya?”

“Suaminya, ya? Dari tadi batuk-batuk.”

Seolah memperjelas, Renjun kemudian mendengar suara seseorang yang terbatuk dan tak lama ia mendengar teriakan beberapa orang. Ia pun bergegas menuju kerumunan di tengah ballroom.

Meski tidak terlalu dekat, Renjun dapat melihat Donghyuck yang kini terduduk lesu di salah satu kursi, dengan pengantin wanita di sebelahnya yang terlihat khawatir. Raut wajah khawatir dan terkejut dapat ia lihat dari tamu undangan lain beserta keluarga kedua mempelai. Bincang-bincang para tamu pun sampai di telinga Renjun, mempertanyakan bagaimana bisa mempelai pria sampai batuk dan memuntahkan bunga di hari pernikahannya?

Dadanya bergemuruh dan Renjun yang biasanya cepat tanggap dalam berbagai situasi kini hanya mematung melihat pria yang dicintainya terlihat sakit. Ia pun dapat melihat beberapa kelopak bunga berwarna kuning yang kini berserakan. Yang Renjun tahu, dekorasi bunga yang digunakan untuk pesta ini hanya berwarna putih dan merah muda, tidak ada bunga berwarna kuning.

Pekikan seseorang menyadarkan dirinya, sebagai pegawai hotel, ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Tetapi akalnya kembali tak mampu bekerja saat melihat Donghyuck memuntahkan satu bunga utuh beserta darah.

“Pak? Pak Renjun?”

Masih dengan pikiran yang mengawang, Renjun menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya.

“Saya sudah panggilkan ambulans, sebentar lagi datang, Pak.”

Renjun mengangguk. “Sungchan.”

“Ya, Pak?”

“Tolong informasikan itu pada pihak keluarga. Ambulans segera datang.”

“Baik, Pak.”

Renjun maju selangkah, ingin melihat keadaan Donghyuck yang tidak terlihat baik. Pengantin wanita menangis di sampingnya. Tangan Donghyuck mengepal erat sampai meremas bunga kuning yang digenggamnya.

“Daffodil kuning. Bunga kelahiran bulan Maret. Bermakna awal yang baru, harapan, tetapi juga cinta yang tak berakhir.”

Renjun berbalik ke arah suara yang menjawab pertanyaan dalam benaknya.

Na Jaemin menyerahkan satu bunga utuh dengan bercak darah padanya. Dengan tangan gemetar Renjun menerima bunga itu.

“Maret dan kuning, Huang Renjun. Ring a bell?” Nada suara rendah dari Jaemin semakin membuat Renjun bingung sekaligus takut.

“T-tapi, bagaimana bisa? Aku—”

He doesn't know that, Renjun. Yang dia percayai, kamu tidak mencintai dia.”

Mendengar itu, ia hanya ingin segera mengikuti instingnya dan berjalan ke arah Donghyuck. Sepengetahuannya, penyakit Hanahaki atau muntah bunga ini akan sembuh jika cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Dan Renjun akan buktikan itu.

Tetapi cengkeraman kuat Jaemin di bahunya menahan langkah Renjun.

“Apa kamu nggak kasihan lihat keluarga Hyuck? Juga istrinya?”

Renjun disadarkan bahwa dirinya bukan siapa-siapa Donghyuck lagi. Dirinya dan Donghyuck sudah berpisah lama. Renjun tentu tidak lupa saat ayah Donghyuck menamparnya saat wisuda, menyatakan dengan lantang bahwa ia tidak sudi anak laki-lakinya memiliki hubungan sesama jenis. Tidak pula Renjun lupa raut kecewa sang bunda saat mengetahui hubungannya dengan Donghyuck. Mereka pun memutuskan mengakhiri hubungan tanpa restu itu, tepat di hari wisuda. Berakhir di situ kisah cinta pasangan terbaik kampus.

Meski begitu, bukankah Donghyuck berhak untuk kembali sehat? Tawa getir menyertai saat Renjun tahu jawaban dari pertanyaannya. Donghyuck bisa saja mendapatkan penanganan berupa operasi untuk mengangkat penyakitnya. Dan itu bisa jadi benar-benar akhir dari kisah mereka. Memang sudah seharusnya Donghyuck melupakan dirinya seutuhnya, bukan?

It’s too late, Jun.”

Renjun menoleh ke sampingnya, ke Jaemin yang hanya menatap lurus ke arah Donghyuck.

“Sudah setahun Donghyuck punya Hanahaki. Akarnya sudah menyebar di paru-parunya. Waktu yang cukup lama untuk penderita Hanahaki, sebetulnya. Hari ini, Donghyuck menenggak dua tablet obat yang dosisnya sangat tinggi. Bahaya? Tentu, bahaya. Tetapi dia harus melakukan itu, karena nggak ada yang tahu tentang Donghyuck dan Hanahakinya, kecuali aku.”

“Kenapa… kenapa nggak coba cari aku?”

“Karena ayahnya mau Donghyuck menikah dengan perempuan itu. Aku kira Donghyuck akan menolak, tetapi ternyata dia sudah punya kesepakatan dengan perempuan yang sekarang jadi istrinya itu. Mereka saling memanfaatkan. Dan aku? Aku sengaja tidak mencari kamu, Renjun. Aku mau melihat Donghyuck menderita.”

Mata Renjun yang sudah berkaca-kaca itu melebar mendengar akhir dari kalimat Jaemin. “Jaemin? Kamu…?”

Jaemin kini menatapnya. Dingin tanpa ekspresi.

“Surat yang kamu titip lewat aku, tak pernah sampai ke Donghyuck. Dan aku yang membuat Donghyuck yakin kalau cintanya tidak terbalas. Dulu aku senang melihat tawa Donghyuck yang bahagia setiap dia bercerita tentang dirimu. Setelah tawa itu tak pernah hadir, aku pikir aku bisa menggantikan sosokmu. Tetapi Donghyuck tak pernah melihatku. Dan ia malah memilih pernikahan ini. Aku kesal, Renjun.

Ingat waktu kita bertemu setahun yang lalu? Aku tunjukkan padanya akun Instagram-mu. Aku tunjukkan kalau kamu jauh lebih bahagia tanpa Lee Donghyuck. Semenjak itu raut sedih Donghyuck menjadi hal yang paling aku suka darinya. Kesedihannya, putus asanya, ia terlihat hilang arah, Huang Renjun.”

Tawa meremehkan dari Jaemin benar-benar menyulut amarah Renjun.

Plak!

Tak segan ia menampar pipi Jaemin dengan sekuat tenaganya.

“Bajingan! Kamu membunuh dia, Jaemin!”

Renjun tak mengindahkan air matanya yang terus bergulir di pipinya. Emosinya benar-benar memuncak. Ia tidak bisa membiarkan ini terus berlarut. Keadaan di dalam ballroom cukup kacau, tamu undangan banyak yang sudah pulang, ayah dari mempelai wanita terlihat marah besar, kedua keluarga saling menyalahkan. Dan Donghyuck hanya sendiri di sana, ditatap banyak mata yang meremehkan, menggunjing dirinya atas rasa cinta dan rasa sakit yang ia rasa dalam dadanya. Renjun tidak bisa diam saja.

You should thank me, Renjun. Aku yang meyakinkan Donghyuck untuk menggelar pernikahan di hotel ini. Karena aku tahu kamu bekerja di sini. Pergilah, temui Donghyuck dan yakinkan dia. That’s my gift for his wedding.”

Saat Renjun berjalan mendekat, beberapa petugas kesehatan datang dan mulai memindahkan Donghyuck ke brankar. Renjun berlari kecil mengejar mereka. Di depan pintu belakang mobil ambulans, Renjun berhenti, tepatnya di samping seorang wanita cantik yang mengenakan gaun pengantin putih.

“Huang Renjun?”

Renjun menundukkan kepalanya tanda memberi hormat, ia tidak paham bagaimana istri Donghyuck mengenalinya, tetapi ia yakin wanita itu bukan mengenalnya sebagai general manager dari hotel tempatnya menggelar acara pernikahan.

“Masuklah, temani Donghyuck, ya? Bunga Daffodil kuning itu, kamu, ‘kan?” tanyanya dengan lembut.

Renjun terkejut, tetapi ia lebih heran karena tidak menemukan amarah atau kekesalan dari sang mempelai wanita.

“Tapi—”

“Ayo, Donghyuck harus segera ditangani, dan kamu harus ada bersama dia, Renjun. He needs you.”

“Maaf—”

It’s okay, Renjun. Ayo, berangkat.”

Renjun mengangguk mantap lalu ikut masuk ke dalam mobil ambulans.

Di dalam mobil, ia langsung menggenggam tangan lemah Donghyuck. Air matanya kembali mengalir melihat banyak bercak darah di tuksedo putihnya.

“Hyuck, Hyuck, ini aku.” Sambil terbata-bata karena diiringi tangisan, Renjun genggam erat tangan si pria Gemini.

Mata Donghyuck perlahan terbuka. Bibirnya melengkung membentuk senyuman. “My pretty little Injun,” bisiknya.

Renjun masih terisak, lalu diusapnya dengan lembut pipi Donghyuck. “Aku di sini, Hyuck. Dan aku, aku masih cinta sama kamu, Hyuck. Aku di sini.”

“Injun?” panggilnya kali ini terlihat tidak percaya.

Nampaknya Donghyuck tadi berpikir kehadiran Renjun hanyalah halusinasinya saja. Hal ini kerap terjadi saat ia tidak dalam pengaruh obat.

“Aku di sini, Hyuck. Aku cinta sama kamu, aku mau kamu, aku nggak bisa lupain kamu, aku—” Kata-katanya terhenti dan tergantikan oleh isakan.

Be happy, Injun.” Donghyuck yang lirihkan kalimat itu dengan lemah mengiris hati Renjun. Rasanya ia berbagi rasa sakit yang sama dengan yang detik ini dialami Donghyuck. Bagaimana bisa di saat ia merasakan sakit yang luar biasa, yang dipikirnya hanyalah kebahagiaan Renjun? Sebesar itu ya, cinta kamu untuk Renjun, Hyuck?

With you. I’ll be happy with you, Hyuck. Please, bertahan untuk aku, ya?”

Anggukan lemah itu setidaknya sedikit menenangkan Renjun. Ia pun tak henti-hentinya merapalkan doa, mengharap ada keajaiban. Kalaupun Donghyuck tidak bisa percaya dengan perasaan Renjun, setidaknya ia harap masih ada kesempatan untuk dilakukan operasi. Renjun akan merelakan Donghyuck jika itu dapat menyelamatkan cintanya.

“Injun.”

“Hmm?” Renjun berusaha tetap tegar dan menahan tangisnya meski sungguh sakit melihat Donghyuck seperti saat ini. Donghyucknya yang dulu selalu tertawa ceria, selalu menghibur, kini terkapar lemah tak berdaya.

“Cantik, Injunku.” Donghyuck terbatuk, ia yang berusaha menarik nafas terlihat sesak meski sudah menggunakan masker oksigen untuk alat bantu pernafasan. “Aku suka. Injunku.”

Renjun mengangguk. “Hmm. Aku juga. Aku suka.”

Setibanya di rumah sakit, batuknya semakin menjadi. Tangis Renjun pun pecah tak sanggup ia tahan kala ia memasuki IGD dan Donghyuck kembali memuntahkan bunga daffodil kuning dengan bercak darah merahnya.

Mengapa? Bukannya Renjun sudah menyatakan cintanya? Mengapa sakit yang diderita Donghyuck tak juga membaik?

Para dokter segera menangani kekasihnya dan Renjun pun hanya bisa pasrah menunggu meski rasa cemas tak kunjung hilang.

“Maaf? Anda yang bersama pasien Lee Donghyuck?” seorang perawat menghampirinya yang sedang menunggu di luar IGD.

“Iya. Saya, saya yang bersama Donghyuck.”

“Dokter perlu bertemu dengan pihak keluarga pasien, apakah sudah dihubungi?”

“Sudah. Tapi saya, saya… saya pacarnya, apakah saya bisa tahu keadaan Donghyuck?”

Perawat itu terlihat bingung, namun akhirnya mengangguk. “Mari, ikut saya.”

Dibawanya Renjun memasuki ruang IGD, dan ia pun langsung disambut oleh seorang dokter yang terlihat senior. “Oh, pihak keluarga pasien Lee Donghyuck?”

“Saya pacarnya, Dok.”

“Ah, Daffodil kuning?” Pertanyaan sang dokter membuatnya sedih sekaligus sakit. Ya benar, dia adalah si daffodil kuning, yang ironisnya saat ini sedang menyakiti tubuh Donghyuck.

“Iya, Dok. Tapi, Donghyuck bagaimana, Dok? Tolong selamatkan Donghyuck. Saya cinta sama dia, saya nggak mau dia kehilangan nyawa karena saya, Dok. Kami saling mencintai, Dok. Tolong.”

“Baik, tenang dulu, Tuan…?”

“Renjun. Huang Renjun.”

“Tuan Huang, kebetulan rumah sakit memiliki catatan rekam medis dari pasien Lee Donghyuck, dan saya adalah dokter yang menanganinya selama ini.” Dokter lalu menyerahkan amplop cokelat besar pada Renjun. “Ini hasil rontgen pasien tepat seminggu yang lalu.”

Renjun perlahan membuka amplop dan melihat foto x-ray hasil rontgen bagian dada Donghyuck. Renjun memang tidak paham, tetapi Renjun tahu hasil ini bukan hasil yang baik.

“Bisa dilihat keadaan pasien sudah memburuk, dan ini sudah mendekati jantung. Operasi sudah tidak mungkin dilakukan. Maaf saya harus memberi kabar buruk, tetapi persentase kesembuhan pasien sangat rendah, Tuan Huang.”

Renjun menggelengkan kepala.

“Tapi Dok, cintanya Donghyuck kan tidak sepihak. Harusnya… bisa, ‘kan?”

“Betul, Tuan Huang. Pasien dapat sembuh, jika ia benar-benar merasakan bahwa ia dicintai oleh orang yang ia cintai. Tetapi, untuk proses kesembuhan penyakit yang sudah separah ini, butuh waktu yang lama. Belum lagi selama ini pasien mengonsumsi obat dengan dosis tinggi karena pasien ingin menyembunyikan perihal penyakitnya. Sedangkan waktu yang pasien miliki, dengan kondisi seperti sekarang, tidaklah banyak, Tuan Huang.”

Renjun terjatuh, berlutut ia di depan sang dokter, berharap apapun yang dapat dilakukannya agar Donghyuck sehat kembali. Ia benar-benar rela rasa cinta itu hilang asalkan Donghyuck dapat sembuh. Ia menangis dan memohon.

“Dok, saya mohon, beri Donghyuck kesempatan.”

Tangisnya semakin kencang, tidak peduli ada banyak mata menatapnya.

“Maaf, Tuan Huang, sebaiknya anda berada di samping pasien saat ini. Saya yakin, pasien lebih membutuhkan anda dibanding dokter manapun.”

Dokter itu pun pergi meninggalkan Renjun yang kini semakin terduduk dengan isak tangis yang tak henti-hentinya terdengar.

Plak!

Renjun meringis merasakan tangan yang menampar pipinya. Ia mendongakkan kepalanya dan melihat ayah Donghyuck yang murka kini berdiri di hadapannya.

“Berani-beraninya kamu muncul di hadapan saya! Kamu mempermalukan keluarga saya! Dan kamu, kamu membunuh anak saya!”

Renjun menunduk, sambil terduduk bersimpuh, dengan bahu yang bergetar karena lagi-lagi ia tak mampu menahan tangisnya, Renjun tak mampu melakukan apapun lagi. Ia gagal mempertahankan cintanya. Ia kalah.

“Tuan Lee!”

Dokter yang menangani Donghyuck tadi datang kembali dan menahan Tuan Lee yang hampir saja akan menampar Renjun lagi.

“Saya mohon, biarkan Huang Renjun menemui Donghyuck. Saat ini hanya Huang Renjun yang bisa membuat anak anda membaik, saya mohon, Tuan Lee. Demi Donghyuck.”

Renjun masih menunduk, tak sanggup untuk mengangkat wajahnya. Air matanya terus jatuh membasahi celana hitamnya. Sampai akhirnya seorang perawat mendatanginya, memapahnya ke bagian pojok IGD, menuju bed di mana Donghyuck dirawat.

“Hyuck. Maaf. Hyuck, jangan pergi. Hyuck, bertahan ya, sama aku.”

“Injunku.”

“Iya, ini Injunnya kamu, Hyuck. Tolong percaya sama aku, ya? Aku nggak bohong. Aku sayang kamu. Dulu, sekarang, selalu, selamanya, Hyuck. Percaya sama aku.”

Donghyuck hanya tersenyum di balik masker oksigennya.

“Hmm. Percaya. Injunku jangan nangis.”

“Iya.”

Renjun ingin sekali berhenti menangis. Ia hanya ingin menunjukkan rasa cintanya yang masih begitu besar pada Donghyuck dengan senyum dan raut bahagia. Tetapi tangisannya tak mampu ditahan saat ia melihat Donghyuck yang merasa sesak.

“Hyuck…,” panggilnya lirih.

“Dadanya sesak, tapi nggak sakit lagi. Ada kamu, Injunku.” Donghyuck tersenyum dan itu senyum paling indah yang pernah Renjun lihat. “Ada kamu, di sini.” Perlahan tangan kanan Donghyuck bergerak menunjuk ke dada bagian kirinya, tepat di jantungnya.

“Nggak. Hyuck, Sayang, akunya di sini.”

“Iya, Injunku.”

Itu kata-kata terakhir Donghyuck sebelum ia kesulitan bicara karena semakin sesak. Tiba-tiba monitor di samping ranjang rumah sakit itu berbunyi kencang, tanda bahwa kondisi pasien memburuk. Beberapa tenaga kesehatan langsung berdatangan dan Renjun mundur untuk memberi jalan.

Pikiran Renjun kosong, lagi-lagi ia hanya mengharap adanya keajaiban.

“Tuan Huang. Saya minta maaf atas kabar duka ini. Pasien Lee Donghyuck meninggal pukul 16.53.”

“Nggak, Dok. Tolong Hyuck, Dok, saya mohon.”

Perawat di sana membantu menenangkan Renjun yang tangisnya semakin menjadi.

Tidak mungkin, Donghyuck seharusnya masih hidup. Mereka saling mencintai, ‘kan? Mengapa Donghyuck harus meninggal dengan cara seperti ini? Dengan daffodil kuning sebagai simbol dari Huang Renjun dalam dadanya, menusuk jantungnya, mengapa? Mengapa semesta selalu memiliki cara untuk mereka berpisah?

***

Tiga bulan kemudian.

“Halo, Jagoan. Aku bawain tulip merah kali ini. Kamu tau nggak kalau tulip merah artinya true love? Tapi bosen nggak sih sama warna merah? Bulan lalu aku bawa mawar merah, terus sekarang tulip merah. Nanti aku bawain bunga matahari ya, bunganya kamu, Hyuck. Katanya itu simbol kekaguman dan kesetiaan. Kamu banget, ya?”

“Hyuck, aku— uhuk!” Kalimat Renjun terpotong oleh batuknya sendiri.

“Hahaha, maaf, aku emang lagi agak nggak fit, aku—” Terhenti lagi rangkaian kalimat itu karena kini Renjun menemukan satu kelopak bunga berwarna kuning di telapak tangannya. Kali ini bukan daffodil, Renjun tahu bunga apa itu.

Ia menaruh kelopak bunga kuning itu di atas nisan Donghyuck. “Lihat, aku ternyata udah bawa duluan bunga mataharinya, Hyuck.”

Air mata kembali mengalir di pipi Renjun. Ia terlihat semakin kurus sekarang.

Senyum Renjun hadir di wajahnya meski merasa sesak di dadanya. Jadi ini, yang dirasakan Donghyuck saat itu? Renjun senang bisa merasakannya.

Orang mengatakan kalau penyakit Hanahaki itu ada karena rasa cinta yang bertepuk sebelah tangan. Namun, tahukah bahwa Hanahaki bisa disebabkan karena orang yang membalas cintanya sudah tiada?

—end.

by mysummerbliss.

1.2k words


Tatkala melihat lelaki berambut merah muda itu terjatuh, Gara tadi langsung datang membantu. Ia seketika mengenali bahwa lelaki itu adalah incaran teman-temannya, meski lupa namanya. Rey… Reynan? Ya, mereka menyebutnya Rey, seingatnya. Sepertinya Rey sedang menunggu jemputan supir kalau dari informasi yang Gara dapatkan.

Dan kini ia berjalan cepat menuju kantin, berharap menemukan es batu untuk mengompres keseleo Rey. Gara pun mengambil ponselnya dan berniat menghubungi teman-temannya. Ia yakin, mereka akan mau membantu mengantar Rey pulang. Dan tentunya teman-temannya ini semua bisa dipercaya, ya setidaknya oleh Gara.

Sayangnya, sepertinya teman-teman Gara sedang sibuk semua. Gara juga tidak enak kalau mengganggu mereka untuk urusan ini. Hampir semua bahkan tidak sedang berada di kampus. Marka pun sedang memimpin rapat, tentu Gara tidak ingin mengganggu.

Setelah membeli es batu, Gara sempat mampir ke ruang sekretariat KSR PMI, meminta perban dan beberapa barang yang kira-kira dibutuhkan. Beberapa anggota di sana menawarkan bantuan, tetapi Gara menolak dengan alasan ia sudah cukup paham. Tentu saja karena dulu Gara sempat menjadi anggota PMR saat sekolah.

Saat kembali, ia menemukan Rey yang masih menatap sedih ponselnya. Sepertinya proses charging membutuhkan waktu yang cukup lama. Gara tidak enak juga, memang saatnya ia membeli powerbank baru sepertinya.

Sorry, lama.”

“Oh? Eh… iya.”

Gara kembali berjongkok di depan Rey, pelan-pelan ia letakkan kaki Rey di atas pahanya. Memang terlihat sedikit memar, lalu Gara mengeluarkan handuk kecil dari tasnya, dan melilitkan es dengan handuk tersebut. Kemudian dikompreskan di bagian yang memar tadi, berharap keseleo Rey akan cepat membaik.

Handphone lo udah nyala?”

“Ini masih 5% sih.”

“Maaf ya, itu emang powerbank lama, jadi kayaknya agak lama keisinya.”

“Eh nggak apa-apa. Aku, eh, gue malah terima kasih lo mau bantu. Ini gue coba nyalain dulu deh.”

Meski pegal karena berjongkok dan jeans hitamnya basah di bagian paha karena es yang meleleh, Gara terus melanjutkan mengusap bagian pergelangan kaki yang memar itu. Tidak ia tekan terlalu keras, khawatir Rey kesakitan nanti.

“Ini gue balut perban dulu ya. Semoga nggak terlalu sakit.”

“Eh, iya. Ini lo nggak apa-apa?” Rey merasa tidak enak apalagi dengan kaki yang terangkat ke atas sedangkan dirinya malah main ponsel.

“Ya gue nggak apa-apa. Yang ada lo yang lagi sakit ini.”

Dengan telaten Gara mulai membalut pergelangan kaki Rey dengan perban setelah mengeringkannya. Rey yang tadinya berniat mengecek baterai ponselnya malah tertegun melihat Gara yang merawat dirinya dengan baik hanya karena keseleo akibat terjatuh.

Wah, bukannya kegeeran, tapi orang ini beneran nggak ada feeling sama gue?

“Lo pulang gimana?” tanya Gara, selesai dengan lilitan terakhirnya.

“Hah? Oh, iya. Ini gue mau tanya mami.”

Ternyata sebelum ia bertanya, sudah ada pesan dari maminya kalau Pak Dadang, supir keluarganya, tidak bisa datang menjemput karena cuti. Rey baru ingat kalau istri Pak Dadang memang sedang hamil besar, dan waktu melahirkan sudah semakin dekat. Ibunya sudah berpesan untuk Rey pulang dengan taksi saja.

“Yah.”

Desahan kecewanya sepertinya terdengar oleh lelaki yang baru saja selesai dengan perban di kakinya.

“Kenapa?”

“Lupa, supir gue cuti karena istrinya melahirkan. Jadi nggak bisa jemput.”

“Hmm—”

Belum juga Gara menyuarakan idenya, kata-katanya disela oleh lelaki berambut pink itu. “Eh iya, nama lo siapa? Belum kenalan. Gue Reynard.”

“Oh iya, Reynard ya.” Tangan yang terulur itu disambut hangat oleh Gara. “Hanggara. Panggil Gara aja. By the way, temen-temen gue pada tau sama lo sih, jadi ya gue pernah denger nama lo juga.”

“Uhm, Gara? Kalau gue minta lo buat anterin gue pulang, keterlaluan nggak sih? Eh gue lancang banget ya, padahal udah lo bantuin.”

Rey tertunduk karena malu. Sebenarnya bisa saja ia kirim pesan pada orang yang mungkin lebih bersemangat antar dia pulang. Seingat Rey, ada yang namanya Kevin yang sering menawarkan tumpangan. Selama ini Rey selalu tolak karena memang ia lebih nyaman diantar jemput oleh Pak Dadang.

“Eh? Aduh, bukannya nggak mau, Reyn. Tapi gue bawa motor. Nggak mungkin kan lo naik motor. Pesan taksi online aja, Reyn.”

“Hah? Lo panggil gue apa?”

“Reyn? Eh, sorry, itu karena biar gue inget nama lo Reynard, lo biasa dipanggil Rey kan ya?”

“Eh, nggak apa-apa, nggak apa-apa. Bebas aja. Gue suka kok. Maksudnya gue nggak masalah, gitu. Iya, gitu.”

Gara tertawa dan Rey pun menyesal karena Gara pasti menertawakan tingkahnya yang aneh itu.

“Ya udah, pesen aja dulu taksi online-nya. Gue tungguin di sini sampai dateng. Tadinya gue mau minta tolong temen gue buat anterin lo, tapi ternyata mereka semua sibuk dan banyak yang lagi nggak di kampus juga.”

“Iya, nggak apa-apa. Eh, tapi gue nggak bisa. Nggak pernah pasang aplikasinya. Harus download dulu berarti, ya?”

“Lo nggak ada aplikasi buat pesen taksi online?”

Rey menggelengkan kepalanya. Karena memang selama ini ia merasa tidak butuh itu. Kalaupun Rey pernah, itu juga karena ikut nebeng sama temannya yang pesan, atau Rey naik taksi biasa yang ada di depan mall.

“Ya udah, pakai punya gue aja, Reyn. Ini gue ada saldo e-wallet, ada voucher juga sepuluh ribu, lumayan.”

Dengan keadaan masih bingung karena belum pernah memesan taksi online, Rey akhirnya mengambil ponsel milik Gara yang disodorkan padanya.

“Uhm, tapi, gue…”

Rey ragu mengatakan kalau dia tidak tahu caranya, ia malu karena umumnya semua orang bisa, ‘kan?

“Oh, lo nggak mau gue tau alamat lo, ya? Ya udah pakai handphone lo aja, nanti download dulu aja.”

“Eh? Bukan gitu, Gara. Pakai handphone lo aja. Soalnya gue, gue nggak ngerti caranya.” Suara Rey semakin melemah karena ia malu.

“Oh. Oke.”

Gara kemudian duduk di samping Rey, entah mengapa jantung Rey kini berdegup lebih kencang. Kenapa begini ya? Apa ada hubungannya jantungnya itu dengan jarak dekat ini di mana Rey dapat mencium samar-samar dari wangi parfum Gara?

“Reyn. Ini gue udah atur lokasi jemput di sini. Coba ketik alamat lo, ya. Tenang aja, gue nggak akan macem-macem dengan informasi ini. Kalau history-nya bisa gue delete, nanti gue delete.”

Kenapa?

Kenapa ya Hanggara seperti ini?

Bukannya semua orang mau tahu di mana rumah Rey? Semua orang menawarkan apapun untuk Rey, tapi Hanggara tidak. Dia bahkan tidak menawarkan untuk mengantar Rey pulang. Kata Gara, tidak mungkin mengantar Rey yang sedang sakit dengan motornya. Rey merasa, apa ya? Senang? Tersanjung?

“Reyn?”

Kenapa pula Gara harus memanggilnya dengan panggilan yang berbeda? Rey jadi merasa spesial. Padahal itu hal yang biasa, ‘kan?

“Oh, iya.” Reynard mengambil ponsel dengan casing berwarna merah itu mengatur lokasi rumahnya. Setelah itu, ia kembalikan lagi pada Gara.

“Udah dapet nih driver-nya. Tunggu ya, masih di gerbang depan.”

“Makasih ya, Gara. Makasih buat semuanya. Gue nggak enak udah repotin lo malem-malem gini.”

“Santai, Reyn. Lo kan tadi jatuh, ya masa gue nggak nolongin?”

“Iya, sekali lagi makasih Gara. Oh iya, powerbank lo!”

“Lo ambil aja dulu, Reyn. Takutnya butuh nanti. Besok aja kasih ke gue kalau lo kuliah.”

“Hmm, caranya?”

“Oh iya juga ya. Lo sekelas sama Ryu nggak? Kalau ada sekelas, nanti titip Ryu aja.”

“Lho, lo kenal sama Ryu?”

“Kenal. Kan Ryu anak himpunan juga, Reyn.”

“Ah, iya sih.”

“Eh itu mobilnya udah dateng. Ayo, Reyn. Gue bantu jalan.”

Ketika itu Gara menawarkan lengannya dan Rey pun bertumpu pada lengan yang kuat menahan tubuhnya. Jantungnya kembali berdetak tidak karuan, rasanya sedikit pusing akibat gugup apalagi jarak Gara terasa lebih dekat.

“Pak, nanti tolong teman saya turunnya dibantu ya, soalnya kakinya keseleo, Pak. Mungkin jalannya susah. Nanti saya tambah tip, Pak.”

Gara menitip pesan pada supir dan itu tak kunjung membuat rasa yang berkecamuk dalam dada Reynard hilang.

“Gara, sekali lagi, makasih ya.”

Lelaki bernama Hanggara itu tersenyum dan saat itu Reynard sadar. Jadi ini, jatuh cinta pada pandangan pertama?

“Hati-hati di jalan, Reynard.”

Haekal terbangun pagi itu dan merasa sedikit kecewa saat ia tidak menemukan kekasihnya di sisi lain tempat tidurnya. Meskipun akhirnya ia tersenyum juga karena tetap senang dengan kedatangan sang kekasih tadi malam.

Rencananya, tadi malam itu Reno mengajak Haekal makan malam romantis di sebuah restoran yang ada di hotel bintang lima. Sayangnya, reservasi yang dilakukan jauh-jauh hari itu terpaksa harus dibatalkan karena Reno ada pekerjaan mendadak yang mengharuskan lelaki itu terbang ke Bali mengurus pekerjaannya.

Reno kini bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta, sedangkan Haekal masih di Bandung, menjadi bagian start-up yang mulai dikenal namanya. Karena bekerja di kota yang berbeda, pertemuan pun menjadi sangat jarang. Maka dari itu, Haekal sungguh senang saat Reno mengabari akan mendatanginya di Bandung. Setidaknya Reno tidak membatalkan perihal kedatangannya di kota kembang itu.

Sepertinya Reno sedang di kamar mandi, pikir Haekal awalnya. Ia pun bangkit dari tidurnya. Saat terduduk, Haekal sempat menguap dan mengucek matanya. Kala itulah dia sadar, ada sesuatu yang berbeda rasanya.

Jantungnya berdebar semakin kencang saat melihat benda asing berwarna silver melingkar di jari manisnya. Cincin sederhana dengan satu garis di tengahnya itu benar-benar baru ia lihat saat ini. Haekal merasa terkejut bercampur bingung dan senang karena ini.

Dilepasnya cincin itu dan ia dapat melihat tulisan yang terukir di badan cincin bagian dalam. Moreno's. Senyumnya tak dapat ia tahan lagi, terkembang manis di wajahnya.

Pintu kamarnya kini terbuka dan muncullah lelaki yang ia cintai itu, dikepalnya cincin di tangan lalu tersenyum ia ke arah sang kekasih.

“Loh, udah bangun?”

Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan oleh Haekal. Reno pun mendekat dan mengecup singkat bibir Haekal.

“Pagi, Sayang.” Karena gemas, diusap juga pipi Haekal sebelum ia berbalik dan mulai berjalan ke arah lemari Haekal.

“Nanti bakal kayak gini setiap hari?” tanya Haekal. Reno pun berbalik lagi karena pertanyaan tiba-tiba itu.

“Hm?”

“Ini.” Tangan Haekal menadah ke atas, dan Reno tersenyum melihat cincin di atas telapak tangan Haekal.

“Kenapa dilepas?” Reno malah balik bertanya.

“Kaget. Dikirain ini apaan. Ini kamu mau lamar aku? Akunya aja belum bilang iya, kok udah ada di jari aku, ya?”

Reno berjalan mendekat, lalu ia berdiri di hadapan Haekal, tepat di antara kedua kaki Haekal. Diusap kembali pipi yang menggemaskan itu.

“Abah sama Mama udah setuju, kok. Tadi malem waktu kamu lagi mandi, Reno udah izin sama Abah dan Mama. Mereka setuju sih. Terus katanya nanti buat WO dibantu diurusin sepupu kamu, Teh Rina.”

Haekal mendorong Reno meski tidak dengan keras. “Naon ih, kok udah main ngomongin WO aja?”

“Ekal mau hidup selamanya sama Moreno nggak? Rela nggak tiap bangun pagi pertama kali yang diliatnya Moreno? Susah senang sama Moreno, mau nggak Kal?”

“Ih ayang mah.” Haekal memeluk Reno dan menyembunyikan wajahnya di dada Reno. “Aku belum mandi ini, masih bau jigong kenapa kamu main ngelamar aja?”

Reno hanya tertawa dan melingkarkan tangannya di pundak Haekal.

“Nggak apa-apa, Sayang. Aku suka kamu kalau baru bangun tidur tuh. Lucu banget, gemesin.”

“Tapi malu, atuh. Kamunya udah mandi, udah wangi.”

“Jadi gimana? Apa jawabannya?” Reno mengusap punggung Haekal meski sebetulnya ia yang sedang gugup saat ini.

Hubungan mereka pernah kandas satu kali, saat itu karena keegoisan Reno yang menutup diri dan tidak membiarkan Haekal hadir saat keadaan dirinya sedang kacau. Namun akhirnya Reno berhasil mendapatkan kembali rasa percaya diri dan memperjuangkan lagi kekasihnya yang kini berada dalam dekapannya.

Tak mendengar jawaban apapun, Reno semakin takut. Jangan-jangan Haekal masih meragukan dirinya akibat hubungan yang lalu?

“Ekal, Moreno nggak akan ninggalin Haekal lagi. Reno janji mau lewatin semuanya sama kamu, Kal.”

Akhirnya Haekal melepas peluknya. Kepalanya terangkat dan sambil matanya terus menatap sang pacar, Haekal pun berkata, “oke, ayang. Aku mau selamanya sama Moreno.”

Mereka sama-sama tersenyum, bahagia meski dengan cara melamar yang sangat sederhana. Tapi memang seperti ini mereka saling mencintai, dengan sederhana.

Haekal pun menyodorkan telapak tangannya, memberikan kembali cincin itu pada Reno. Reno mengerti lalu mengambilnya, ia kini pasangkan kembali di jemari Haekal seperti tadi pagi saat Haekal masih terlelap.

Senyum Haekal semakin lebar saat ia juga melihat cincin yang sama melingkar di jari Reno. Haekal tahu, pasti ada tulisan Haekal's di sana.

—by tee.

cw // kissing


Saat Reno memasuki kamar Haekal, pemuda itu sedang duduk dan memainkan ponselnya.

“Kamu udah siap apaan, Kal?” tanya Reno, menyambung dari yang di chat.

“Siap pundung, atuh.” Yang katanya pundung, malah senyum-senyum. Membuat Reno juga ikut tersenyum karenanya.

Reno duduk di samping Haekal. Kepalanya menoleh ke samping, matanya hanya fokus tertuju pada kekasihnya.

“Tadi ngobrol apa aja sama Abah?”

“Aku besok diajak mancing.”

“Tuh kan. Abah mah emang kitu tah. Yang, kamu ke sini kan buat ngapelin aku. Jangan sama Abah terus, atuh.”

Melihat pacarnya mengomel dan terlihat kesal, membuat senyum Reno tak kunjung luntur sejak tadi.

Pundung, ya?” tanya Reno seraya mendekat ke arah Haekal.

Haekal yang merasakan hembusan nafas Reno begitu dekat, hanya terdiam. Padahal dari tadi ia sudah mengharapkan ini, tetapi dihadapkan dengan kejadian nyata, malah membuatnya gugup.

Perlahan Haekal mengangguk. Dan tanpa menunggu lama, satu kecupan mendarat di pipinya.

“Masih?”

Haekal tidak berani menatap langsung manik mata kekasihnya, jadi lagi-lagi hanya mampu menjawab dengan anggukan lemah.

Kali ini tak ada kecupan singkat di pipi, melainkan jemari dingin Reno yang menyentuh dagunya dan memalingkan muka sang kekasih agar mereka saling bertatapan.

Pelan-pelan Reno bergerak mendekat sampai bibirnya mencium bibir Haekal dengan lembut. Haekal menutup matanya merasakan sensasi luar biasa yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang, rasa bahagia meluap-luap ia rasakan dalam hatinya.

Bibir mereka saling memagut dengan perlahan seolah waktu berputar sangat lambat. Tak perlu terburu-buru untuk menyalurkan rasa cinta satu sama lain. Mereka masih punya banyak waktu. Ciuman terlepas, dan dengan nafas yang masih tersengal mereka saling memandang dan tersenyum kembali.

Dirasa kurang dalam menyampaikan perasaannya, Reno kembali menghujani Haekal dengan ciuman-ciuman kecil di sekitar wajah lelaki Gemini itu. Tawa pelan lolos dari bibir Haekal karenanya.

“Udah, Moreno.”

“Hm? Kamu manggil apa?” Reno masih belum menghentikan serangan ciumannya.

Haekal menangkup pipi Reno dan menahannya dengan kuat. Itu berhasil menghentikan hujanan ciuman itu, dan satu kecupan ia berikan karena gemas melihat Reno dengan bibir yang mengerucut.

“Moreno,” panggilnya, sengaja dengan nada suara yang lebih rendah.

Stop.”

“Moreno,” ulangnya lagi, kali ini ia berbisik di dekat telinga sang kekasih.

“Haekal, jangan.” Kali ini lebih tegas. Reno bahkan memberi jarak antara mereka. “Aku belum mau kebablasan.”

Gelak tawa langsung terdengar di dalam kamar kecil milik Haekal. Si empunya kamar sampai memegangi perutnya sampai tawanya terhenti perlahan.

“Aduh, kamu ada-ada aja.”

“Ya gimana, Kal. Suara kamu seksi gitu. Udah ah, aku mau tidur aja.”

Reno pun menyuruh Haekal pindah agar dirinya bisa berbaring di kasur milik Haekal.

“Kok tidur sih?” protes Haekal.

“Ya udah sini cuddle.” Reno merentangkan tangannya dan Haekal pun langsung menghamburkan dirinya dalam pelukan kekasihnya.

Area rahang Reno langsung jadi sasaran pertama Haekal, ia mengendus bagian itu dan membuat Reno terkekeh pelan. Reno menoleh dan mengecup hidung Haekal.

“Sayang kamu,” bisik Reno sambil menatap Haekal. Yang ditatap malah malu dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher si pacar.

“Sayang kamu juga.”


“Aku sayang kamu banget,” celetuk Renjun tiba-tiba seusai melantunkan lagu Goodnight. Nyanyiannya menggantung, terhenti begitu saja di bagian jaljayo nae sarang.

Haechan yang matanya sudah terpejam dan hampir saja tertidur jadi sadar kembali. Pasalnya kekasih pujaannya itu tak biasanya mengungkapkan rasa seperti barusan. Terkekeh Haechan dibuatnya, senang dan tidak menyangka.

“Aku juga,” jawabnya sambil menikmati elusan di kepalanya. Bibirnya terus tersenyum lebar. Lelah yang ia rasakan setelah aktifitas seharian penuh menguap begitu saja.

Jemari Renjun terus menyisir rambut hitam Haechan yang mulai panjang.

“Haechan.”

Don’t Haechan me,” ucap Haechan gusar, tetapi matanya tetap terpejam. Suara tawa Renjun bagaikan melodi yang paling indah di telinga Haechan, tak pernah bosan ia mendengar suara itu.

“Donghyuck-ah,” panggil Renjun dengan nada lembut. Kepala Haechan yang tadinya berada di atas paha Renjun, kini bergerak lalu ia sembunyikan wajahnya di perut Renjun.

“Halah lemah. Tadi aja maunya dipanggil Donghyuck.”

“Kalau kamu yang manggil tuh enak aja kedengarannya. Aku suka.”

“Hyuck-ah.”

“Lagi.”

“Hyuck-ah.”

“Kamu pernah dengar? Kalau kamu panggil bagian belakang namaku kayak gitu dan dengan nada seperti itu, itu bisa disimpulkan kita pacaran.”

“Aneh. Itu kesimpulan kamu aja kali.”

“Sekali lagi, dong,” pinta Haechan, kali ini matanya terbuka dan menatap langsung netra belahan jiwanya.

“Aku mau ngomong serius nih.”

Wah, sudah tanda-tanda, batin Haechan. Kalimat yang diucapkan dengan nada serius ditambah ekspresi wajah datarnya merupakan tanda emosi Renjun mulai naik. Tetapi Haechan malah tersenyum. Gemas, pikirnya.

“Iya, aku dengar kamu.”

“Gimana kalau seandainya semesta nggak mendukung kita buat bersama? Maksudnya, buat ke depannya nanti.”

Haechan menghembuskan nafas lalu bangkit dan duduk di samping Renjun. Punggungnya menempel ke tembok yang dingin, untungnya ia belum melepaskan hoodie hitamnya. Kepalanya ia sandarkan di bahu Renjun. Sebetulnya ia tidak terlalu ingin membicarakan hal yang terlalu serius saat ini, tetapi ia mengerti saat kekasihnya sedang memikirkan terlalu banyak hal. Semua harus dikeluarkan, diungkapkan agar ia merasa lega, agar pikirannya tidak terlalu kacau. Dan di saat seperti ini, Haechan paham bahwa Renjun-nya dalam keadaan yang sungguh vulnerable.

“Hmm. Kamu gimana?”

“Aku? Yah, aku… gimana ya? Aku—”

“Maksudnya, kamu mendukung kita untuk bersama nggak?”

“Ya iya dong.”

“Nah ya udah, kan kamu semestaku, Xiao Huang.”

Sejenak tubuh Renjun mematung, ia pun terdiam tak memberi respon apapun.

“Jelek banget gombalannya.” Terdengar sinis dan tak suka, tetapi Haechan tahu kekasihnya itu sedang salah tingkah. Entah karena ungkapan bahwa dirinya adalah semesta Haechan atau panggilan spesial. Sebetulnya mungkin itu tidak terlalu spesial, hanya saja jika Haechan yang memanggilnya, hati Renjun seperti melompat-lompat saking senangnya.

“Kamu tahu, dengan keadaan kita yang seperti ini, baik aku ataupun kamu, nggak akan ada yang bisa menjanjikan sesuatu untuk selamanya. Dan juga nggak ada yang bisa jawab apakah kita ditakdirkan untuk sama-sama sampai akhir hayat atau nggak.

Tapi satu hal yang harus kamu tahu, mau selama apapun kita bersama, meski semesta nggak mendukung kita dalam waktu yang lama, aku tahu perasaan aku ke kamu nggak akan bisa hilang semudah itu. You will stay here, in my heart, for a long time. Maaf aja, nggak semudah itu menghapus semua rasa buat seorang Huang Renjun.”

Renjun hanya terdiam, berusaha mencerna semua kata-kata kekasihnya. “Aku juga,” lirihnya setelah berkontemplasi dengan pikirannya sendiri. “Buat aku juga nggak akan mudah menghilangkan rasa buat seorang Lee Donghyuck.”

“Hm. Aku ngantuk, boleh tidur sekarang?”

“Boleh.”

“Tapi kamu juga tidur ya, aku mau peluk kamu.”

Akhirnya mereka merubah posisi, kini keduanya berbaring di atas kasur sempit Renjun.

“Nyanyikan lagi dong, sedikit aja.”

Gipeojin bam haneul Byeoljariui bicheul meogeumgo Geudael pume ango wirohae julgeyo Jaljayo nae sarang… eum~

Dan tertidurlah Haechan dengan Renjun dalam dekapannya. Tak perlu mempertanyakan apa yang akan terjadi di masa depan, kadang memikirkannya hanya menambah beban. Dan saat ini mereka cukup menikmati setiap detik yang dimiliki untuk saling mencinta.

—end.

With the light of the constellations in the deep night sky I'll hold you in my arms and comfort you Good night, my love, hmm

Jaemin masih terlelap meski pagi sudah tiba, bahkan matahari mulai meninggi. Ia bebas untuk bangun di siang hari karena ini masih libur musim panas, belum lagi karena tadi malam ada pesta kecil-kecilan di rumahnya.

Saat ia membuka mata dan diam menatap sinar mentari yang masuk melalui celah tirai, pintu kamarnya terbuka. Ia sudah hafal, satu-satunya orang yang bisa memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu hanya ada satu orang.

Bruk.

Seseorang menjatuhkan dirinya tepat di samping Jaemin yang masih terbaring, tangan yang melingkarinya memeluknya erat dari belakang, aroma kopi mulai memenuhi ruangan.

Good morning, boyfriend.

Jaemin menoleh, menyadari hal impulsif yang ia lakukan kemarin malam. Ia tersenyum pada sahabatnya yang terlihat bahagia.

“Hey, maaf aku baru bangun,” Jaemin mengucek matanya.

Donghyuck kini mulai menciumi area leher dekat scent glands milik Jaemin, mengendus sambil memejamkan matanya. “Smells like home.”

“Kayak omega nggak sih?”

“Kayak punyaku. Rumahku.”

“Jangan bercanda.” Jaemin mendorong kepala Donghyuck, ia ingin menunjukkan keseriusannya.

“Serius. Wangi kamu kayak apple pie yang Mami sering buat waktu aku kecil.”

It's not apple pie,” protes Jaemin.

“Iya tau, wangi cinnamon-nya lebih kuat sih.”

“Udah ah, aku belum mandi, Hyuck.”

“Pacarku tetep ganteng kok.”

Jaemin hanya memutar bola matanya dan beranjak dari tempat tidur.


Selesai mandi, Jaemin menemukan Donghyuck sedang bermain game dengan ponselnya di atas ranjang masih berantakan.

“Hyuck.”

“Hmm,” jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel. Jaemin tahu Donghyuck tidak akan fokus mendengarkannya, tetapi ia tetap lanjutkan.

“Aku kepikiran sesuatu.”

Terdengar serius dengan apa yang akan dibicarakannya, Donghyuck mematikan ponselnya dan kini hanya terfokus pada Jaemin.

“Aku bakal pake scent blocker, Hyuck.”

Donghyuck menaikkan alisnya, bingung dengan keputusan si pacar. “Kenapa?”

“Belum mau biarin orang tau tentang second gender aku.”

Donghyuck mendekat dan duduk di samping Jaemin, kemudian ia menggenggam tangannya dan mengusap pelan. Ia hanya terdiam, membiarkan Jaemin bercerita terlebih dahulu.

“Kamu tau, Papa dan Mama seneng banget aku alpha, apalagi Papa, udah berharap banget. Dan aku merasa, ini jadi pressure buatku. Aku takut aku nggak bisa jadi orang yang mereka harapkan. Kamu tahu, meski aku alpha, bisa jadi aku cuma alpha yang lemah, nggak bisa seperti yang lain.”

Genggaman tangan terlepas dan tergantikan oleh dekapan hangat. Wangi manis dari feromon Donghyuck kini lebih mendominasi dan menenangkan Jaemin.

You are more than your second gender. Our relationship is also more than that. Aku tahu, kamu khawatir sama hubungan kita.”

Don't let Papa know about us, okay? At least not now. Aku juga nggak mau teman-teman di sekolah tahu. Aku mau menikmati waktuku di dekat kamu tanpa judgement mereka akan second gender-ku.”

Tangan Jaemin ikut melingkar, memeluk kekasihnya. Wangi segar apel bercampur dengan sedikit spicy dari kayu manis membuat Donghyuck tersenyum.

We'll be okay, Na. I will fight for us.”

Janji yang terucap di tengah semerbak wewangian kopi bercampur kayu manis saat itu memang tampak mudah dijalankan. Rasa membuncah dan menggebu dari kedua remaja berusia tujuh belas tahun dirasa tak 'kan hilang semudah itu.

Keduanya yakin, dua lelaki alpha pasti bisa bersama.

cw // harsh words 929 words


Renjun menghela nafas untuk kesekian kalinya malam itu. Lembur di Jumat malam bukanlah hal yang paling menyenangkan. Beberapa catatan revisi untuk desain yang ia kerjakan ingin segera diselesaikannya agar pikirannya di akhir pekannya tidak terganggu oleh urusan pekerjaan. Sedikit lagi, batin Renjun. Sedikit lagi dan ia bisa segera pulang ke apartemen studionya dan merebahkan diri di kasur empuknya.

Selesai. Renjun tersenyum menatap layar iMac-nya sembari mengangkat tangannya, meregangkan otot-otot yang terasa lelah diajak bekerja seharian. Dalam bayangnya, sepertinya secangkir teh hangat bisa membantu melepas sedikit penat, maka ia beranjak dan berjalan menuju pantry.

Suasana kantor sangat sepi dan beberapa lampu bahkan sudah dimatikan. Hari ini adalah Jumat malam dan sekilas saat ia melihat ruangan boss-nya, Kim Doyoung, yang kosong dan gelap membuatnya menyimpulkan bahwa semua karyawan ingin cepat pulang saat atasan mereka memutuskan untuk tidak lembur.

Terkejut akibat mendengar suara-suara dari dalam pantry, Renjun menabrak pintu pantry yang setengah terbuka itu, dan ternyata benang-benang pada ujung lengan kemejanya terkait pada sisi pintu membuatnya memekik dan spontan menjauhkan dirinya dari pintu. Hal itu menyebabkan pintu terbanting dan akhirnya tertutup.

Seorang lelaki yang tadi Renjun sadari keberadaannya, menoleh ke belakang karena mendengar keributan kecil.

Lee Haechan, lelaki dengan bahu lebar itu, Renjun mengenalnya sebagai sekretaris Kim Doyoung. Ia tengah membuat secangkir kopi. Hal yang lumrah melihat Haechan masih di kantor pada jam-jam ini, jadi Renjun hanya menyapanya dengan menganggukkan kepalanya yang langsung dibalas anggukan juga meski sepertinya Haechan tidak menyangka Renjun masih berada di kantor.

“Lembur?” tanya Haechan sambil mengaduk minuman hitam dalam cangkirnya.

“Baru selesai. Lo juga?” Renjun balik bertanya, hanya untuk basa-basi.

“Biasalah, panggilan malam. Tapi udah beres juga.”

Renjun mengangguk paham lalu berjalan mendekati Haechan, mengambil satu cangkir bersih dan satu saset teh hijau.

“Eh anjir!! Lo kenapa tutup pintunya?” Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi terdengar nyaring di kesunyian malam. Haechan menatap ke arah pintu dengan pandangan terkejut membuat Renjun mengikuti aksinya.

Memang kenapa kalau tertutup? Tanyanya hanya dalam hati.

“Pintunya rusak, Ren. Kita nggak bisa keluar.” Haechan terlihat panik lalu berjalan ke arah pintu. Dan benar saja, pintunya kini tidak dapat dibuka dan Haechan menghembuskan nafas lalu membenturkan kepalanya pada pintu.

“Ya udah, santai. Lo nggak bisa hubungi OB yang shift malam?”

“Nggak bisa, Ren. Baru ganti orang. Yang dulu resign dan yang sekarang gue belum punya kontaknya.”

“Hmm.” Renjun mengangguk. “Ya udah tungguin aja. Nanti sekitar jam 12 bakal ada yang dateng buat beres-beres.”

Ekspresi Haechan terlihat berlebihan menurut Renjun. Panik, kaget, dan tidak percaya sekaligus. “Woahhh. Nggak bisa. Gue harus pulang saat ini juga.”

“Nih minum dulu. Lo tenangin diri dulu.”

Haechan meraih cangkir kopi yang Renjun berikan padanya. Setelah menyesap sedikit minuman pahit itu, Haechan terlihat lebih rileks.

“Nggak apa-apa, lo nggak usah khawatir. Kan nggak sendirian. Ada gue.”

“Bukan gitu masalahnya.” Haechan menunduk.

“Hmm, lo nggak claustrophobia, ‘kan?”

Ruang pantry ini memang tidak luas, dengan keadaan yang tertutup dan mereka terjebak di dalamnya sehingga tidak bisa keluar, Renjun jadi khawatir jika ternyata Haechan fobia akan ruangan sempit.

Haechan menggelengkan kepalanya, ia masih tertunduk seakan keadaan terjebak ini merupakan bencana besar baginya.

Renjun awalnya hanya diam dan bersandar pada lemari supply sambil menyeruput teh hijaunya yang masih agak panas. Namun beberapa suara notifikasi dari ponsel Haechan mulai mengganggunya.

“Itu kayaknya ada chat masuk. Lo buka deh. Berisik banget.”

Perubahan air muka Haechan kentara sekali dan berubah-ubah hanya dalam tempo satu detik. Lagi-lagi ia terlihat kaget, kesal, marah, lalu seperti ingin menangis. Jemarinya aktif mengetik di ponselnya.

“Fuck.”

Renjun dapat mendengar Haechan mengucap kata kasar itu meski tidak lantang. Nampaknya Haechan ada masalah.

“Gue harus balik.” Kali ini Haechan berkata sambil mengipasi dirinya. Ia sepertinya terburu-buru. Ya, memang di ruangan ini tidak ada pendingin udara, tapi Renjun rasa malam ini tidak terlalu dingin.

“Lo kenapa?” tanya Renjun setelah memperhatikan Haechan terlihat panik dan berjalan bolak-balik tidak jelas.

“Gue harus balik, Ren. Sekarang. Nggak bisa lagi.” Haechan mengatur nafasnya, tangannya masih mengipasi dirinya. Renjun akhirnya meletakkan cangkir teh miliknya dan mendekati Haechan.

“Haechan?”

Saat Renjun menepuk pundaknya, Haechan melonjak kaget dan mundur menghindar darinya. Reaksinya membuat Renjun menaikkan alisnya.

Haechan menggelengkan kepalanya dengan cepat, menatapnya horor seolah Renjun sudah melakukan kesalahan besar.

“Lo kenapa? Beneran bukan claustrophobia?”

Tangan Renjun masih terjulur meski sudah tidak menyentuh Haechan lagi.

“Bukan. Ini, ini gue… nggak apa-apa.”

Sayangnya, di mata Renjun, Haechan tidak terlihat baik-baik saja. Ia terlihat kurang fokus, nafasnya memburu, wajahnya merona, dan juga ia sepertinya berkeringat. Apakah Haechan mengalami panic attack?

“Aduh gue nggak bawa handphone. Sini handphone lo, gue pinjem deh, gue coba kabari orang di luar ya. Atau mungkin temen lo atau siapa gitu yang bisa bantu kita keluar dari sini.”

Renjun melangkah mendekati Haechan, namun lelaki itu malah mundur dan menjauh, bahkan sampai menyembunyikan ponselnya di balik badannya.

“Nggak, jangan. Gue udah nggak bisa lagi. Udah nggak tahan.”

Renjun langsung mendekat saat Haechan tiba-tiba limbung dan langsung jatuh terduduk.

“Hey, hey. Haechan?”

Dengan mata berair Haechan menatapnya. “Sorry, Renjun. Gue, gue tadi di bar nggak sengaja minum— minuman itu udah dicampur aphrodisiac.”

Mata Renjun membesar, ia hanya menatap Haechan yang dengan kepala tertunduk dan kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya.

Haechan mulai melepas jasnya kemudian melonggarkan dasinya. “Maaf, lo harus kejebak di sini sama gue dengan keadaan gue kayak gini.”

Haechan menutup matanya dan menghembuskan nafas sehingga terdengar seperti erangan pelan.

It's okay. Atau mungkin, ada yang bisa gue bantu? Ya gue nggak tau jenis aphrodisiac apa yang lo minum, tapi kalau— hm, kalau misal lo butuh bantuan, yaa bilang aja.”

Renjun sendiri sebetulnya tidak paham dengan yang ia tawarkan. Jika ini berkaitan dengan aphrodisiac maka ini merupakan hal yang sensitif tentunya.

“Renjun!” panggil Haechan setelah mereka keluar dari kelas.

Untung saja tadi Haechan sudah membereskan barangnya lebih cepat sehingga ia bisa mengejar Renjun yang langsung keluar begitu kelas berakhir.

“Hm?”

Renjun, lagi-lagi dengan raut muka yang polos, menoleh seolah tadi ia tidak mengirim pesan seduktif pada Haechan.

“Jadi nggak?” tanya Haechan singkat.

“Apa?”

Sungguh, jika perlu Haechan ingin mempersembahkan penghargaan Aktor Terbaik untuk Renjun yang Haechan yakin sedang berpura-pura tidak tahu.

“Gak usah pura-pura gak inget. Mau gue nanya secara gamblang di sini?” Haechan menaikkan alisnya. Di sekitar mereka masih banyak orang karena kelas baru saja bubar.

“Gue laper. Mau makan dulu. Butuh tenaga buat ng—”

Belum selesai, Jaemin tiba-tiba datang dan merangkul Renjun. “Tenaga buat apaan?” tanyanya ikut nimbrung.

“Ngerjain tugas lah, apa lagi? Yuk ke kantin, gue lapar.”

Sebelum Renjun pergi dengan Jaemin, Haechan menahan tangannya. “Nggak, lo pergi sama gue.”

“Lo bukannya ada kelas lagi, Chan?” Jaemin bertanya lagi, tangannya yang tadi ada di pundak Renjun kini ia turunkan.

“Ada, tapi gue gak masuk. Ada urusan penting sama Renjun. Ayo.”

Haechan menarik pelan tangan Renjun dan pemuda berkacamata itu mulai mendekatinya. Jaemin, teman mereka, akhirnya pamit dan meninggalkan mereka berdua.


“Gue laper. Mau makan.” Renjun menarik kembali tangannya, lalu ia lipat di dadanya.

“Ayo drive thru McD aja.”

“Kita mau ke mana abis itu?” Renjun akhirnya mengikuti Haechan yang mulai berjalan ke arah parkiran.

“Ke apartemen gua.”

Di dalam mobil Haechan hanya terdengar lantunan lagu dari radio yang menyala. Tak ada satupun yang berbicara di antara mereka sampai mobil mulai memasuki area McDonald's yang letaknya tak jauh dari kampus.

“Ini beneran, ya?” tanya Renjun.

“Apa? McD-nya atau ngewenya?”

“Ihh ngomongnya.”

“Loh, kamu juga tadi frontal kok di chat.” Haechan terkekeh. “Kalau mau di-cancel bilang sekarang, nanti gua parkir, kita makan di sini aja.”

“Nggak usah.” Saat Renjun menyadari Haechan menoleh ke arahnya, ia lanjutkan kembali kata-katanya. “Nggak usah parkir. Langsung aja.”

Haechan tersenyum saat ia melihat Renjun memalingkan mukanya, melihat ke arah jendela seolah menyembunyikan semburat merah di pipinya.

Satu hal yang Haechan sesali adalah saat ia mengatakan sesuatu saat mobil di depannya selesai dengan pesanannya.

“Kita FWB-an aja lah Jun.”

“Ayo.”

Jawaban singkat dan cepat dari Renjun membuat Haechan mematung. Ia bahkan membiarkan mobilnya berhenti meski mobil di depannya kini sudah melaju. Sejujurnya pernyataan tadi itu hanya merupakan candaan, tapi mengapa Renjun seperti menanggapinya dengan serius?

“Jalan. Pesen dulu aja. Kagetnya nanti lagi.”

Setelah selesai dengan pesanan mereka, suasana di dalam mobil pun kembali hening. Bahkan tak ada suara radio karena tadi sempat dimatikan saat memesan makanan.

“Lu nggak ada pacar, kan?”

“Nggak. Lo gimana? Gue nggak mau ya jadi perusak hubungan orang.”

Haechan tertawa pelan. “Nggak, lagi sendiri kok gua.”

“Jangan sama yang lain kalau masih FWB-an sama gue.” Renjun berusaha fokus melihat jalanan di depannya saat mengatakan itu.

“Okay.”