Selamat Tinggal
cw // kissing , slight making out
Sinar temaram dari lampu tidur di nakas samping tempat tidur memberikan penerangan yang cukup untuk Haechan memandangi wajah indah Huang Renjun. Semalaman hanya itu yang ia lakukan, menilik setiap lekuk yang terukir elok di wajah dan raga dari mantan kekasihnya yang saat ini masih berada satu ranjang dengannya. Dalam jarak begitu dekat, keindahan Renjun sungguh paripurna.
Tak kuasa jika ia harus melewatkan kesempatan ini, maka ia menahan kantuk agar tak terlelap barang sedetik pun. Haechan tahu betul Renjun akan meninggalkannya dalam beberapa jam lagi.
Rasa sakit terasa di dadanya jika ia mengingat hal itu. Renjun akan pergi. Renjun takkan lagi berada di sisinya. Sesungguhnya rasa sakit yang kini terus menghunjam hatinya jauh lebih menyakitkan dibanding saat mereka mengakhiri hubungan, kala mereka mengucap kata perpisahan dua minggu yang lalu.
Ketika mulai ada pergerakan dari kelopak mata Renjun, dalam sekejap Haechan memejamkan matanya, berpura-pura tidur.
Tak lama, Haechan merasakan tangan hangat yang mengusap pipinya. Beruntung Haechan mampu mengatur nafasnya sehingga tak terdengar seperti tertahan meski degup jantung terasa tidak karuan. Sampai saat ini, setelah bertahun-tahun pun Huang Renjun masih mampu memberinya efek seperti itu.
Untaian kalimat dalam bahasa yang asing bagi Haechan membuatnya ingin mengerutkan dahi tanda tak mengerti. Memang seperti itu kebiasaan Renjun, mengungkapkan cinta dalam bahasa Mandarin. Terbayang dalam khayalnya bagaimana ekspresi Renjun saat ini. Padahal si pemuda Aries itu hanya terpaut jarak beberapa inci darinya. Ia ingin menatap kedua manik itu, namun ia tetap bertahan untuk pura-pura tertidur.
Di antara kalimat panjang yang ia utarakan, Haechan menangkap kata “pergi” dan “rumah”, sayang ia tidak mampu menyambungkan dan memahami maknanya. Di akhir kalimat barulah Renjun mengatakan sesuatu dalam bahasa yang ia mengerti. Tidak ada kata perpisahan, hanya ada deklarasi cintanya.
“Saranghae, Lee Donghyuck. Yeongwonhi. Wǒ yǒngyuǎn ài nǐ.”
(Aku cinta kamu, Lee Donghyuck. Selamanya. Aku cinta kamu selamanya.)
Tangan Haechan terkepal, mengerahkan seluruh emosinya agar dirinya tetap bisa menahan diri. Satu kecupan singkat di dahi, lalu jeda beberapa detik sebelum Haechan merasakan kecupan yang lebih lama di bibirnya. Betapa Haechan ingin membalas kecupan itu, menyalurkan segenap perasaannya melalui peraduan bibir mereka seperti yang ia lakukan tadi malam.
Kala kehangatan di atas ranjang mulai tak dapat ia rasakan, Haechan tahu Renjun mulai bersiap untuk pergi. Suara pintu yang ditutup dengan begitu perlahan akhirnya mematahkan pertahanan Haechan. Air mata pun lolos dan mengaliri pipinya, dengan lekas membasahi bantalnya. Masih menahan isakannya karena ia tahu Renjun masih dalam apartemen yang sama, Haechan kini hanya meringkuk di atas ranjang yang selama ini menjadi saksi kehangatan cinta mereka. Semua takkan lagi sama.
Masih menahan suara tangisnya dengan kepalan tangan yang semakin erat, Haechan mendengar suara pintu apartemen yang kembali tertutup. Pergi sudah sang kekasih hati, belahan jiwanya kini meninggalkannya.
Semakin pecah tangisnya kini, tak sanggup lagi menahan sedu sedan. Dirinya terjatuh amat dalam ke jurang nestapa. Ia merasa hampa, meski rasa sakit kerap menggerogoti hatinya, menusuk sukmanya. Baru saja Renjun bertolak, namun Haechan sudah merasa kehilangan arah. Ia berteriak putus asa.
Haechan tahu betul mengenai keputusan Renjun untuk tidak memperpanjang kontraknya. Beberapa tahun belakangan ini mereka berdiskusi mengenai hal itu, jadi bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Haechan sudah menyiapkan hatinya. Haechan pernah mengatakan bahwa dirinya siap melepaskan si pemuda Maret jika kekasihnya itu ingin terbang lebih tinggi, menggapai mimpi-mimpinya yang lain.
Bukan berarti selama ini Haechan menahannya, hanya saja kali ini Renjun memiliki hak penuh atas karirnya ke depan, maka sang Gemini tak ingin menjadi penghalang. Seperti itulah bentuk dukungan mereka untuk satu sama lain.
Tentang kepergian Renjun pun, ia sudah tahu kapan akan terjadi, termasuk jadwal penerbangan yang seharusnya masih tiga hari dari sekarang. Sayangnya, Haechan begitu mengenal Huang Renjun, mengobservasi gerak-geriknya yang sedikit berbeda akhir-akhir ini.
Haechan dapat menyimpulkan kalau Renjun sudah mengganti jadwal terbangnya. Apalagi setelah tadi malam, ia seperti berpamitan dengan semua teman mereka. Renjun mengatakan hanya ingin menghabiskan waktu di apartemen yang biasa mereka tinggali berdua saja, namun dengan dua koper besar yang sudah siap, Haechan tahu Renjun akan pergi hari ini. Pun Haechan tahu alasan Renjun yang tak memberitahukan mengenai kepergiannya. Semua itu untuk kebaikan mereka berdua.
Malam itu Haechan dan Renjun terlihat biasa, layaknya sepasang kekasih sedang memadu kasih dan berbahagia karena eksistensi satu sama lain meski sudah tak lagi ada status di antara mereka.
Di atas sofa nyaman pilihan Renjun beberapa tahun lalu, mereka saling merangkul, saling mendekap, tak pernah ingin saling berjauhan.
Tayangan televisi kini terabaikan karena mereka hanya bisa fokus pada satu sama lain, saling mencumbu menyalurkan rindu meski raga masih menemani, mengalirkan setiap rasa yang membuncah dalam setiap pagutan lembut yang tak terburu-buru seolah mereka memiliki seluruh waktu di dunia.
Ciuman mesra menjadi semakin panas tatkala mereka berpindah ke atas ranjang. Tanpa kata, mereka menyampaikan setiap bahasa kasih melalui sentuhan lembut nan sensual. Perlahan namun penuh arti. Untuk semua rasa yang tergugah semoga dapat tersampaikan dengan utuh, dan segala kenangan yang pernah dilalui bersama selalu terpatri dalam hati.
Hasrat untuk menjamah lelaki dalam rengkuhannya mungkin memang tinggi, namun yang Haechan inginkan hanyalah agar si pemilik marga Huang itu tak pernah melupakan bahwa cintanya akan tetap abadi. Bibirnya menelusuri raga lelaki Tiongkok itu dengan tempo yang amat lambat, tak lupa rangkaian puji dan apresiasi untuk sang terkasih tak henti-hentinya ia lafalkan.
“Mau?” tanya Renjun tanpa konteks, diikuti dengan kekehan pelan karena bibir Haechan menyentuh daerah sensitif di perutnya.
“Kamu mau?” Haechan balik bertanya karena baginya saat ini semua hanya tentang Huang Renjun.
“Terserah,” jawabnya singkat dan jujur.
“Nanti kamu kelelahan. Besok aja, ya?” Berusaha menahan agar vokalnya tidak terdengar gemetar, Haechan menutupnya dengan senyuman.
Sudut bibir Renjun naik sedikit, senyum getir itu nampak meski satu detik saja sebelum matanya membentuk bulan sabit dengan senyuman yang lebih lebar. “Oke, besok ya.”
Sesungguhnya kedua insan itu paham tak akan pernah ada lagi esok untuk mereka. Meski begitu, Renjun kembali meraih kedua pipi si Gemini dan melanjutkan kembali lumatan di bibir yang sempat tertunda. Bukan hanya nafsu yang tercurahkan, tetapi afeksi dan segenap harapan untuk terus bersama.
Keduanya saling melepaskan ciuman, dan dengan kedua dahi yang masih menempel mereka mencoba mengatur nafas yang mulai habis.
“Kamu tahu, 'kan?” tanya pemuda Huang —lagi-lagi tanpa konteks— diiringi tawa rendah, pertanyaan itu seolah merupakan candaan.
Apakah ini tentang rasa yang ingin disampaikan? Ataukah tentang kepergiannya?
“Iya, aku tahu.” Akhirnya itu yang menjadi jawabannya karena memang betul Haechan tahu tentang keduanya. Mereka berdua masih saling mencinta, berat untuk berpisah, tapi sama-sama memahami keadaannya. Haechan juga tahu tentang jadwal penerbangan yang sudah dipercepat.
Berciuman dengan Renjun selalu adiktif dan Haechan tak pernah ingin berhenti. Tetapi ia tahu saat akhirnya kantuk melanda sang pujaan hati, pemuda Juni itu merapalkan ucapan selamat tidur pada lelaki dalam rengkuhannya.
“Mimpi indah, Huang Renjun.” Bisikannya di telinga lelaki Huang dengan sukses membawanya ke alam mimpi.
Tinggallah Haechan dengan waktunya yang terbatas untuk mengagumi paras elok yang memukau yang kini masih ada dalam peluknya.
Berkali-kali ia mengucap asa dalam hati agar sang fajar tak segera datang untuk memisahkan mereka. Namun ia hanyalah insan yang tak berdaya melawan aturan Semesta.