you are here

Sesak.

Itu yang Renjun rasakan. Seperti ada sesuatu yang menusuk dadanya.

“Hahh hahh hahh.”

Deru nafas memburu serta peluh yang bercucuran menyambut pagi Renjun yang langsung bangun terduduk karena mimpi yang terasa menyesakkan. Kaus yang digunakannya basah oleh peluhnya sendiri. Seperti habis latihan menari, tetapi kali ini Renjun baru saja bangun dari tidur.

Ada beberapa mimpi yang hadir dalam semalam. Satu waktu ia menjadi Renjun yang merupakan anak dari konglomerat yang dijodohkan dengan keluarga konglomerat lainnya. Mimpi itu terasa nyata, memberinya harapan indah dan membuatnya terlena, namun sayangnya ia berpindah ke Renjun lainnya tepat setelah ciuman panas yang memabukkan.

Renjun yang kedua adalah mahasiswa yang sangat disayang oleh kekasihnya, Lee Haechan. Di tempat lain, kisah cintanya cukup memilukan tetapi mereka berusaha dan bertahan untuk satu sama lain.

Renjun tidak ingat berapa tempat yang ia datangi dalam semalam. Rasanya ia pergi ke banyak tempat dan mengalami banyak cerita. Tetapi yang paling menyakitkan tetap cerita yang terakhir. Bagaimana bisa takdir yang dialaminya begitu menyedihkan?

Renjun sebetulnya masih bingung akibat ada banyak kehidupan yang ia alami. Apakah itu semesta yang lain?

Ia menyibakkan selimutnya dan berjalan ke luar kamarnya. Mimpi yang terakhir benar-benar menyesakkan dadanya. Renjun masih ingat kenangan bahagia dari Renjun dan Donghyuck yang ada dalam mimpinya. Indah dan penuh tawa. Renjun tersenyum mengingat kenangan bahagia itu meski memang bukan miliknya.

Dapur saat itu cukup ramai. Ada tiga orang lelaki dewasa yang bercengkrama, tetapi ramainya luar biasa. Mereka saling bersahutan, entah apa yang didiskusikan. Hanya lelaki berambut hitam yang terlihat berantakan itu yang menarik perhatiannya. Yang selalu muncul di setiap bagian mimpinya tadi malam.

Renjun tersenyum lagi, ia mendekat dan mengecup pipi lelaki yang langsung menghentikan pembicaraannya, hanya diam mematung sambil duduk di meja makan.

“Selamat pagi, Hyuck.”

Diskusi ramai antara beberapa lelaki itu langsung sunyi, semua memandang ke arah Renjun yang kini berjalan mendekati dispenser untuk mengambil air. Renjun menoleh ke belakangnya sebentar, bingung mengapa dapur tiba-tiba menjadi sunyi. Tetapi kedua lelaki itu hanya balas menatapnya dan Donghyuck masih terdiam sambil memegang pipinya.

Good morning my boyssss~”

Sahutan lantang dari Jaemin yang baru saja memasuki dapur terdengar menyebalkan di telinga Renjun. Ia pun berjalan ke arah Jaemin setelah menyimpan gelasnya, lalu menendang tulang kering lelaki itu.

“Ow! Renjun?? Sakit!” Jaemin mengaduh sambil mengangkat satu kakinya.

“Kenapa, sih? Tiba-tiba nendang.”

Jaemin langsung duduk di kursi yang disiapkan oleh Jisung, masih meringis karena sakit akibat tendangan Renjun.

“Abisnya nyebelin. Kamu bunuh Hyuck.”

“Hah?” Jaemin terlihat benar-benar bingung.

“Kamu panggil aku apa, Jun?”

“Maksudnya gimana?” Jeno yang dari tadi diam saja akhirnya ikut buka suara.

Renjun mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, jantungnya berdebar lebih kencang karena rasa cemas dan takut yang bercampur. Menyadari apa yang tadi dilakukannya pada teman satu grupnya juga membuatnya malu tak tertahan.

Pantas….

“Uhm, kita di mana?”

“Di dorm…?” Jisung menjawab.

“Kita idol?”

“Renjun, kamu kenapa?” Jeno kini melangkah mendekat.

Haechan kini menatapnya dengan pandangan khawatir dan Renjun langsung membuang muka.

“Aku… aku ke kamar dulu.”

“Renjun?” Renjun tidak tahu siapa yang memanggilnya karena sepertinya semua orang memanggilnya. Namun ia tetap berjalan cepat menuju kamarnya. Ia tutup kemudian bersandar di balik pintu.

Ketukan tiga kali tidak dihiraukannya, sampai panggilan lembut seseorang yang ia ingin dengar memanggil namanya. Ia ingin merespon, ia ingin berbagi cerita, ia butuh kenyamanan. Tetapi Renjun malu. Mereka tidak ada hubungan spesial apapun, tidak seperti apa yang ada dalam mimpi-mimpi Renjun.

“Renjun. Ayo ngobrol.”

Renjun menarik nafas lalu ia hembuskan perlahan. Setelah membalikkan badannya, ia membuka pintu dan hanya membiarkan Haechan masuk, lalu menutup pintunya lagi.

“Jun, kamu nggak pernah panggil aku pakai nama Donghyuck.”

“Iya, aku tahu. Maaf.”

“Dan tadi itu—”

“Ya makanya aku minta maaf, Hyuck! Oh shit—”

“Hey, nggak apa-apa.”

Renjun kini duduk di atas ranjangnya. Tangannya menopang kepalanya yang tertunduk. Haechan pun akhirnya duduk di samping teman satu grupnya itu.

“Ada apa, Renjun? Kamu bisa cerita.”

Renjun terenyuh mendengar Haechan yang berkata selembut itu padanya. Andai saja Haechan tahu, seperti apa mereka di setiap kehidupan yang ia datangi dalam mimpi itu.

“Aku mimpi. Itu aja.”

“Mimpi seram? Kamu habis nonton film horor lagi, hm?”

Renjun menggelengkan kepalanya, ia duduk lebih tegak kali ini. Kemudian ia hembuskan nafas berat lagi, meski masih bingung harus cerita dari mana.

“Mimpi… kamu. Mimpi aku dan kamu. Mimpinya nyata banget. Dan itu… sakit.”

Renjun menoleh dengan cepat, ia baru saja ingat akan sesuatu. “Kamu inget nggak film Dr. Strange?”

“Hmm? Iya…?”

Meski Haechan terlihat ragu, Renjun melanjutkan ceritanya.

“Itu loh film Marvel, yang di filmnya Dr. Strange ketemu sama Dr. Strange dari universe lain. Nah, di awal film itu Dr. Strange mimpi dan kejadian di mimpinya itu sama dengan yang terjadi di universe lain, Chan.”

“Oke…? Jadi maksud kamu, kamu mau bilang kamu punya kekuatan Dr. Strange?”

Bugh!

Terpukul lengan Haechan dan lelaki Gemini itu pun meringis kesakitan. “Aww, Jun, kok pukul?”

“Ya kamu ada-ada aja. Maksudnya bukan gitu. Tapi aku ngerasa, mungkin mimpiku itu beneran terjadi di universe lain, Chan.”

“Hmm, mimpinya buruk?”

“Sebenernya nggak cuma satu mimpi aja. Ada beberapa, tapi ya yang paling terakhir memang paling nyakitin. Sampai aku ngerasain rasa sakit itu.” Renjun memegang dadanya. Ia ingat kala terbangun, ia merasa sedikit sesak.

Lalu Renjun menyadari ada tangan hangat yang mengusap punggungnya.

“Renjun, kalau mau cerita, kamu bisa cerita sama aku.”

“Boleh peluk aja, nggak?”

“Sini.” Haechan merentangkan kedua tangannya, mengundang lelaki berdarah Tiongkok itu ke pelukannya.

Renjun pun langsung memeluk Haechan dan memejamkan matanya. Rasa nyaman ini seperti yang ia rasakan di mimpi-mimpinya. Tapi sebenarnya, kalau Renjun coba ingat lagi, ia memang selalu merasa nyaman setiap berada di pelukan Haechan.

“Ada kamu, Haechan. Ada kamu di setiap mimpi tentang kehidupan aku yang berbeda itu. Dan kita….” Terhenti di situ saja kata-kata Renjun.

“Hmm? Kita…?”

Bukannya memberi jawaban, Renjun malah memeluk Haechan lebih erat.

“Hangat. Boleh nggak ya kayak gini terus?”

“Boleh. Lebih dari kayak gini juga boleh.”

Tangan Renjun mengepal di balik punggung Haechan. Ia sadar hubungan mereka berdua memang sudah terasa lebih dari teman, tapi tak ada satupun di antara mereka yang pernah bicara ke arah itu. Mungkin sama-sama terlalu takut meski saling menikmati kehadiran satu sama lain.

“Haechan,” bisik Renjun pelan.

“Iya, Aegi?”

“Di semua kehidupan yang aku datangi dalam mimpi, kamu pacarku, loh. Masa di sini bukan?”

Renjun tersenyum saat merasakan getaran akibat tawa Haechan.

Haechan mengecup puncak kepala Renjun. Rambut hitamnya masih berantakan, tapi tak apa, bagi Haechan lelaki Aries ini selalu menggemaskan.

“Iya, kamu pacarku, Injun.”

Renjun langsung melepas pelukannya.

“Kamu nggak lagi bercanda, ‘kan?”

“Perasaan aku nggak bercanda, dan ajakan aku juga nggak bercanda, Injun.”

Renjun terdiam, menimbang-nimbang keputusan yang harus diambil. Karena apapun jalan yang ia pilih, pasti ada resikonya.

Tatkala ia rasa usapan tangan besar Haechan di pipinya, Renjun menatap lelaki yang sedang balik menatapnya dengan serius. Tatapan yang selalu ia sukai.

“Aku tahu kamu takut. Tapi kita kan jalaninya sama-sama. Kamu nggak sendiri. Dan kamu selalu bisa berbagi sama aku, Injun.”

Renjun mengangguk lalu tersenyum sampai matanya membentuk sabit. Haechan pun membatin, indah banget pacarku.

Aegiii!” Haechan kembali memeluk pacarnya erat. “Nanti gitu lagi, ya?”

“Apa?” Meski suara Renjun sedikit teredam karena bibirnya menempel di dada Haechan, ia tahu pacarnya masih bisa mendengarnya.

“Cium aku setiap pagi.”

“Kita nggak satu dorm, Haechan. Aku nggak ketemu kamu setiap pagi.”

“Iya, pokoknya setiap baru ketemu, kamu cium aku.”

“Hahaha. Iya.”

“Panggil aku Hyuck lagi.”

“Iya, Hyuck.”

Renjun tidak tahu apa akhir dari setiap kehidupan yang ia lihat di mimpi, apakah mereka bahagia, atau menderita, Renjun tidak tahu karena yang seharusnya ia utamakan memang kehidupan nyatanya saat ini. Meski ia pun tidak akan tahu bagaimana akhirnya nanti, tetapi yang Renjun tahu, selalu ada Haechan yang menemani. Tak hanya di kehidupan ini, di kehidupannya yang lain, semestanya yang lain, selalu ada Haechan di sana.

—end.

by mysummerbliss