Mau nggak?

Haechan mendapati Renjun yang cemberut saat baru saja memasuki mobilnya.

“Cil,” panggil Haechan. Namun belum juga Haechan meneruskan obrolannya, sudah disela oleh Renjun.

“Jangan ngomongin yang tadi. Udah diem aja.”

“Iya, Cil. Oh ya, kalau misal lo nggak mau antar gue hari ini ya nggak apa-apa. Nanti gue telepon agennya minta reschedule.”

“Bisa kok. Tapi….”

“Apa? Mau apa? Bilang aja sama gue.”

“Traktir hotpot ya nanti.”

Haechan selalu tersenyum saat Renjun meminta hal-hal kecil seperti itu. Tentu saja ia senang mengabulkan apapun permintaan Renjun. Mulai dari hal kecil sampai hal yang menurut Haechan aneh, seperti minggu lalu saat Renjun mengajaknya ke kafe kucing.

“Iya, apapun yang lo mau deh.”

“Ada yang aku mau.”

“Apa?”

“Hahaha nggak deh, susah kayaknya.”

“Ya udah, kita berangkat sekarang ya?”

“Okay.”

Renjun memandang Haechan sejenak sebelum ia melihat ke arah jendela. Haechan mengenakan kaos putih dengan jaket kulit hitam, lalu tak lupa black ripped jeans-nya. Renjun menghembuskan nafas.

Sial, kenapa Haechan harus ganteng sih? Jadi semakin susah buat untuk move on, 'kan.

Setelah mereka bertemu dengan agen properti yang sebelumnya sudah berkomunikasi dengan Haechan, agen itu mengantarkannya ke daerah apartemen tak jauh dari lokasi kantornya.

Ada dua unit apartemen yang akan mereka lihat. Kedua unit tersebut di kawasan yang sama, namun berada di tower yang berbeda.

Saat memasuki unit pertama, Renjun disuguhkan interior yang menarik dengan furnitur didominasi warna hitam dan putih. Haechan banget, kalau kata Renjun.

Apartemennya memang tidak terlalu besar tapi jelas cukup untuk Haechan dan pendampingnya, jika ia memilikinya di kemudian hari.

“Gimana? Bagus nggak?” tanya Haechan saat Renjun melongok ke arah dapur.

Renjun mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya. Sepertinya mood-nya sudah kembali baik. “Bagus, kok. Nyaman kayaknya. Udah fully furnished kan ya? Jadi nggak usah ribet lagi.”

“Sudah, Pak. Semua juga sudah dicek. Untuk air juga bersih dan hampir tidak pernah ada masalah.” Kali ini malah agennya yang menjawab. Renjun tersenyum sopan karena sebetulnya kan bukan dia customer si bapak agen ini.

“Ada yang mau diganti nggak?”

Langkah Renjun yang sedang berjalan menuju salah satu kamar tidur kini terhenti.

“Kenapa nanya aku?”

“Nggak, aku cuma minta saran aja.”

“Nggak ada sih. Ini udah kamu banget kayaknya apartemennya.”

“Tau banget selera gue kayaknya?”

Renjun merotasikan bola matanya. “Hampir setengah hidup aku, aku kenal kamu, Chan.”

Kekehan Haechan terhenti saat bapak agen mendatangi mereka.

“Jadi lihat unit yang satu lagi, Pak?”

Haechan mengangguk. “Ayo, Pak. Di tower sebelah, 'kan?”

“Betul, Pak.”

Agen tersebut akhirnya mengarahkan mereka menuju unit yang kedua.

Menurut informasi yang Renjun dapat dari sang agen, layout dari apartemennya kurang lebih sama seperti unit barusan. Yang berbeda adalah unit kedua ini hanya semi furnished. Harganya memang sedikit lebih murah, tetapi belum selengkap unit tadi.

Yang membuat Renjun sedikit terkejut adalah ketika ia memasuki apartemen itu, furniturnya tidak monokrom, tetapi lebih ke warm earthy tone dengan warna-warna seperti beige, khaki, dan broken white.

Di depan sofa berwarna broken white, perlahan Renjun memberanikan diri menatap lelaki yang kini sedang mengedarkan pandangannya ke seluruh area ruang tamu.

“Chan, ini….”

“Suka nggak?” Kini pandangannya hanya terkunci pada Renjun saja.

“Suka, tapi—”

“Lihat dapurnya, yuk.”

Renjun mengatupkan kembali bibirnya. Mengurungkan untuk mengatakan apapun yang ada dalam pikirannya.

Saat di area dapur, bapak agen meminta izin untuk mengangkat telepon, jadinya hanya ada Haechan dan Renjun di area dapur.

“Kamu suka dapurnya?”

Renjun yang tadinya sedang mengitari kitchen island jadi berhenti. Saat ini dadanya terasa sesak. Sudah tidak sanggup lagi jika ia harus membayangkan Haechan akan tinggal di tempat ini bersama orang yang dicintainya. Interiornya terlihat “sangat Renjun”. Seharusnya Haechan tahu.

“Kenapa?” Suaranya sedikit bergetar karena menahan tangis.

Haechan berjalan ke arah Renjun dengan kedua tangan di saku celananya. Ia kini bersandar di kitchen island dengan terus menatap Renjun dengan senyuman yang sedari tadi terus menghiasi wajah tampannya.

“Nih.”

Dengan santainya Haechan menyerahkan satu kotak kecil berwarna merah pada Renjun.

“A-apa ini?” Saat menerima kotak itu, Renjun tahu itu pasti berisi perhiasan melihat tulisan Cartier berwarna emas di kotak kecil itu. Tapi, apa yang dimaksud Haechan dengan kotak itu?

“Buka dong.”

Sebelum berani membukanya, pikiran Renjun berkecamuk memikirkan banyak skenario pahit dalam satu waktu. Apakah Haechan meminta saran lagi padanya sebelum memberikan apapun itu yang berada dalam kotak ini pada orang lain?

Perlahan Renjun membuka kotak tersebut, lalu nampaklah sebuah cincin. Renjun merasa familiar dengan cincin tersebut.

Cartier Love Ring sederhana berwarna emas. Renjun ingat dulu saat berjalan-jalan dengan Haechan mereka mengunjungi toko perhiasan tersebut dan Renjun menunjuk cincin itu yang menjadi kesukaannya. Itu terjadi bahkan sebelum Renjun bertemu kembali dengan Mark.

“Ini–”

“Aku beli pas hari itu juga sebenarnya. Tapi aku belum berani kasih ke kamu, ternyata, hahaha, kamu keburu sama Mark.”

“Buat aku?” Renjun menatap Haechan dengan air mata yang menggenang hampir turun membasahi pipinya.

“Mau nggak?”

Setetes air mata akhirnya lolos dan langsung diusap oleh tangan besar Haechan.

“Apa?” Renjun menunduk, jadi merasa salah tingkah karena tangan Haechan tak lepas dari pipinya.

“Nikah sama aku.”

Renjun langsung mendongakkan kepalanya, menilik jika ada candaan dari kalimat yang tadi diucapkan lelaki Gemini itu. Haechan kini menggenggam kedua tangannya.

“Aku tau, kamu mau dilamar dengan romantis di Walking On The Cloud. Lengkap dengan fancy dinner dan bunga cantik. Tapi semua sudah keduluan. Aku cuma bisa lamar kamu di sini. Ini benar-benar nggak sempurna. Cuma di tengah dapur apartemen yang aku pilih buat kita tinggal nanti, yang bahkan DP nya belum aku bayar. Kitchen island marmer yang kamu dulu impikan juga belum sempat aku request sama agennya.

Renjun, it's not perfect, I'm also not perfect if I'm not with you. Aku nggak mau nanya pakai pertanyaan yang paling mainstream. Aku mau minta kamu buat jadi pendamping aku, hidup bersama aku, berjuang bersama aku, dan menua bersama aku. Mau nggak?”

Berkali-kali Renjun menyeka air mata yang terus turun. Senyumnya terkembang manis di wajahnya.

“Mau! Mau banget!”

Haechan sedikit terdorong ke belakang ketika kedua lengan Renjun melingkari lehernya, memeluknya erat.

“Udah, jangan nangis lagi. Aku juga nggak bisa move on dari kamu selama ini.”

Pelukan singkat mereka berakhir karena bapak agen yang kembali memasuki area dapur.

“Pak, saya jadi ambil dan mau bayar DP hari ini ya. Tapi nanti saya mau ganti kitchen island jadi pakai marmer, dan sofanya mau diganti warnanya soalnya calon suami saya nggak suka warna itu.”

“Oh, boleh Pak. Nanti saya uruskan.”

Setelah urusan apartemen itu selesai, Haechan membawa Renjun makan di restoran hotpot kesukaannya. Belum pernah Renjun merasa selega dan sebahagia ini. Akhirnya cintanya berlabuh pada orang yang tepat, yang selama ini selalu ada untuknya.