Home

Matahari pagi itu mulai tinggi tapi di kamar apartemen mewah Reno masih agak gelap karena gorden yang menutupi kaca lebar yang bisa memperlihatkan pemandangan gedung-gedung tinggi ibu kota.

Reno menggeliat, mulai terbangun. Awalnya sedikit kaget dengan kehangatan yang dia rasakan di sampingnya. Hal ini bukan hal biasa, apalagi ia memang selama ini tinggal sendiri, belum lagi sebulan lalu di Paris, hanya dingin dan kekosongan yang menyapa ketika ia meraba sisi samping tempat tidurnya.

Mata Reno terbuka namun seketika menyipit akibat kecerahan ekstrim dari layar ponsel yang digunakan laki-laki di sampingnya.

“Jam berapa, Sya?” tanyanya pelan, suaranya sedikit serak.

“Masih jam sembilan pagi,” jawab Harsya, masih mengetik sesuatu di ponselnya.

Reno mengerang, kepalanya masih sedikit pusing, mungkin karena jet lag, ia pun sulit tidur semalam, baru tidur sekitar pukul empat pagi.

Satu tangan Harsya menarik tubuh mungil Reno lebih dekat, Reno pun menenggelamkan wajahnya di leher Harsya.

“Tidur lagi aja. Masih cape, kan? Gue udah pesenin makan.”

Reno hanya mengangguk. Kemudian dia tiba-tiba seperti teringat sesuatu, namun sulit bergerak karena tangan Harsya yang menghalanginya.

“Lo nggak kerja? Masih weekday kan ini?”

“Iya, nanti datang siangan. Nggak terlalu sibuk hari ini.”

Reno membuka kembali matanya, mulai terbiasa dengan cahaya di kamarnya juga dari ponsel Harsya. Sekilas dia melihat isi pesan dari ponsel Harsya sebelum temannya itu meletakkan ponsel di nakas sebelahnya.

“Siapa?” Reno bertanya, berharap nadanya tidak seperti tuduhan.

“Sekretaris baru. Sena mau resign, gue pengen cepet dapet gantinya jadi minta karyawan kantor aja biar nggak perlu rekrut baru.”

“Tumben cewek.” Tangan Reno di dada Harsya sedikit bergetar karena tawa rendah Harsya.

“Iya, rekomendasi Sena dari General Affair. Hmm, ya so far anaknya oke sih, Sena juga udah tau gue maunya yang gimana, jadi ya udahlah biar cepet.”

Kalau bukan karena jemari Reno yang bermain-main di atas dada Harsya, mungkin Harsya mengira Reno tidur lagi.

“Pesan makan apa?” tanya Reno di tengah kesunyian yang tadi mereka nikmati.

“Soto Mie kesukaan lo.”

“Hm. Padahal pengen nasi Padang.”

Harsya melepaskan diri dari pelukan Reno, mengacak rambut Reno yang kemudian cemberut karena perlakuannya. Harsya tersenyum melihat sahabatnya kesal. Belum sempat ia melangkahkan kaki setelah turun dari tempat tidur, tangan Reno menahannya.

“Ke mana?”

“Ambil makanan di lobby. Bentar ya.”

Kini Reno sendiri lagi. Seharusnya itu hal yang biasa, tapi rasanya beda jika baru saja ditinggal Harsya.

Apa Reno boleh berharap Harsya terus di sampingnya? Tapi, tidak mungkin, kan?