Hilang
Saat kesadaran Renjun mulai terkumpul pagi itu, ia tersenyum meski matanya belum terbuka. Rasanya nyaman. Tempat tidurnya yang empuk, selimutnya yang lembut, belum lagi samar-samar wangi dari lilin aromaterapi kesukaannya. Oh, satu lagi. Kehangatan dari tubuh seseorang yang tangannya kini terasa berat di pinggangnya.
Tunggu. Bukannya terakhir kali ia tertidur di sofa dengan selimut cadangannya? Jangankan wangi lilin aromaterapi, ia tidur dengan wangi ramyeon yang menyeruak dari arah dapur.
Tangan. Tangan siapa itu?
Bukannya membuka mata, Renjun malah semakin memejamkan matanya. Terakhir ia terbangun dengan Bumi di kasurnya. Sebentar, ia mencium wangi citrus yang familiar dari lelaki —ya, Renjun meyakini ia sedang tidur bersama seorang lelaki lain di kasurnya— di depannya. Citrus?
“Selamat pagi, manisku. Aku masih ngantuk, mau tidur lagi sebentar ya.”
Mata Renjun kini terbuka sempurna, terbelalak menatap lelaki yang memang ia kenali wajahnya. Tetapi, siapa? Yang mana?
Renjun buru-buru menjauh sampai tepi ranjang, melepaskan pelukan longgar di pinggangnya.
“Siapa?”
Lelaki yang tadinya sudah menutup matanya kini menatapnya keheranan.
“Kamu siapa? Sebentar, kok aku di sini?” tanya Renjun, ia memandangi sekeliling kamarnya dengan heran.
“Sayang, kamu kenapa?”
“Haechan?”
“Iya, ini aku,” ujarnya setelah menghembuskan nafasnya. “Kamu kenapa, sih? Kok kayak disoriented gitu?”
Dengan cepat kepalanya menoleh ke belakang, mengecek bunk bed bagian atas dan bawah.
“Loh? Loh? Pada ke mana?”
Haechan kini terduduk juga, ya kalau begini keadaannya, ia juga jadi tidak mengantuk lagi. “Kamu jawab pertanyaan aku dulu, Sayang.”
“Oke, tapi. Aku nanya dulu. Kamu kenapa di sini? Dan aku kenapa di sini? Aku semalam tidur di sofa, 'kan?”
Haechan mengucek kedua matanya sebelum ia kembali fokus menatap kekasihnya. “Iya, selesai latihan aku ke sini, aku sampai kira-kira jam 2 pagi, lebih deh kayaknya, dan lihat kamu tidur di sofa. Aku nggak tega lah, jadi aku pindahkan kamu ke sini. Udah ngerti, sekarang?”
Anggukan Renjun sangat pelan karena ia seperti butuh waktu untuk mengolah informasi dari Haechan.
“Terus yang lain ke mana?”
“Yang lain siapa? Jeno Jaemin Jisung? Di kamar masing-masing, lah.”
“Bukan, bukan. Kamu, Haechan-Haechan yang lain di mana?”
“Kamu ngomong apa sih, Jun? Ini kamu yang nggak jelas atau karena memang karena masih pagi jadi aku belum paham?”
“Bumi, Harzan, Mahesa, sama Donghyuck.”
“Lee Donghyuck ada di depan kamu, Yang.” Haechan tersenyum saat tangannya menangkup kedua pipi Renjun. “Dan siapa aja itu? Aku belum pernah dengar nama mereka.”
Renjun menarik nafas sebelum memulai ceritanya. Ia membetulkan posisinya, mencari yang nyaman sambil duduk berhadapan dengan pacarnya.
“Oh sebentar, ini hari Senin?”
“Selasa, Yang. Senin itu kemarin yang akunya sibuk, terus aku juga kirim foto ke kamu waktu latihan.”
“Oke, berarti apa yang aku lalui kemarin itu nyata, ya.” Renjun bergumam pada dirinya sendiri.
“Renjun?” tanya Haechan pelan seolah tidak ingin memburu Renjun untuk langsung bercerita.
“Jadi kemarin… aduh, gimana mulai ceritanya, ya? Kamu jangan marah, okay? Aku jujur nggak tahu gimana bisa sampai kejadian kayak gini, beneran.”
Melihat tatapan memelas Renjun, Haechan jadi tersenyum. Memang dari kemarin ia merasa ada yang aneh dengan Renjun, tapi mereka belum ada waktu untuk ngobrol bersama, jadinya ya kali ini ia akan dengarkan semua cerita Renjun.
“Iya, aku nggak akan marah.”
“Tapi awalnya udah nggak enak banget loh.”
“Iya, sayang. Mulai aja ceritanya, aku dengerin.”
Renjun menarik nafas dalam sebelum menghembuskannya perlahan. “Okay, kemarin aku kebangun, dan keadaannya mirip gini. Aku bangun di sini sama orang lain di samping aku, aku kira itu kamu kan, tapi pas aku perhatikan, bukan kamu. Maaf, tapi aku juga nggak tahu gimana dia bisa berakhir di tempat tidur aku. Terus pas aku ke kamar mandi, aku nemu orang berwajah yang sama kayak kamu. Di dapur aku nemu satu lagi, ke ruang tengah juga ada satu masih tidur di sofa. Pas semua kumpul, satu baru keluar dari kamar aku lagi. Jadi total ada lima orang—”
“Tunggu, maksud kamu ada lima orang yang wajahnya sama kayak aku? Orangnya nyata? Waktu itu bukannya nggak ada orangnya dalam bentuk fisik, ya?”
“Nyataaa, Chan. Dan iya, kasusnya beda sama yang dulu itu. Mereka semua di sini, tiba-tiba aja gitu, out of nowhere, cling! muncul aja.”
“Jadi mereka adalah aku dari semesta yang lain?”
“Iya! Inget Injun, 'kan? Nah, Donghyuck-nya juga ada. Ada dua Donghyuck kemarin. Tapi yang lain namanya beda. Ada Bumi, Harzan, dan Mahesa.”
“Dan semuanya….”
“Iya, semuanya mirip kamu. Literally, secara fisik itu kamu tapi ya beda-beda dikit. Personality-nya beda-beda sih. Setiap orang tuh kayak ada uniknya, tapi ya ada kamunya.”
Lagi-lagi Haechan menangkup kedua pipi Renjun, mengarahkan wajah indah itu agar menatap hanya pada dirinya.
“Jawab aku, di antara semuanya, apa kamu suka salah satu dari mereka? Atau semuanya?”
Saat mata Renjun tak lagi fokus padanya dan malah melirik ke arah samping, tangan Haechan pun menurunkan tangannya.
Cepat-cepat Renjun meraih kedua tangan itu, digenggamnya erat dan diusap lembut punggung tangan Haechan dengan ibu jarinya.
“Cuma kamu. Aku cuma mau kamu, Chan.”
“Kamu sempat ragu, 'kan?”
Renjun menunduk, raut mukanya terlihat sendu. “Bukan. Aku nggak mau yang lain. Aku cuma… aku….”
Renjun menyeka setetes air mata sebelum mengalir di pipinya. Ia memaksakan tawanya, seperti sedang menertawai kebodohan dirinya sendiri.
“Tau nggak, sih? Mereka semua udah punya Renjun-nya, loh. Lucu, ya?”
Sepasang tangan besar yang tadi lolos dari genggamannya kini melingkar di bahunya.
“Masih mikirin yang itu?”
“Hmm nggak?”
Haechan dapat merasakan keraguan saat mendengar kata-kata Renjun meski sedikit teredam karena bibir Renjun tepat berada di pundak Haechan.
“Sayang.”
“Aku iri sedikit boleh nggak sih?”
“Banyak juga boleh.” Haechan mengusap punggung pacarnya.
“Mereka beruntung, ya?”
“Renjun, aku yakin mereka punya rintangan masing-masing, mereka punya masalah yang harus dihadapi juga. Daripada iri, mending kita bersyukur aja. Renjun selalu bersama Haechan di manapun, mereka bisa bersama juga. Mereka sudah mengukir cerita yang indah untuk Renjun dan Haechan. Jika Renjun dan Haechan tidak direstui di semesta ini, setidaknya kita tahu, di semesta yang lain, mereka diterima, didukung, dan direstui.”
Punggung Renjun bergetar saat isakan tangisnya mulai terdengar, Haechan pun memeluknya lebih erat.
“Jangan menyalahkan takdir kita ya, Renjun. Kamu tahu, aku bakal perjuangin kamu juga.”
Renjun mengangguk, tangannya terkepal di pinggang Haechan dan air matanya membasahi kaus hitamnya.
“Tapi itu beneran terjadi? Aku nggak lihat siapa-siapa waktu masuk kamar kamu, dan kamar kamu juga kelihatannya rapi.”
“Beneran, Chan. Aku bahkan bikin grupnya.” Renjun beranjak dari tempat tidurnya dan mencari ponselnya di atas meja. “Tau nggak? Aku kasih nama Gochujang. Soalnya Haechandeul, Haechan-nya banyak hahaha– eh, handphone aku ke mana ya?”
“Di atas lemari ada nggak? Aku kemarin kayaknya lupa pas ambil dari ruang tengah terus aku simpan di situ pas lagi nyalain lilin aromaterapi.”
“Oh, ada ada. Nih ya, mereka tuh lucu deh. Beda-beda, gitu. Oh ya, aku kasih spoiler, kamu semakin tua semakin ganteng kayaknya hehehe. Eh, loh kok? Hilang?”