Daffodil Kuning.

cw // major character death, obsessive behavior tw // homophobic, blood

2.8 words


Dulu, predikat Best Campus Couple pernah diraihnya kala masih menjadi mahasiswa, masih menjadi kekasih dari seorang Lee Donghyuck. Dinamika pasangan si ketua himpunan dan sekretarisnya menjadi perbincangan banyak mahasiswa di sekitar mereka.

Pasangan yang digadang-gadang paling cocok, paling melengkapi, dan semua orang pun berharap “happily ever after” pada mereka, nyatanya kini tak lagi bersama. Di satu malam menjelang akhir jabatan, saat semua anggota himpunan pergi untuk bermalam di sebuah villa, Donghyuck dan Renjun bahkan dinobatkan sebagai Couple of The Year versi himpunan mereka.

Dengan senyum manis, Donghyuck si ketua himpunan mempersilakan Renjun, sekretarisnya sekaligus kekasihnya, untuk memberikan speech singkat saat menerima snack bouquet sebagai hadiah yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Malu-malu Renjun pun berterima kasih pada semua teman-teman yang mendukungnya, yang kemudian disoraki oleh semuanya di sana.

Hari ini, senyum manis Lee Donghyuck hanya dapat Renjun lihat dari jauh, dari pintu ballroom hotel yang menjadi tempat diselenggarakannya pernikahan mewah Donghyuck dengan orang lain. Sebagai general manager di hotel tempat ia bekerja, Renjun pun hari ini mendapatkan tugas memastikan acara pernikahan yang dilaksanakan di ballroom hotelnya berjalan dengan sempurna. Tentu, Renjun sudah tahu acara ini akan diselenggarakan sejak jauh-jauh hari. Tetapi mungkin saja Donghyuck tidak mengetahui bahwa Renjun juga ikut andil dalam menyempurnakan hari bahagianya ini.

“Sungchan, stand by, ya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi saya,” ujarnya melalui sambungan telepon pada asisten manajernya.

Setelah memutus kontak telepon, Renjun pun keluar dari area ballroom, hendak berjalan menuju ruangannya, tetapi terhambat saat ia menabrak bahu seseorang yang sepertinya salah satu dari tamu undangan.

“Maaf,” ia berkata sambil menunduk hormat.

“Renjun?”

Terbelalak matanya saat menyadari baru saja ia bertemu dengan salah satu sahabatnya di masa lalu. Na Jaemin tersenyum ramah padanya.

Sebenarnya dari tadi Renjun hanya mengawasi acara ini dari jauh, karena ia sadar akan ada banyak tamu undangan yang ia kenal, dan Renjun ingin menghindar dari semua situasi yang pasti tidak akan menyenangkan. Bagaimanapun, teman Donghyuck juga banyak yang merupakan teman Renjun.

Sekedar informasi, Renjun tidak diundang di pernikahan Donghyuck ini karena mereka memang sudah memutus kontak semenjak lulus delapan tahun lalu.

“Oh, Jaemin, hai.” Dengan canggung ia melambaikan tangannya, ini benar-benar situasi yang ia sangat hindari.

“Kamu… kerja di sini?”

Renjun mengangguk. Pasti sudah terlihat jelas dari name tag yang tersemat di dada kirinya.

“Wah, menarik.”

“Aku, aku duluan ya, Jaemin, ada kerjaan.”

Baru saja kakinya melangkah menjauhi temannya, pertanyaan yang membuatnya tidak nyaman itu terlontarkan. “Kamu nggak ucapin selamat buat Donghyuck?”

Langkahnya terhenti. Tangannya mengepal dan dengan segenap tenaga ia usahakan agar bahunya tetap tegak meski sedikit bergetar.

Bagaimana bisa Renjun lakukan itu? Renjun akui bahwa dirinya tidak cukup kuat untuk lakukan itu. Meski lama berpisah, hatinya masih tertaut pada lelaki Gemini yang tawanya selalu ia rindukan itu. Terkadang Renjun lupa, tetapi saat ia merasa sendiri, bayang-bayang Donghyuck selalu hadir. Kenangan indah empat tahun bersama Donghyuck yang selalu ia putar kembali dalam khayalnya. Tak jarang pula dirinya melamunkan bagaimana jika mereka terus bersama? Mewujudkan semua mimpi yang mereka bagi bersama dalam angan-angannya. Semua skenario itu selalu indah bagi Huang Renjun.

Renjun berbalik, menghadapi rasa sakitnya. “Belum. Tolong sampaikan ya, Jaemin. Aku turut bahagia.”

“Kamu yakin bahagia? Well, aku nggak peduli, sih.”

Renjun mengernyit, ia kurang paham dengan maksud dari kata-kata Jaemin. Tetapi lelaki itu sudah berbalik sebelum Renjun bertanya apa maksudnya.

Jaemin berhenti tepat di ambang pintu, lalu kepalanya sedikit menoleh ke arah Renjun. “Tapi Donghyuck nggak. He suffers, Jun. A lot.”

Renjun hanya terdiam saat mendengarnya, mencoba memproses maksud dari Jaemin. Saat ia baru menyadari dan ingin mempertanyakan lebih lanjut, Jaemin sudah menghilang. Ketika ia melangkah masuk, beberapa tamu perempuan berjalan keluar sambil berbincang membuat Renjun kembali mundur ke belakang untuk memberi jalan.

“Kayak yang sakit ya pengantinnya?”

“Suaminya, ya? Dari tadi batuk-batuk.”

Seolah memperjelas, Renjun kemudian mendengar suara seseorang yang terbatuk dan tak lama ia mendengar teriakan beberapa orang. Ia pun bergegas menuju kerumunan di tengah ballroom.

Meski tidak terlalu dekat, Renjun dapat melihat Donghyuck yang kini terduduk lesu di salah satu kursi, dengan pengantin wanita di sebelahnya yang terlihat khawatir. Raut wajah khawatir dan terkejut dapat ia lihat dari tamu undangan lain beserta keluarga kedua mempelai. Bincang-bincang para tamu pun sampai di telinga Renjun, mempertanyakan bagaimana bisa mempelai pria sampai batuk dan memuntahkan bunga di hari pernikahannya?

Dadanya bergemuruh dan Renjun yang biasanya cepat tanggap dalam berbagai situasi kini hanya mematung melihat pria yang dicintainya terlihat sakit. Ia pun dapat melihat beberapa kelopak bunga berwarna kuning yang kini berserakan. Yang Renjun tahu, dekorasi bunga yang digunakan untuk pesta ini hanya berwarna putih dan merah muda, tidak ada bunga berwarna kuning.

Pekikan seseorang menyadarkan dirinya, sebagai pegawai hotel, ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Tetapi akalnya kembali tak mampu bekerja saat melihat Donghyuck memuntahkan satu bunga utuh beserta darah.

“Pak? Pak Renjun?”

Masih dengan pikiran yang mengawang, Renjun menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya.

“Saya sudah panggilkan ambulans, sebentar lagi datang, Pak.”

Renjun mengangguk. “Sungchan.”

“Ya, Pak?”

“Tolong informasikan itu pada pihak keluarga. Ambulans segera datang.”

“Baik, Pak.”

Renjun maju selangkah, ingin melihat keadaan Donghyuck yang tidak terlihat baik. Pengantin wanita menangis di sampingnya. Tangan Donghyuck mengepal erat sampai meremas bunga kuning yang digenggamnya.

“Daffodil kuning. Bunga kelahiran bulan Maret. Bermakna awal yang baru, harapan, tetapi juga cinta yang tak berakhir.”

Renjun berbalik ke arah suara yang menjawab pertanyaan dalam benaknya.

Na Jaemin menyerahkan satu bunga utuh dengan bercak darah padanya. Dengan tangan gemetar Renjun menerima bunga itu.

“Maret dan kuning, Huang Renjun. Ring a bell?” Nada suara rendah dari Jaemin semakin membuat Renjun bingung sekaligus takut.

“T-tapi, bagaimana bisa? Aku—”

He doesn't know that, Renjun. Yang dia percayai, kamu tidak mencintai dia.”

Mendengar itu, ia hanya ingin segera mengikuti instingnya dan berjalan ke arah Donghyuck. Sepengetahuannya, penyakit Hanahaki atau muntah bunga ini akan sembuh jika cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Dan Renjun akan buktikan itu.

Tetapi cengkeraman kuat Jaemin di bahunya menahan langkah Renjun.

“Apa kamu nggak kasihan lihat keluarga Hyuck? Juga istrinya?”

Renjun disadarkan bahwa dirinya bukan siapa-siapa Donghyuck lagi. Dirinya dan Donghyuck sudah berpisah lama. Renjun tentu tidak lupa saat ayah Donghyuck menamparnya saat wisuda, menyatakan dengan lantang bahwa ia tidak sudi anak laki-lakinya memiliki hubungan sesama jenis. Tidak pula Renjun lupa raut kecewa sang bunda saat mengetahui hubungannya dengan Donghyuck. Mereka pun memutuskan mengakhiri hubungan tanpa restu itu, tepat di hari wisuda. Berakhir di situ kisah cinta pasangan terbaik kampus.

Meski begitu, bukankah Donghyuck berhak untuk kembali sehat? Tawa getir menyertai saat Renjun tahu jawaban dari pertanyaannya. Donghyuck bisa saja mendapatkan penanganan berupa operasi untuk mengangkat penyakitnya. Dan itu bisa jadi benar-benar akhir dari kisah mereka. Memang sudah seharusnya Donghyuck melupakan dirinya seutuhnya, bukan?

It’s too late, Jun.”

Renjun menoleh ke sampingnya, ke Jaemin yang hanya menatap lurus ke arah Donghyuck.

“Sudah setahun Donghyuck punya Hanahaki. Akarnya sudah menyebar di paru-parunya. Waktu yang cukup lama untuk penderita Hanahaki, sebetulnya. Hari ini, Donghyuck menenggak dua tablet obat yang dosisnya sangat tinggi. Bahaya? Tentu, bahaya. Tetapi dia harus melakukan itu, karena nggak ada yang tahu tentang Donghyuck dan Hanahakinya, kecuali aku.”

“Kenapa… kenapa nggak coba cari aku?”

“Karena ayahnya mau Donghyuck menikah dengan perempuan itu. Aku kira Donghyuck akan menolak, tetapi ternyata dia sudah punya kesepakatan dengan perempuan yang sekarang jadi istrinya itu. Mereka saling memanfaatkan. Dan aku? Aku sengaja tidak mencari kamu, Renjun. Aku mau melihat Donghyuck menderita.”

Mata Renjun yang sudah berkaca-kaca itu melebar mendengar akhir dari kalimat Jaemin. “Jaemin? Kamu…?”

Jaemin kini menatapnya. Dingin tanpa ekspresi.

“Surat yang kamu titip lewat aku, tak pernah sampai ke Donghyuck. Dan aku yang membuat Donghyuck yakin kalau cintanya tidak terbalas. Dulu aku senang melihat tawa Donghyuck yang bahagia setiap dia bercerita tentang dirimu. Setelah tawa itu tak pernah hadir, aku pikir aku bisa menggantikan sosokmu. Tetapi Donghyuck tak pernah melihatku. Dan ia malah memilih pernikahan ini. Aku kesal, Renjun.

Ingat waktu kita bertemu setahun yang lalu? Aku tunjukkan padanya akun Instagram-mu. Aku tunjukkan kalau kamu jauh lebih bahagia tanpa Lee Donghyuck. Semenjak itu raut sedih Donghyuck menjadi hal yang paling aku suka darinya. Kesedihannya, putus asanya, ia terlihat hilang arah, Huang Renjun.”

Tawa meremehkan dari Jaemin benar-benar menyulut amarah Renjun.

Plak!

Tak segan ia menampar pipi Jaemin dengan sekuat tenaganya.

“Bajingan! Kamu membunuh dia, Jaemin!”

Renjun tak mengindahkan air matanya yang terus bergulir di pipinya. Emosinya benar-benar memuncak. Ia tidak bisa membiarkan ini terus berlarut. Keadaan di dalam ballroom cukup kacau, tamu undangan banyak yang sudah pulang, ayah dari mempelai wanita terlihat marah besar, kedua keluarga saling menyalahkan. Dan Donghyuck hanya sendiri di sana, ditatap banyak mata yang meremehkan, menggunjing dirinya atas rasa cinta dan rasa sakit yang ia rasa dalam dadanya. Renjun tidak bisa diam saja.

You should thank me, Renjun. Aku yang meyakinkan Donghyuck untuk menggelar pernikahan di hotel ini. Karena aku tahu kamu bekerja di sini. Pergilah, temui Donghyuck dan yakinkan dia. That’s my gift for his wedding.”

Saat Renjun berjalan mendekat, beberapa petugas kesehatan datang dan mulai memindahkan Donghyuck ke brankar. Renjun berlari kecil mengejar mereka. Di depan pintu belakang mobil ambulans, Renjun berhenti, tepatnya di samping seorang wanita cantik yang mengenakan gaun pengantin putih.

“Huang Renjun?”

Renjun menundukkan kepalanya tanda memberi hormat, ia tidak paham bagaimana istri Donghyuck mengenalinya, tetapi ia yakin wanita itu bukan mengenalnya sebagai general manager dari hotel tempatnya menggelar acara pernikahan.

“Masuklah, temani Donghyuck, ya? Bunga Daffodil kuning itu, kamu, ‘kan?” tanyanya dengan lembut.

Renjun terkejut, tetapi ia lebih heran karena tidak menemukan amarah atau kekesalan dari sang mempelai wanita.

“Tapi—”

“Ayo, Donghyuck harus segera ditangani, dan kamu harus ada bersama dia, Renjun. He needs you.”

“Maaf—”

It’s okay, Renjun. Ayo, berangkat.”

Renjun mengangguk mantap lalu ikut masuk ke dalam mobil ambulans.

Di dalam mobil, ia langsung menggenggam tangan lemah Donghyuck. Air matanya kembali mengalir melihat banyak bercak darah di tuksedo putihnya.

“Hyuck, Hyuck, ini aku.” Sambil terbata-bata karena diiringi tangisan, Renjun genggam erat tangan si pria Gemini.

Mata Donghyuck perlahan terbuka. Bibirnya melengkung membentuk senyuman. “My pretty little Injun,” bisiknya.

Renjun masih terisak, lalu diusapnya dengan lembut pipi Donghyuck. “Aku di sini, Hyuck. Dan aku, aku masih cinta sama kamu, Hyuck. Aku di sini.”

“Injun?” panggilnya kali ini terlihat tidak percaya.

Nampaknya Donghyuck tadi berpikir kehadiran Renjun hanyalah halusinasinya saja. Hal ini kerap terjadi saat ia tidak dalam pengaruh obat.

“Aku di sini, Hyuck. Aku cinta sama kamu, aku mau kamu, aku nggak bisa lupain kamu, aku—” Kata-katanya terhenti dan tergantikan oleh isakan.

Be happy, Injun.” Donghyuck yang lirihkan kalimat itu dengan lemah mengiris hati Renjun. Rasanya ia berbagi rasa sakit yang sama dengan yang detik ini dialami Donghyuck. Bagaimana bisa di saat ia merasakan sakit yang luar biasa, yang dipikirnya hanyalah kebahagiaan Renjun? Sebesar itu ya, cinta kamu untuk Renjun, Hyuck?

With you. I’ll be happy with you, Hyuck. Please, bertahan untuk aku, ya?”

Anggukan lemah itu setidaknya sedikit menenangkan Renjun. Ia pun tak henti-hentinya merapalkan doa, mengharap ada keajaiban. Kalaupun Donghyuck tidak bisa percaya dengan perasaan Renjun, setidaknya ia harap masih ada kesempatan untuk dilakukan operasi. Renjun akan merelakan Donghyuck jika itu dapat menyelamatkan cintanya.

“Injun.”

“Hmm?” Renjun berusaha tetap tegar dan menahan tangisnya meski sungguh sakit melihat Donghyuck seperti saat ini. Donghyucknya yang dulu selalu tertawa ceria, selalu menghibur, kini terkapar lemah tak berdaya.

“Cantik, Injunku.” Donghyuck terbatuk, ia yang berusaha menarik nafas terlihat sesak meski sudah menggunakan masker oksigen untuk alat bantu pernafasan. “Aku suka. Injunku.”

Renjun mengangguk. “Hmm. Aku juga. Aku suka.”

Setibanya di rumah sakit, batuknya semakin menjadi. Tangis Renjun pun pecah tak sanggup ia tahan kala ia memasuki IGD dan Donghyuck kembali memuntahkan bunga daffodil kuning dengan bercak darah merahnya.

Mengapa? Bukannya Renjun sudah menyatakan cintanya? Mengapa sakit yang diderita Donghyuck tak juga membaik?

Para dokter segera menangani kekasihnya dan Renjun pun hanya bisa pasrah menunggu meski rasa cemas tak kunjung hilang.

“Maaf? Anda yang bersama pasien Lee Donghyuck?” seorang perawat menghampirinya yang sedang menunggu di luar IGD.

“Iya. Saya, saya yang bersama Donghyuck.”

“Dokter perlu bertemu dengan pihak keluarga pasien, apakah sudah dihubungi?”

“Sudah. Tapi saya, saya… saya pacarnya, apakah saya bisa tahu keadaan Donghyuck?”

Perawat itu terlihat bingung, namun akhirnya mengangguk. “Mari, ikut saya.”

Dibawanya Renjun memasuki ruang IGD, dan ia pun langsung disambut oleh seorang dokter yang terlihat senior. “Oh, pihak keluarga pasien Lee Donghyuck?”

“Saya pacarnya, Dok.”

“Ah, Daffodil kuning?” Pertanyaan sang dokter membuatnya sedih sekaligus sakit. Ya benar, dia adalah si daffodil kuning, yang ironisnya saat ini sedang menyakiti tubuh Donghyuck.

“Iya, Dok. Tapi, Donghyuck bagaimana, Dok? Tolong selamatkan Donghyuck. Saya cinta sama dia, saya nggak mau dia kehilangan nyawa karena saya, Dok. Kami saling mencintai, Dok. Tolong.”

“Baik, tenang dulu, Tuan…?”

“Renjun. Huang Renjun.”

“Tuan Huang, kebetulan rumah sakit memiliki catatan rekam medis dari pasien Lee Donghyuck, dan saya adalah dokter yang menanganinya selama ini.” Dokter lalu menyerahkan amplop cokelat besar pada Renjun. “Ini hasil rontgen pasien tepat seminggu yang lalu.”

Renjun perlahan membuka amplop dan melihat foto x-ray hasil rontgen bagian dada Donghyuck. Renjun memang tidak paham, tetapi Renjun tahu hasil ini bukan hasil yang baik.

“Bisa dilihat keadaan pasien sudah memburuk, dan ini sudah mendekati jantung. Operasi sudah tidak mungkin dilakukan. Maaf saya harus memberi kabar buruk, tetapi persentase kesembuhan pasien sangat rendah, Tuan Huang.”

Renjun menggelengkan kepala.

“Tapi Dok, cintanya Donghyuck kan tidak sepihak. Harusnya… bisa, ‘kan?”

“Betul, Tuan Huang. Pasien dapat sembuh, jika ia benar-benar merasakan bahwa ia dicintai oleh orang yang ia cintai. Tetapi, untuk proses kesembuhan penyakit yang sudah separah ini, butuh waktu yang lama. Belum lagi selama ini pasien mengonsumsi obat dengan dosis tinggi karena pasien ingin menyembunyikan perihal penyakitnya. Sedangkan waktu yang pasien miliki, dengan kondisi seperti sekarang, tidaklah banyak, Tuan Huang.”

Renjun terjatuh, berlutut ia di depan sang dokter, berharap apapun yang dapat dilakukannya agar Donghyuck sehat kembali. Ia benar-benar rela rasa cinta itu hilang asalkan Donghyuck dapat sembuh. Ia menangis dan memohon.

“Dok, saya mohon, beri Donghyuck kesempatan.”

Tangisnya semakin kencang, tidak peduli ada banyak mata menatapnya.

“Maaf, Tuan Huang, sebaiknya anda berada di samping pasien saat ini. Saya yakin, pasien lebih membutuhkan anda dibanding dokter manapun.”

Dokter itu pun pergi meninggalkan Renjun yang kini semakin terduduk dengan isak tangis yang tak henti-hentinya terdengar.

Plak!

Renjun meringis merasakan tangan yang menampar pipinya. Ia mendongakkan kepalanya dan melihat ayah Donghyuck yang murka kini berdiri di hadapannya.

“Berani-beraninya kamu muncul di hadapan saya! Kamu mempermalukan keluarga saya! Dan kamu, kamu membunuh anak saya!”

Renjun menunduk, sambil terduduk bersimpuh, dengan bahu yang bergetar karena lagi-lagi ia tak mampu menahan tangisnya, Renjun tak mampu melakukan apapun lagi. Ia gagal mempertahankan cintanya. Ia kalah.

“Tuan Lee!”

Dokter yang menangani Donghyuck tadi datang kembali dan menahan Tuan Lee yang hampir saja akan menampar Renjun lagi.

“Saya mohon, biarkan Huang Renjun menemui Donghyuck. Saat ini hanya Huang Renjun yang bisa membuat anak anda membaik, saya mohon, Tuan Lee. Demi Donghyuck.”

Renjun masih menunduk, tak sanggup untuk mengangkat wajahnya. Air matanya terus jatuh membasahi celana hitamnya. Sampai akhirnya seorang perawat mendatanginya, memapahnya ke bagian pojok IGD, menuju bed di mana Donghyuck dirawat.

“Hyuck. Maaf. Hyuck, jangan pergi. Hyuck, bertahan ya, sama aku.”

“Injunku.”

“Iya, ini Injunnya kamu, Hyuck. Tolong percaya sama aku, ya? Aku nggak bohong. Aku sayang kamu. Dulu, sekarang, selalu, selamanya, Hyuck. Percaya sama aku.”

Donghyuck hanya tersenyum di balik masker oksigennya.

“Hmm. Percaya. Injunku jangan nangis.”

“Iya.”

Renjun ingin sekali berhenti menangis. Ia hanya ingin menunjukkan rasa cintanya yang masih begitu besar pada Donghyuck dengan senyum dan raut bahagia. Tetapi tangisannya tak mampu ditahan saat ia melihat Donghyuck yang merasa sesak.

“Hyuck…,” panggilnya lirih.

“Dadanya sesak, tapi nggak sakit lagi. Ada kamu, Injunku.” Donghyuck tersenyum dan itu senyum paling indah yang pernah Renjun lihat. “Ada kamu, di sini.” Perlahan tangan kanan Donghyuck bergerak menunjuk ke dada bagian kirinya, tepat di jantungnya.

“Nggak. Hyuck, Sayang, akunya di sini.”

“Iya, Injunku.”

Itu kata-kata terakhir Donghyuck sebelum ia kesulitan bicara karena semakin sesak. Tiba-tiba monitor di samping ranjang rumah sakit itu berbunyi kencang, tanda bahwa kondisi pasien memburuk. Beberapa tenaga kesehatan langsung berdatangan dan Renjun mundur untuk memberi jalan.

Pikiran Renjun kosong, lagi-lagi ia hanya mengharap adanya keajaiban.

“Tuan Huang. Saya minta maaf atas kabar duka ini. Pasien Lee Donghyuck meninggal pukul 16.53.”

“Nggak, Dok. Tolong Hyuck, Dok, saya mohon.”

Perawat di sana membantu menenangkan Renjun yang tangisnya semakin menjadi.

Tidak mungkin, Donghyuck seharusnya masih hidup. Mereka saling mencintai, ‘kan? Mengapa Donghyuck harus meninggal dengan cara seperti ini? Dengan daffodil kuning sebagai simbol dari Huang Renjun dalam dadanya, menusuk jantungnya, mengapa? Mengapa semesta selalu memiliki cara untuk mereka berpisah?

***

Tiga bulan kemudian.

“Halo, Jagoan. Aku bawain tulip merah kali ini. Kamu tau nggak kalau tulip merah artinya true love? Tapi bosen nggak sih sama warna merah? Bulan lalu aku bawa mawar merah, terus sekarang tulip merah. Nanti aku bawain bunga matahari ya, bunganya kamu, Hyuck. Katanya itu simbol kekaguman dan kesetiaan. Kamu banget, ya?”

“Hyuck, aku— uhuk!” Kalimat Renjun terpotong oleh batuknya sendiri.

“Hahaha, maaf, aku emang lagi agak nggak fit, aku—” Terhenti lagi rangkaian kalimat itu karena kini Renjun menemukan satu kelopak bunga berwarna kuning di telapak tangannya. Kali ini bukan daffodil, Renjun tahu bunga apa itu.

Ia menaruh kelopak bunga kuning itu di atas nisan Donghyuck. “Lihat, aku ternyata udah bawa duluan bunga mataharinya, Hyuck.”

Air mata kembali mengalir di pipi Renjun. Ia terlihat semakin kurus sekarang.

Senyum Renjun hadir di wajahnya meski merasa sesak di dadanya. Jadi ini, yang dirasakan Donghyuck saat itu? Renjun senang bisa merasakannya.

Orang mengatakan kalau penyakit Hanahaki itu ada karena rasa cinta yang bertepuk sebelah tangan. Namun, tahukah bahwa Hanahaki bisa disebabkan karena orang yang membalas cintanya sudah tiada?

—end.

by mysummerbliss.