Cocktail 🍸🍹

Renjun sedang menatap langit-langit kamar hotel Haechan malam itu sambil menimbang-nimbang keinginannya untuk melakukan sesuatu sebelum waktunya kembali pulang ke Korea. Di hari kedatangan mereka ke Jakarta, posisinya Haechan dan Renjun memang sedang ada selisih paham sesaat sebelum perjalanan ke Indonesia untuk memulai rangkaian tur mereka. Namun semua salah paham sudah selesai, sehingga kini Renjun bisa bersantai di dalam kamar hotel Haechan.

“Kamu mikirin apa?” tanya Haechan yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Renjun menoleh dan hanya menatap sejenak sosok lelaki dengan bagian dada terbuka yang masih basah dan sedang mengeringkan rambut dengan handuk putih.

“Kamu tuh, masih basah itu, Chan.” Bukannya menjawab, Renjun malah mengomentari hal lain.

“Iya, santai aja sih, nanti juga kering. Aku sambil keringin rambut dulu,” ujar Haechan sambil berlalu pergi kembali ke dalam kamar mandi. Kali ini pintu kamar mandi dibiarkan terbuka agar ia bisa berkomunikasi dengan Renjun.

“Aku pengen minum deh.” Akhirnya Renjun melontarkan apa yang ada dalam pikirannya sejak tadi. Penerbangan mereka tinggal beberapa jam lagi, makanya Renjun sedikit ragu apakah itu keputusan yang baik, atau haruskah ia menunggu sampai Korea meski ia sendiri tidak tahu kapan ia akan punya waktu untuk itu.

“Apa?” Suara hair dryer membuat Haechan tidak dapat mendengar jelas apa yang Renjun ucapkan.

“Aku pengen minum. Mood-nya lagi pengen agak tipsy gitu.” Kali ini Renjun berbicara dengan volume suara lebih keras.

Tak terdengar jawaban dari Haechan. Bahkan setelah beberapa menit berlalu sejak tak terdengar lagi suara hair dryer, Haechan masih belum keluar dari kamar mandi. Kesal Renjun dibuatnya, ia pun mendengus lalu tidur tengkurap di kasur king bed hotel. Mungkin sebaiknya ia tidur saja.

“Kamu lagi pengen soju?”

Renjun membalikkan kepalanya menghadap ke arah Haechan yang sedang memakai kaus hitam yang ia ambil sembarang dari kopernya.

“Heem. Kemarin aku lihat ada staff yang lagi minum soju, kok. Kira-kira bisa minta nggak, ya?”

Renjun membalikkan tubuhnya lagi saat Haechan mendekat dan duduk di samping dirinya. Lelaki Gemini itu tampak fokus dengan ponselnya.

“Mau cocktail, nggak?”

“Hmm… boleh sih. Yang penting bikin tipsy aja, kayaknya enak.”

Haechan memperlihatkan apa yang ada di ponselnya pada Renjun. “Tempatnya bagus, ke sana aja, yuk.”

Mata Renjun berbinar. Ia excited dengan bayangan bahwa ia akan menghabiskan waktu dengan sang kekasih berdua saja di tempat seperti itu. “Mau! Eh-” seketika raut mukanya berubah menjadi sedih. “Gimana ke sananya? Kemarin aja kita diikutin.”

“Gampang kok. Ada di hotel ini. Harusnya sih nggak ada yang ke sana. Yuk? Aku ganti celana sekalian.”

Renjun pun langsung bangkit dari kasur dan mengambil topi. Jaket yang tadi ia sempat kenakan ia biarkan di sofa ruang hotel Haechan. Sementara Haechan sedang membereskan koper dan menutupnya, Renjun mengambil kamera Leica milik Haechan yang tergeletak di atas meja.

“Ini gimana sih caranya?” tanya Renjun sambil mengutak-atik kamera hitam itu. Namun ia pun akhirnya meletakkan kembali kamera itu di atas meja dalam keadaan lensa yang sudah terbuka.

Haechan berjalan mendekat sambil mengenakan cardigannya. “Coba aja foto kayak biasa.”

“Langsung?” tanya Renjun tanpa mengambil kembali kamera itu.

Haechan mengangguk. “Fotoin aku.” Akhirnya bukannya Renjun yang mengangkat kamera, malah Haechan yang menunduk di atas meja agar masuk ke dalam frame.

Cekrek!

“Bagus ya,” gumam Renjun sambil menatap kagum hasil akhir foto yang terlihat sedikit blur.

“Akunya yang bagus.”

Cup!

Tiba-tiba saja ciuman singkat mendarat di pipi Renjun membuatnya tak jadi melontarkan argumen balasan.

“Curang.”

“Ayo, katanya mau minum.”

Dengan menenteng kamera milik Haechan dan mengambil ponselnya, Renjun pun akhirnya mengikuti Haechan yang mulai keluar kamar hotel setelah mengenakan bucket hat hitamnya. ***

Baru saja melangkahkan kaki, Renjun sudah menyukai ambience di dalam bar itu. Jelas saja, pikirnya, tempatnya saja ada di gedung hotel bintang lima. Suasana bar belum terlalu ramai dan menurutnya ini benar-benar sempurna. Belum lagi ia di sini bersama sang kekasih yang kini duduk di seberangnya.

“Cocktail?” tanya Haechan dengan tangan di atas meja.

“Hm. Boleh. Jangan yang terlalu kuat ya.”

“Iya. Aku pesan air mineral juga.”

Saat itu mulai terdengar alunan lagu dari live music yang ada tak jauh dari tempat mereka duduk. Setelah tiga hari perform di depan ribuan penonton, rasanya menyenangkan juga jadi bagian dari penonton lagu lawas yang saat ini dibawakan.

Kepala Renjun bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti irama lagu Hey Jude dari The Beatles. Sesekali ia menyesap cocktail yang dipesankan Haechan.

“Hey Joon~ don’t make it bad~ na na na na na na na na na~”

Renjun tertawa melihat Haechan yang ikutan menyanyi dengan mimik yang berlebihan meski ia pada akhirnya tidak hafal dengan lirik lagunya. Tetapi Renjun mendengar saat Haechan mengganti “Jude” dengan “Joon” yang ia tahu ditujukan untuk dirinya.

Bersama Haechan, ia selalu dibuatnya tertawa. Maka dari itu ia selalu menikmati setiap waktu yang dilaluinya dengan lelaki itu.

Saat lagu itu mencapai nada yang mulai meninggi, Haechan pun ikut menirukan dengan berlebihan. Dengan tangan mengepal di depan mulutnya yang ia jadikan microphone, ia menutup mata dan menunduk layaknya sedang menyanyikan lagu dengan nada tinggi.

“Better better better better better better oh~!”

Lagi-lagi Renjun tertawa melihat kelakuan Haechan. Alkohol yang mulai masuk ke dalam tubuhnya membuatnya merasa sedikit tenang. Dan mungkin juga Haechan. Keberadaan kekasihnya itu saja membuat mood Renjun lebih baik.

Setelah lagu selesai, penyanyi itu pun mulai menyanyikan lagu lain yang terdengar asing bagi mereka. Renjun menebak kalau itu adalah lagu lokal Indonesia.

“Kenapa tiba-tiba pengen minum?”

Pertanyaan Haechan membuatnya mengerutkan kening. “Biasanya juga minum.”

“Yaah, iya sih. Tapi kan sebentar lagi juga pulang ke Korea, bisa puas nanti minum.”

“Kan aku engga tau nanti bakal ada waktu lagi atau engga, terutama sama kamu.”

Haechan tersenyum senang mendengarnya.

“Aku ada wine di dorm. Nanti minum lagi sama aku ya.”

Renjun mengangguk dan ikut tersenyum. “Aku seneng banget. Konsernya sukses. Capek sih, tapi aku seneng. Semua yang nonton juga kelihatannya nikmatin konsernya. Jadi rasanya konser tiga hari berturut-turut nggak begitu kerasa capek. Malah aku kayak dapat energi dari mereka. Dan kayak berasa ada beban yang lepas juga karena bisa kasih penampilan yang baik.”

Haechan mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat lalu mengulurkan tangannya. Ia genggam dan usap pelan tangan Renjun.

“Minggu depan masih ada, lho. Konser tiga hari berturut-turut.”

“Eh, minggu depan di Thailand, ya? Kamu janji mau makan kalajengking sama aku!” Renjun berseru dengan semangat.

Haechan menggelengkan kepalanya. “Ewh, enggak deh. Aku nggak mau.”

“Kamu janji, Lee Donghyuck.”

“Kamu aja nggak mau makan, kenapa aku harus makan?”

“Karen kamu udah janji.” Renjun menggoyang-goyangkan tangan Haechan “Ya? Ya? Yaaa??”

Lagi-lagi Haechan tersenyum melihat tingkah kekasihnya yang lucu itu. “Iyaa,” katanya dengan pasrah.

“Good.”

Saat Renjun akhirnya melepaskan genggamannya, Haechan berkesempatan untuk mengambil kamera Leica hitam yang dari tadi menganggur di atas meja.

Cekrek.

Bunyi shutter kamera terdengar dan Renjun awalnya kaget. Menyadari dirinya seorang public figure dengan kamera yang selalu mengintai dirinya, ia sigap menangkap dari mana datangnya suara itu saat ia melihat senyum Haechan di balik kamera kesayangannya.

“Aku kaget, dikirain ada reporter.”

“Cantik,” komentar Haechan saat melihat hasilnya. “Senyum dong.”

Renjun memutar bola matanya melihat Haechan yang nampak tidak peduli.

“Aku kucel. Nggak pakai make-up.”

“Santai, kamu tau kamera aku selalu bisa nangkap foto kamu pas lagi bagus.”

“Bohong. Aku pernah ya liat yang jelek. Udah aku delete.”

Tertawa pelan Haechan mendengarnya. “Aku lihatnya ganteng kok.”

Renjun sedang membetulkan rambutnya saat shutter kamera berbunyi.

Cekrek!

“Aba-aba dulu dong, Hyuck.”

“Satu, dua,”

Panik dengan Haechan yang langsung menghitung, Renjun menoleh ke samping memperlihatkan side profile-nya. Untungnya, mengatur ekspresi dalam waktu sangat singkat sudah biasa baginya.

“Tiga.”

Cekrek.

“Sambil minum coba. Satu, dua, tiga.”

Meski sudah ingin protes karena terlalu cepat, Renjun tetap mengikuti arahan Haechan dengan mengambil gelasnya. Saat ia berpose seperti sedang minum, suara shutter kamera kembali terdengar.

“Lagi, Sayang.”

Untaian protes kembali terbungkam dan dengan kedua tangan menutupi bagian bawah wajahnya, ia berharap semburat merah muda di pipi tak tertangkap kamera.

Lantunan lagu dari live music kembali menarik perhatian Haechan. Ia berpikir kalau ia seperti mengenal kata yang disebutkan sang penyanyi. Haechan menaruh kamera lalu mengambil ponselnya. Beberapa menit berkutat dengan ponselnya ia tersenyum.

“Cantik.” Ucapnya kemudian dalam bahasa Indonesia.

Renjun sempat bingung saat mendengar kata asing itu sampai akhirnya ia sadar itu adalah bagian dari lagu yang sedang dinyanyikan di atas panggung itu.

Sejenak ia merasa familiar dengan kata itu. Namun saat itu juga ia langsung mendengar jawaban dari kebingungannya dari lelaki di depannya.

“Cantik.” Kali ini Haechan menerjemahkan dalam bahasa Korea. “Lagunya cocok buat kamu.”

“Udah, stop. Rambutku berantakan.”

Ia menarik rambutnya ke belakang dan mengenakan kembali topinya. Kali ini ia siap dengan pose baru. Renjun dapat mendengar Haechan berhitung kemudian terdengar suara kamera.

Cekrek.

“Coba lihat.”

Haechan yang hampir memberikan kameranya, menarik kembali tangannya dan kini hanya menatap ke arahnya.

“Ayo sini,” pinta Renjun.

“Nggak boleh ada yang di-delete.”

“Hahaha oke, aku janji.”

Setelah melihat-lihat isi foto, Renjun kembali mengeset ulang kamera dan kini ia arahkan kameranya ke Haechan.

“Haechan-ah. Satu, dua…,”

Haechan yang langsung menangkap maksud Renjun pun hanya memalingkan kepalanya ke samping dengan ekspresi muka yang siap difoto.

Cekrek.

“Lagi, umm, Sayang.”

Senyum Haechan terlihat jelas seperti salah tingkah dan Renjun berhasil menangkap foto itu. Ia sendiri pun tersenyum melihat saat melihat hasilnya.

Setelah beberapa kali pengambilan foto, Haechan meminta kameranya kembali karena ingin melihat hasilnya.

“Nice shot,” ujarnya dengan nada rendah.

“Aku nanti post deh di Instagram.”

Saat Haechan beranjak dari duduknya, Renjun kira ini sudah waktunya untuk mereka kembali ke kamar hotel. Tapi ternyata Haechan hanya berpindah duduk dan kini berada di sampingnya.

“Foto sama aku,” katanya sambil mengarahkan kamera dengan lensa yang menghadap ke arah mereka.

Cekrek.

“Satu lagi, Sayang.”

Cup!

Cekrek.

Ciuman singkat di pipi Renjun bersamaan dengan bunyi shutter kamera membuatnya kaget. Bagaimana tidak? Pacarnya menciumnya di tempat umum begini, dan jangan lupakan posisi mereka yang merupakan public figure.

Tamparan pelan pun melayang ke lengan Haechan yang kini tertawa sambil melihat hasil foto di display touchscreen kamera Leica-nya.

“Bagus. Kita cocok banget.”

“Kamu tuh. Gimana kalau ada yang sadar?”

“Nggak, aku udah lihat-lihat tadi. Nggak sampai sedetik juga.”

“Curang.”

“Curang apa sih? Kamu juga boleh kayak gitu ke aku.”

Renjun menepis tangan Haechan yang hendak mencubit pipinya.

“Iya, aku mau. Mau cium kamu. Tapi nggak di sini juga, Lee Haechan-ssi.”

“Siap, Huang Renjun-ssi. Mending sekarang kita ke kamar lagi biar aku bisa diciumin sama kamu.”

Tertawa lagi Renjun dibuatnya. Bersama Haechan memang hidupnya terasa lebih menyenangkan.