after working hour

cw // harsh words 929 words


Renjun menghela nafas untuk kesekian kalinya malam itu. Lembur di Jumat malam bukanlah hal yang paling menyenangkan. Beberapa catatan revisi untuk desain yang ia kerjakan ingin segera diselesaikannya agar pikirannya di akhir pekannya tidak terganggu oleh urusan pekerjaan. Sedikit lagi, batin Renjun. Sedikit lagi dan ia bisa segera pulang ke apartemen studionya dan merebahkan diri di kasur empuknya.

Selesai. Renjun tersenyum menatap layar iMac-nya sembari mengangkat tangannya, meregangkan otot-otot yang terasa lelah diajak bekerja seharian. Dalam bayangnya, sepertinya secangkir teh hangat bisa membantu melepas sedikit penat, maka ia beranjak dan berjalan menuju pantry.

Suasana kantor sangat sepi dan beberapa lampu bahkan sudah dimatikan. Hari ini adalah Jumat malam dan sekilas saat ia melihat ruangan boss-nya, Kim Doyoung, yang kosong dan gelap membuatnya menyimpulkan bahwa semua karyawan ingin cepat pulang saat atasan mereka memutuskan untuk tidak lembur.

Terkejut akibat mendengar suara-suara dari dalam pantry, Renjun menabrak pintu pantry yang setengah terbuka itu, dan ternyata benang-benang pada ujung lengan kemejanya terkait pada sisi pintu membuatnya memekik dan spontan menjauhkan dirinya dari pintu. Hal itu menyebabkan pintu terbanting dan akhirnya tertutup.

Seorang lelaki yang tadi Renjun sadari keberadaannya, menoleh ke belakang karena mendengar keributan kecil.

Lee Haechan, lelaki dengan bahu lebar itu, Renjun mengenalnya sebagai sekretaris Kim Doyoung. Ia tengah membuat secangkir kopi. Hal yang lumrah melihat Haechan masih di kantor pada jam-jam ini, jadi Renjun hanya menyapanya dengan menganggukkan kepalanya yang langsung dibalas anggukan juga meski sepertinya Haechan tidak menyangka Renjun masih berada di kantor.

“Lembur?” tanya Haechan sambil mengaduk minuman hitam dalam cangkirnya.

“Baru selesai. Lo juga?” Renjun balik bertanya, hanya untuk basa-basi.

“Biasalah, panggilan malam. Tapi udah beres juga.”

Renjun mengangguk paham lalu berjalan mendekati Haechan, mengambil satu cangkir bersih dan satu saset teh hijau.

“Eh anjir!! Lo kenapa tutup pintunya?” Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi terdengar nyaring di kesunyian malam. Haechan menatap ke arah pintu dengan pandangan terkejut membuat Renjun mengikuti aksinya.

Memang kenapa kalau tertutup? Tanyanya hanya dalam hati.

“Pintunya rusak, Ren. Kita nggak bisa keluar.” Haechan terlihat panik lalu berjalan ke arah pintu. Dan benar saja, pintunya kini tidak dapat dibuka dan Haechan menghembuskan nafas lalu membenturkan kepalanya pada pintu.

“Ya udah, santai. Lo nggak bisa hubungi OB yang shift malam?”

“Nggak bisa, Ren. Baru ganti orang. Yang dulu resign dan yang sekarang gue belum punya kontaknya.”

“Hmm.” Renjun mengangguk. “Ya udah tungguin aja. Nanti sekitar jam 12 bakal ada yang dateng buat beres-beres.”

Ekspresi Haechan terlihat berlebihan menurut Renjun. Panik, kaget, dan tidak percaya sekaligus. “Woahhh. Nggak bisa. Gue harus pulang saat ini juga.”

“Nih minum dulu. Lo tenangin diri dulu.”

Haechan meraih cangkir kopi yang Renjun berikan padanya. Setelah menyesap sedikit minuman pahit itu, Haechan terlihat lebih rileks.

“Nggak apa-apa, lo nggak usah khawatir. Kan nggak sendirian. Ada gue.”

“Bukan gitu masalahnya.” Haechan menunduk.

“Hmm, lo nggak claustrophobia, ‘kan?”

Ruang pantry ini memang tidak luas, dengan keadaan yang tertutup dan mereka terjebak di dalamnya sehingga tidak bisa keluar, Renjun jadi khawatir jika ternyata Haechan fobia akan ruangan sempit.

Haechan menggelengkan kepalanya, ia masih tertunduk seakan keadaan terjebak ini merupakan bencana besar baginya.

Renjun awalnya hanya diam dan bersandar pada lemari supply sambil menyeruput teh hijaunya yang masih agak panas. Namun beberapa suara notifikasi dari ponsel Haechan mulai mengganggunya.

“Itu kayaknya ada chat masuk. Lo buka deh. Berisik banget.”

Perubahan air muka Haechan kentara sekali dan berubah-ubah hanya dalam tempo satu detik. Lagi-lagi ia terlihat kaget, kesal, marah, lalu seperti ingin menangis. Jemarinya aktif mengetik di ponselnya.

“Fuck.”

Renjun dapat mendengar Haechan mengucap kata kasar itu meski tidak lantang. Nampaknya Haechan ada masalah.

“Gue harus balik.” Kali ini Haechan berkata sambil mengipasi dirinya. Ia sepertinya terburu-buru. Ya, memang di ruangan ini tidak ada pendingin udara, tapi Renjun rasa malam ini tidak terlalu dingin.

“Lo kenapa?” tanya Renjun setelah memperhatikan Haechan terlihat panik dan berjalan bolak-balik tidak jelas.

“Gue harus balik, Ren. Sekarang. Nggak bisa lagi.” Haechan mengatur nafasnya, tangannya masih mengipasi dirinya. Renjun akhirnya meletakkan cangkir teh miliknya dan mendekati Haechan.

“Haechan?”

Saat Renjun menepuk pundaknya, Haechan melonjak kaget dan mundur menghindar darinya. Reaksinya membuat Renjun menaikkan alisnya.

Haechan menggelengkan kepalanya dengan cepat, menatapnya horor seolah Renjun sudah melakukan kesalahan besar.

“Lo kenapa? Beneran bukan claustrophobia?”

Tangan Renjun masih terjulur meski sudah tidak menyentuh Haechan lagi.

“Bukan. Ini, ini gue… nggak apa-apa.”

Sayangnya, di mata Renjun, Haechan tidak terlihat baik-baik saja. Ia terlihat kurang fokus, nafasnya memburu, wajahnya merona, dan juga ia sepertinya berkeringat. Apakah Haechan mengalami panic attack?

“Aduh gue nggak bawa handphone. Sini handphone lo, gue pinjem deh, gue coba kabari orang di luar ya. Atau mungkin temen lo atau siapa gitu yang bisa bantu kita keluar dari sini.”

Renjun melangkah mendekati Haechan, namun lelaki itu malah mundur dan menjauh, bahkan sampai menyembunyikan ponselnya di balik badannya.

“Nggak, jangan. Gue udah nggak bisa lagi. Udah nggak tahan.”

Renjun langsung mendekat saat Haechan tiba-tiba limbung dan langsung jatuh terduduk.

“Hey, hey. Haechan?”

Dengan mata berair Haechan menatapnya. “Sorry, Renjun. Gue, gue tadi di bar nggak sengaja minum— minuman itu udah dicampur aphrodisiac.”

Mata Renjun membesar, ia hanya menatap Haechan yang dengan kepala tertunduk dan kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya.

Haechan mulai melepas jasnya kemudian melonggarkan dasinya. “Maaf, lo harus kejebak di sini sama gue dengan keadaan gue kayak gini.”

Haechan menutup matanya dan menghembuskan nafas sehingga terdengar seperti erangan pelan.

It's okay. Atau mungkin, ada yang bisa gue bantu? Ya gue nggak tau jenis aphrodisiac apa yang lo minum, tapi kalau— hm, kalau misal lo butuh bantuan, yaa bilang aja.”

Renjun sendiri sebetulnya tidak paham dengan yang ia tawarkan. Jika ini berkaitan dengan aphrodisiac maka ini merupakan hal yang sensitif tentunya.