Pergi

Terdiam Renjun di depan pintu kamar yang tertutup. Sesaat tangan terangkat untuk mengetuk, namun urung kala layar gawai yang ia genggam menyala tanda adanya pesan baru. Tangannyaa turun, ia pun berbalik dan menggeret dua koper besarnya sebisa mungkin tanpa membuat kegaduhan.

Sampai di depan pintu apartemen, langkahnya terhenti. Tak sanggup meninggalkan tempat yang beberapa tahun terakhir ini menjadi saksi cinta mereka, tempat mereka berpadu kasih, tempat ternyaman karena di sana lah mereka merasakan dunia hanya milik berdua.

Setetes cairan bening mengalir di pipi Renjun saat ia memejamkan netranya, dadanya ia tepuk berkali-kali hanya untuk menggemakan rasa sakitnya. Isak tangis ditahan karena tak ingin mengganggu kesunyian menjelang pagi.

Setelah memberi dirinya sendiri sedikit waktu berdamai dengan keadaan meski sesungguhnya ia belum sepenuhnya menerima, Renjun pergi meninggalkan apartemen itu. Tidak, tidak hanya itu. Renjun pergi meninggalkan cintanya, kekasih hatinya. Satu nama yang selalu ia sebut dalam pengharapan untuk bisa bersama selamanya, Lee Haechan.

Derai air mata tak terbendung dan tangisnya pecah sesaat ia mengayunkan kakinya memasuki elevator. Rasa sakit ini berkali lipat rasanya dibanding ketika ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan sang kekasih dua minggu lalu, lebih sakit dari ciuman mesra terakhir mereka tadi malam.

Potongan memori demi memori memenuhi bayang-bayang pikirannya. Semua tawa canda, tangis pilu, dan waktu-waktu terindah yang mereka lalui bersama kini hadir dalam khayalnya, membuat isakan tangisnya semakin kencang.

Setiap bisik kata cinta dan untaian puji yang hanya tertuju untuknya terngiang seolah sang belahan jiwa masih di sampingnya. Renjun sudah merindu meski jarak belum terpaut terlalu jauh. Gelap terasa di kehidupannya bukan karena matahari belum tinggi di langit, tapi tak akan ada lagi presensi seorang Lee Haechan di dunianya. Bagaikan bunga matahari yang telah layu, itu adalah dirinya saat ini.

Bunyi elevator tanda dirinya sudah di lantai basement membuyarkan semua kenangan yang terus menari-nari di pikirannya. Ia seka pipi basahnya dengan tangan yang terbalut coat berwarna cokelat. Upayanya menghentikan tangis sesenggukan hanya menghasilkan rintihan tertahan.

Bersusah payah ia menarik dua koper besar itu menuju mobil yang terparkir tak jauh dari situ. Lampu mobil menyorot di kegelapan basement menandakan siap untuk melaju pergi lagi, tak perlu menunggu lama karena di sana hanya untuk menjemput Renjun.

“Sudah siap semua, hyung?”

“Iya, Jisung. Berangkat sekarang aja ya?” ujar Renjun sembari memasang seat belt. Kedua kopernya sudah aman berada di bagasi mobil milik Jisung ini.

“Haechan hyung beneran nggak akan ikut nganter?” Renjun menggeleng, berusaha tersenyum meski tak menampakkan wajahnya pada lelaki yang lebih muda.

Mobil pun mulai melaju, menjauh dari gedung apartemen. Saat itu barulah Jisung mulai berbicara kembali. “Dia nggak tahu jadwal penerbangan hyung itu hari ini?”

Gumam pelan dari pemuda Aries itu membuat Jisung menoleh sejenak dari kemudinya. Renjun sedang menatap jalanan. Seoul di pagi buta belumlah terlalu ramai, jalanan cukup lengang sehingga perjalanan menuju Incheon dilalui dengan lancar.

Jisung terdiam kembali, tak berani memulai percakapan. Terlihat jelas Renjun yang sedang dilanda kesedihan hanya memperhatikan setiap sudut kota Seoul dari jendela mobil. Entah kapan ia dapat melihat pemandangan ini lagi.

Renjun akhirnya menoleh tatkala Jisung menepikan mobilnya sesaat setelah memasuki area bandara.

“Kalau sudah sampai di sana, nanti nggak bisa ngobrol lagi,” ucap Jisung meski yang lebih tua belum sempat bertanya.

Renjun hanya tersenyum simpul kemudian menggenggam tangan besar milik Jisung. “Makasih ya, udah mau anterin.” Renjun tahu kata-kata itu tak perlu ia katakan karena hanya mendapatkan reaksi Jisung yang memutar bola matanya.

“Aku beneran berterima kasih buat semuanya, Jisung.”

“Padahal kita udah pamitan tadi malam, hyung. Tapi, aku juga mau berterima kasih sama hyung. Buat semuanya. Jangan lupa kabarin kalau sudah sampai di sana. Aku tahu Renjun hyung pasti bakal jadi selebriti kelas S*, tapi jangan lupain aku ya.”

Saat tawa Renjun terdengar, Jisung pun ikut tersenyum. Akhirnya seseorang yang sudah ia anggap keluarganya sendiri itu tak lagi murung karena perpisahan hari ini.

“Mana mungkin? Jangan lupa sampaikan salamku buat semuanya. Dan… tolong jaga dia baik-baik buat aku ya, Jisung.”

Jisung mengangguk mantap. Meski si Aries tidak spesifik menyebut satu nama, namun Jisung paham siapa yang dimaksudnya.

Beruntung bandara internasional Incheon pagi itu tidak terlalu ramai. Ya, memang ramai tapi tidak sampai membludak oleh penggemar. Suasana cukup kondusif, ia melihat beberapa orang membawa banner sebagai bentuk dukungan. Sebagian dari mereka menangis namun Renjun hanya dapat melambaikan tangannya menyapa mereka.

Kilatan cahaya dari kamera-kamera yang sudah biasa ia terima kini membuatnya merasa sedikit emosional. Jisung tak lagi dengannya karena dia hanya membantu Renjun sampai menurunkan kopernya saja. Agar tidak terlalu mengundang perhatian, katanya.

Berdiri sendiri dengan semua perhatian tertuju padanya juga merupakan hal yang biasa, sayangnya hal ini mungkin jadi yang terakhir ia lakukan di Negeri Ginseng ini.

Pada penghormatan terakhirnya, ia membungkuk cukup lama. Tangannya terkepal di sisi, berusaha menahan tangis lagi. Ia akan kembali kembali ke negara asalnya dan meniti karirnya di sana.


Saat Renjun mengudara di ketinggian tiga puluh lima ribu kaki, ia mengeluarkan kamera dari tasnya dan melihat-lihat kembali koleksi foto yang ia ambil beberapa waktu lalu. Hampir kebanyakan berisi wajah Haechan. Bagaimana tidak? Renjun selalu ingin mengabadikan sosok yang membuatnya bahagia itu.

Ekspresi Haechan yang penuh cinta balik menatapnya dari layar tustel dan itu cukup menghadirkan rasa hangat dalam sanubarinya.

Memandang hamparan awan yang terlihat dibalik jendela, Renjun kembali mempertanyakan dirinya sendiri atas keputusan yang diambilnya.

Meninggalkan Haechan dan semua mimpi dan pencapaiannya di Korea bukanlah hal yang mudah. Keputusan itu bukanlah sesuatu yang ia pikirkan hanya satu atau dua malam, tapi bertahun-tahun.

Renjun memutuskan untuk tidak memperpanjang saat kontraknya berakhir di agensi tempatnya bernaung. Namun, tentu saja ia masih bagian dari anggota Dream, hal itu tidak akan pernah bisa lepas darinya. Dan saat ini Renjun bertolak menuju kampung kelahirannya. Merajut kembali mimpi yang belum sempat ia gapai.

Selamat tinggal, Lee Donghyuck. Cintanya, sinar mentarinya, sosok terindah yang akan sulit terlupakan meski waktu terus bergulir, yang akan selalu menetap dalam hati terdalamnya.


*) Selebriti kelas S: kelas tertinggi untuk selebriti di China