Love at First Sight
1.2k words
Tatkala melihat lelaki berambut merah muda itu terjatuh, Gara tadi langsung datang membantu. Ia seketika mengenali bahwa lelaki itu adalah incaran teman-temannya, meski lupa namanya. Rey… Reynan? Ya, mereka menyebutnya Rey, seingatnya. Sepertinya Rey sedang menunggu jemputan supir kalau dari informasi yang Gara dapatkan.
Dan kini ia berjalan cepat menuju kantin, berharap menemukan es batu untuk mengompres keseleo Rey. Gara pun mengambil ponselnya dan berniat menghubungi teman-temannya. Ia yakin, mereka akan mau membantu mengantar Rey pulang. Dan tentunya teman-temannya ini semua bisa dipercaya, ya setidaknya oleh Gara.
Sayangnya, sepertinya teman-teman Gara sedang sibuk semua. Gara juga tidak enak kalau mengganggu mereka untuk urusan ini. Hampir semua bahkan tidak sedang berada di kampus. Marka pun sedang memimpin rapat, tentu Gara tidak ingin mengganggu.
Setelah membeli es batu, Gara sempat mampir ke ruang sekretariat KSR PMI, meminta perban dan beberapa barang yang kira-kira dibutuhkan. Beberapa anggota di sana menawarkan bantuan, tetapi Gara menolak dengan alasan ia sudah cukup paham. Tentu saja karena dulu Gara sempat menjadi anggota PMR saat sekolah.
Saat kembali, ia menemukan Rey yang masih menatap sedih ponselnya. Sepertinya proses charging membutuhkan waktu yang cukup lama. Gara tidak enak juga, memang saatnya ia membeli powerbank baru sepertinya.
“Sorry, lama.”
“Oh? Eh… iya.”
Gara kembali berjongkok di depan Rey, pelan-pelan ia letakkan kaki Rey di atas pahanya. Memang terlihat sedikit memar, lalu Gara mengeluarkan handuk kecil dari tasnya, dan melilitkan es dengan handuk tersebut. Kemudian dikompreskan di bagian yang memar tadi, berharap keseleo Rey akan cepat membaik.
“Handphone lo udah nyala?”
“Ini masih 5% sih.”
“Maaf ya, itu emang powerbank lama, jadi kayaknya agak lama keisinya.”
“Eh nggak apa-apa. Aku, eh, gue malah terima kasih lo mau bantu. Ini gue coba nyalain dulu deh.”
Meski pegal karena berjongkok dan jeans hitamnya basah di bagian paha karena es yang meleleh, Gara terus melanjutkan mengusap bagian pergelangan kaki yang memar itu. Tidak ia tekan terlalu keras, khawatir Rey kesakitan nanti.
“Ini gue balut perban dulu ya. Semoga nggak terlalu sakit.”
“Eh, iya. Ini lo nggak apa-apa?” Rey merasa tidak enak apalagi dengan kaki yang terangkat ke atas sedangkan dirinya malah main ponsel.
“Ya gue nggak apa-apa. Yang ada lo yang lagi sakit ini.”
Dengan telaten Gara mulai membalut pergelangan kaki Rey dengan perban setelah mengeringkannya. Rey yang tadinya berniat mengecek baterai ponselnya malah tertegun melihat Gara yang merawat dirinya dengan baik hanya karena keseleo akibat terjatuh.
Wah, bukannya kegeeran, tapi orang ini beneran nggak ada feeling sama gue?
“Lo pulang gimana?” tanya Gara, selesai dengan lilitan terakhirnya.
“Hah? Oh, iya. Ini gue mau tanya mami.”
Ternyata sebelum ia bertanya, sudah ada pesan dari maminya kalau Pak Dadang, supir keluarganya, tidak bisa datang menjemput karena cuti. Rey baru ingat kalau istri Pak Dadang memang sedang hamil besar, dan waktu melahirkan sudah semakin dekat. Ibunya sudah berpesan untuk Rey pulang dengan taksi saja.
“Yah.”
Desahan kecewanya sepertinya terdengar oleh lelaki yang baru saja selesai dengan perban di kakinya.
“Kenapa?”
“Lupa, supir gue cuti karena istrinya melahirkan. Jadi nggak bisa jemput.”
“Hmm—”
Belum juga Gara menyuarakan idenya, kata-katanya disela oleh lelaki berambut pink itu. “Eh iya, nama lo siapa? Belum kenalan. Gue Reynard.”
“Oh iya, Reynard ya.” Tangan yang terulur itu disambut hangat oleh Gara. “Hanggara. Panggil Gara aja. By the way, temen-temen gue pada tau sama lo sih, jadi ya gue pernah denger nama lo juga.”
“Uhm, Gara? Kalau gue minta lo buat anterin gue pulang, keterlaluan nggak sih? Eh gue lancang banget ya, padahal udah lo bantuin.”
Rey tertunduk karena malu. Sebenarnya bisa saja ia kirim pesan pada orang yang mungkin lebih bersemangat antar dia pulang. Seingat Rey, ada yang namanya Kevin yang sering menawarkan tumpangan. Selama ini Rey selalu tolak karena memang ia lebih nyaman diantar jemput oleh Pak Dadang.
“Eh? Aduh, bukannya nggak mau, Reyn. Tapi gue bawa motor. Nggak mungkin kan lo naik motor. Pesan taksi online aja, Reyn.”
“Hah? Lo panggil gue apa?”
“Reyn? Eh, sorry, itu karena biar gue inget nama lo Reynard, lo biasa dipanggil Rey kan ya?”
“Eh, nggak apa-apa, nggak apa-apa. Bebas aja. Gue suka kok. Maksudnya gue nggak masalah, gitu. Iya, gitu.”
Gara tertawa dan Rey pun menyesal karena Gara pasti menertawakan tingkahnya yang aneh itu.
“Ya udah, pesen aja dulu taksi online-nya. Gue tungguin di sini sampai dateng. Tadinya gue mau minta tolong temen gue buat anterin lo, tapi ternyata mereka semua sibuk dan banyak yang lagi nggak di kampus juga.”
“Iya, nggak apa-apa. Eh, tapi gue nggak bisa. Nggak pernah pasang aplikasinya. Harus download dulu berarti, ya?”
“Lo nggak ada aplikasi buat pesen taksi online?”
Rey menggelengkan kepalanya. Karena memang selama ini ia merasa tidak butuh itu. Kalaupun Rey pernah, itu juga karena ikut nebeng sama temannya yang pesan, atau Rey naik taksi biasa yang ada di depan mall.
“Ya udah, pakai punya gue aja, Reyn. Ini gue ada saldo e-wallet, ada voucher juga sepuluh ribu, lumayan.”
Dengan keadaan masih bingung karena belum pernah memesan taksi online, Rey akhirnya mengambil ponsel milik Gara yang disodorkan padanya.
“Uhm, tapi, gue…”
Rey ragu mengatakan kalau dia tidak tahu caranya, ia malu karena umumnya semua orang bisa, ‘kan?
“Oh, lo nggak mau gue tau alamat lo, ya? Ya udah pakai handphone lo aja, nanti download dulu aja.”
“Eh? Bukan gitu, Gara. Pakai handphone lo aja. Soalnya gue, gue nggak ngerti caranya.” Suara Rey semakin melemah karena ia malu.
“Oh. Oke.”
Gara kemudian duduk di samping Rey, entah mengapa jantung Rey kini berdegup lebih kencang. Kenapa begini ya? Apa ada hubungannya jantungnya itu dengan jarak dekat ini di mana Rey dapat mencium samar-samar dari wangi parfum Gara?
“Reyn. Ini gue udah atur lokasi jemput di sini. Coba ketik alamat lo, ya. Tenang aja, gue nggak akan macem-macem dengan informasi ini. Kalau history-nya bisa gue delete, nanti gue delete.”
Kenapa?
Kenapa ya Hanggara seperti ini?
Bukannya semua orang mau tahu di mana rumah Rey? Semua orang menawarkan apapun untuk Rey, tapi Hanggara tidak. Dia bahkan tidak menawarkan untuk mengantar Rey pulang. Kata Gara, tidak mungkin mengantar Rey yang sedang sakit dengan motornya. Rey merasa, apa ya? Senang? Tersanjung?
“Reyn?”
Kenapa pula Gara harus memanggilnya dengan panggilan yang berbeda? Rey jadi merasa spesial. Padahal itu hal yang biasa, ‘kan?
“Oh, iya.” Reynard mengambil ponsel dengan casing berwarna merah itu mengatur lokasi rumahnya. Setelah itu, ia kembalikan lagi pada Gara.
“Udah dapet nih driver-nya. Tunggu ya, masih di gerbang depan.”
“Makasih ya, Gara. Makasih buat semuanya. Gue nggak enak udah repotin lo malem-malem gini.”
“Santai, Reyn. Lo kan tadi jatuh, ya masa gue nggak nolongin?”
“Iya, sekali lagi makasih Gara. Oh iya, powerbank lo!”
“Lo ambil aja dulu, Reyn. Takutnya butuh nanti. Besok aja kasih ke gue kalau lo kuliah.”
“Hmm, caranya?”
“Oh iya juga ya. Lo sekelas sama Ryu nggak? Kalau ada sekelas, nanti titip Ryu aja.”
“Lho, lo kenal sama Ryu?”
“Kenal. Kan Ryu anak himpunan juga, Reyn.”
“Ah, iya sih.”
“Eh itu mobilnya udah dateng. Ayo, Reyn. Gue bantu jalan.”
Ketika itu Gara menawarkan lengannya dan Rey pun bertumpu pada lengan yang kuat menahan tubuhnya. Jantungnya kembali berdetak tidak karuan, rasanya sedikit pusing akibat gugup apalagi jarak Gara terasa lebih dekat.
“Pak, nanti tolong teman saya turunnya dibantu ya, soalnya kakinya keseleo, Pak. Mungkin jalannya susah. Nanti saya tambah tip, Pak.”
Gara menitip pesan pada supir dan itu tak kunjung membuat rasa yang berkecamuk dalam dada Reynard hilang.
“Gara, sekali lagi, makasih ya.”
Lelaki bernama Hanggara itu tersenyum dan saat itu Reynard sadar. Jadi ini, jatuh cinta pada pandangan pertama?
“Hati-hati di jalan, Reynard.”