Decision

Janji Yangyang pada Haechan untuk tidur cepat malam itu terpaksa diingkarinya. Ia memikirkan kembali mengenai hubungannya dengan Haechan, dan yang pastinya juga dengan sahabatnya, Renjun.

Memang selama ini mereka tidak pernah ada masalah. Haechan selalu berusaha berlaku adil, dan Yangyang kagum akan itu. Tetapi, Yangyang menyadari ketika ia lebih membiarkan pacarnya untuk menghabiskan waktu dengan sahabatnya, awalnya ia beralasan karena disibukkan dengan tugas, namun akhirnya ia sendiri tahu ia hanya mencari alasan.

Yangyang bukannya tidak menyukai hubungan mereka bertiga, hanya saja dia sadar ada orang lain yang membuatnya merasa lebih nyaman.

Haechan itu definisi sempurna, caranya memperlakukan Yangyang tidak pernah salah di matanya. Semua orang yang diperlakukan seperti itu pasti luluh, karena Haechan itu sungguh romantis. Namun, dinamika hubungan pacaran seperti itu sepertinya bukan yang ia sukai.

Dibandingkan dengan pacar yang mengunggah foto dirinya di media sosial, Yangyang merasa lebih spesial saat ia memergoki Jaemin sedang memfoto dirinya diam-diam.

Haechan itu perhatian sekali, memastikannya dirinya tidak melewatkan makan saat waktu-waktu ujian. Berbeda dengan Jaemin yang tiba-tiba datang ke rumahnya dan mengajaknya night drive, padahal besok siang ada jadwal ujian.

Dan Yangyang merasakan itu, perhatian diam-diam, tatapan yang memandangnya lebih lama, raut khawatirnya saat Yangyang mengatakan jika minggu ini adalah jadwalnya Renjun. Mungkin Jaemin tidak tahu, tetapi Yangyang itu peka.


Siang itu Yangyang tahu sekali Haechan pasti sedang berada di kantin fakultas Renjun untuk makan siang. Maka dari itu, ia bergegas ke sana. Semua harus segera diselesaikan, ia sudah membulatkan tekad.

“Hai Ren, Hai Chan,” sapanya begitu sampai di depan meja Renjun dan Haechan.

“Yangie!! Ayo sini, gabung aja. Tumben ke sini.”

“Iya, tapi aku mau ngomong sama Haechan sebentar, boleh ya, Ren?”

“Oh, boleh lah.”

“Ada apaan, Yang? Sampai ke sini segala, padahal aku bisa ke tempat kamu.”

“Biar cepet aja. Maaf ya Ren, sebentar aja kok.”

“Santai aja, abis ini aku juga mau ada kelas sih.”

Yangyang melihat Renjun tersenyum sebelum ia dan Haechan pergi dari situ. Kantin terlalu ramai di jam makan siang, Yangyang butuh tempat yang lebih sepi. Akhirnya mereka mengobrol di belakang salah satu gedung fakultasnya Renjun.

“Kenapa? Kayaknya urgent banget.”

“Chan, kita udahan aja, ya?”

“Maksudnya?” Terlihat sekali Haechan kebingungan dengan maksud Yangyang.

“Aku kayaknya nggak bisa lanjutin hubungan kita. Dan, sebelum kamu berpikir apakah ini karena hubungan kita, no, sama sekali bukan karena kamu apalagi Renjun. You’ve been nothing but a good boyfriend. Emang akunya aja nggak bisa.”

Haechan terdiam, tampak memahami perkataan Yangyang. “Maaf,” ujarnya sambil menunduk setelah menghembuskan nafas.

Yangyang meraih tangan Haechan. “Chan. Nggak perlu minta maaf. Emang perasaan aku yang nggak sama. Aku yang minta maaf karena aku udah nggak bisa lagi. Kamu udah baik sama aku tapi aku nggak bisa.”

“Aku suka sama kamu. Aku takutnya kamu nggak sadar tapi aku juga suka sama kamu.”

Yangyang tersenyum mendengar pernyataan Haechan. “Aku tahu, aku peka kok. Aku juga tahu, kamu lebih suka sama Renjun.”

“Yang—”

Noo, it’s okay. Aku seneng banget malah. Soalnya Renjun juga suka banget sama kamu. Aku maunya kamu bisa lebih sayangin dia lagi. Kalau kamu bikin si bayi sedih, aku bakal jadi yang paling pertama menghajar kamu.”

Haechan tertawa kemudian mengangguk. “Iya, si bayi aman.”

“Bagus kalau gitu. Jadiii… kita oke ya?”

“Oke apa?”

“Oke putus? Dan oke masih temenan? Nggak masalah kan?”

Haechan mengangguk lagi. “Iya, Yangyang. Nggak masalah.”

Yangyang akhirnya merasa lega. Haechan pun mengatakan bahwa mereka tetap berteman.