friends with benefits
“Renjun!” panggil Haechan setelah mereka keluar dari kelas.
Untung saja tadi Haechan sudah membereskan barangnya lebih cepat sehingga ia bisa mengejar Renjun yang langsung keluar begitu kelas berakhir.
“Hm?”
Renjun, lagi-lagi dengan raut muka yang polos, menoleh seolah tadi ia tidak mengirim pesan seduktif pada Haechan.
“Jadi nggak?” tanya Haechan singkat.
“Apa?”
Sungguh, jika perlu Haechan ingin mempersembahkan penghargaan Aktor Terbaik untuk Renjun yang Haechan yakin sedang berpura-pura tidak tahu.
“Gak usah pura-pura gak inget. Mau gue nanya secara gamblang di sini?” Haechan menaikkan alisnya. Di sekitar mereka masih banyak orang karena kelas baru saja bubar.
“Gue laper. Mau makan dulu. Butuh tenaga buat ng—”
Belum selesai, Jaemin tiba-tiba datang dan merangkul Renjun. “Tenaga buat apaan?” tanyanya ikut nimbrung.
“Ngerjain tugas lah, apa lagi? Yuk ke kantin, gue lapar.”
Sebelum Renjun pergi dengan Jaemin, Haechan menahan tangannya. “Nggak, lo pergi sama gue.”
“Lo bukannya ada kelas lagi, Chan?” Jaemin bertanya lagi, tangannya yang tadi ada di pundak Renjun kini ia turunkan.
“Ada, tapi gue gak masuk. Ada urusan penting sama Renjun. Ayo.”
Haechan menarik pelan tangan Renjun dan pemuda berkacamata itu mulai mendekatinya. Jaemin, teman mereka, akhirnya pamit dan meninggalkan mereka berdua.
“Gue laper. Mau makan.” Renjun menarik kembali tangannya, lalu ia lipat di dadanya.
“Ayo drive thru McD aja.”
“Kita mau ke mana abis itu?” Renjun akhirnya mengikuti Haechan yang mulai berjalan ke arah parkiran.
“Ke apartemen gua.”
Di dalam mobil Haechan hanya terdengar lantunan lagu dari radio yang menyala. Tak ada satupun yang berbicara di antara mereka sampai mobil mulai memasuki area McDonald's yang letaknya tak jauh dari kampus.
“Ini beneran, ya?” tanya Renjun.
“Apa? McD-nya atau ngewenya?”
“Ihh ngomongnya.”
“Loh, kamu juga tadi frontal kok di chat.” Haechan terkekeh. “Kalau mau di-cancel bilang sekarang, nanti gua parkir, kita makan di sini aja.”
“Nggak usah.” Saat Renjun menyadari Haechan menoleh ke arahnya, ia lanjutkan kembali kata-katanya. “Nggak usah parkir. Langsung aja.”
Haechan tersenyum saat ia melihat Renjun memalingkan mukanya, melihat ke arah jendela seolah menyembunyikan semburat merah di pipinya.
Satu hal yang Haechan sesali adalah saat ia mengatakan sesuatu saat mobil di depannya selesai dengan pesanannya.
“Kita FWB-an aja lah Jun.”
“Ayo.”
Jawaban singkat dan cepat dari Renjun membuat Haechan mematung. Ia bahkan membiarkan mobilnya berhenti meski mobil di depannya kini sudah melaju. Sejujurnya pernyataan tadi itu hanya merupakan candaan, tapi mengapa Renjun seperti menanggapinya dengan serius?
“Jalan. Pesen dulu aja. Kagetnya nanti lagi.”
Setelah selesai dengan pesanan mereka, suasana di dalam mobil pun kembali hening. Bahkan tak ada suara radio karena tadi sempat dimatikan saat memesan makanan.
“Lu nggak ada pacar, kan?”
“Nggak. Lo gimana? Gue nggak mau ya jadi perusak hubungan orang.”
Haechan tertawa pelan. “Nggak, lagi sendiri kok gua.”
“Jangan sama yang lain kalau masih FWB-an sama gue.” Renjun berusaha fokus melihat jalanan di depannya saat mengatakan itu.
“Okay.”